Konser Kemanusiaan dan Etika Solidaritas Bangsa

Senin 15-12-2025,07:36 WIB
Oleh: Prof. Asep Saepudin Jahar, M.A., Ph

Ia membutuhkan ekosistem kepedulian yang berkelanjutan—dari tahap mitigasi, respons cepat, hingga pemulihan jangka panjang yang memulihkan martabat warga terdampak.

Dalam ekosistem tersebut, setiap aktor memiliki peran strategis.

Kampus berkontribusi melalui riset, penguatan kapasitas masyarakat, dan pengiriman relawan terdidik. Kementerian memastikan arah kebijakan, koordinasi lintas lembaga, dan legitimasi negara.

Masyarakat, pada saat yang sama, tidak ditempatkan sebagai objek bantuan semata, tetapi sebagai subjek yang aktif, berdaya, dan memiliki pengetahuan lokal.

BACA JUGA:Langkah Bijaksana Syuriah dan Rais Aam PBNU

BACA JUGA:Diplomasi Tangan di Atas: Menguatkan Peran Global Indonesia

Gotong royong baru inilah yang membuat solidaritas tidak berhenti sebagai empati sesaat, tetapi menjadi kekuatan sosial yang berkelanjutan. 

Belajar dari Musibah

Musibah selalu menyisakan pelajaran yang tidak tertulis di buku teks.

Ia memaksa manusia berhenti sejenak dari rutinitas, menoleh ke sekitar, dan bertanya tentang makna hidup bersama.

Salah satu pelajaran terpenting adalah kesadaran bahwa ukuran kemanusiaan tidak ditentukan oleh seberapa banyak yang kita miliki, tetapi seberapa besar yang kita bagikan.

Dalam situasi darurat, bantuan yang tampak kecil—makanan sederhana, tenaga relawan, doa yang tulus—sering kali menjadi penopang harapan bagi mereka yang kehilangan segalanya.

Dalam tradisi Islam, kebaikan semacam ini dikenal sebagai amal jariyah: kebaikan yang dampaknya terus mengalir, bahkan ketika pemberinya telah kembali ke kehidupan normal.

BACA JUGA:NU, Organisasi dan Arogansi

BACA JUGA:Yang Ilahi dan Yang Insani di Jalan Kramat

Nilai amal jariyah mengajarkan bahwa kepedulian tidak pernah sia-sia.

Kategori :