Konser Kemanusiaan dan Etika Solidaritas Bangsa

Senin 15-12-2025,07:36 WIB
Oleh: Prof. Asep Saepudin Jahar, M.A., Ph

Kehadiran mereka di lapangan adalah bukti bahwa pendidikan tidak hanya berlangsung di ruang kelas, tetapi juga di tengah lumpur, air bah, dan luka sosial yang nyata.

Pengalaman semacam ini membentuk karakter mahasiswa: empati, kerja sama, ketangguhan, dan kesadaran bahwa ilmu menemukan maknanya ketika diabdikan.

Dalam bahasa pedagogi modern, inilah experiential learning—belajar melalui keterlibatan langsung—yang terbukti efektif membangun tanggung jawab sosial generasi muda.

BACA JUGA:Elegi Lumpur di Hulu Bencana

BACA JUGA:Polemik PBNU: Pelanggaran Berat, Bukan Perselisihan

Seni, Agama, dan Bahasa Kemanusiaan

Konser kemanusiaan ini menunjukkan satu hal penting: seni dan agama dapat bertemu sebagai bahasa universal kepedulian.

Musik, yang kerap diposisikan semata sebagai hiburan, dalam konteks ini beralih fungsi menjadi medium empati.

Ia menembus sekat-sekat sosial, usia, latar belakang, bahkan perbedaan pandangan.

Nada dan lirik bekerja langsung pada rasa, bukan pada perdebatan. Ketika emosi disentuh, kepedulian bergerak tanpa perlu dipaksa.

Ketika musik berpadu dengan pesan moral agama, lahirlah ruang bersama yang inklusif—ruang di mana nilai-nilai kemanusiaan hadir tanpa nada menggurui.

Agama memberi arah etik, sementara seni memberi kelembutan bahasa.

BACA JUGA:World Indonesianist Congress: Belajar dari Kawan

BACA JUGA:Apresiasi untuk Tujuh Prestasi Gus Yahya di PBNU

Perpaduan ini penting di tengah masyarakat yang lelah oleh ujaran keras dan polarisasi wacana.

Kepedulian tidak lagi hadir sebagai kewajiban moral yang berat, melainkan sebagai panggilan batin yang lahir dari rasa kebersamaan.

Kategori :