Hijrah Riba
--
Saya bertemu seorang pimpinan sembilan perusahaan. Ia bukan pemegang saham. Ia bilang pemegang sahamnya tunggal: Allah.
"Kan tidak bisa Allah jadi pemegang saham," kata saya.
"Bisa," jawabnya.
"Notarisnya pasti tidak mau bikinkan akta pendirian perusahaan. Kan melanggar hukum."
"Notarisnya mau."
"Tidak mungkin. Pasti di akta pakai nama orang. Nama Anda sendiri?"
"Betul," jawabnya.
"Lalu Anda bikin pernyataan notariel bahwa saham Anda itu sebenarnya milik Allah?"
"Betul. Begitu," jawabnya.
Nama orang itu: Hendra Firmansyah.
Hendra lahir di Pontianak. Tumbuh besar di Jakarta. Ikut pertukaran pelajar ke Jepang dan Jerman. Belajar ilmu logika di Beijing. Mulai usaha di Makassar –sampai punya perusahaan eksporter lada hitam.
Sembilan bulan terakhir Hendra kembali ke Pontianak: agar dekat dengan ayah-bundanya yang sudah tua.
Tahun 2016 Hendra "hijrah"' –meninggalkan apa pun yang dilarang agama. Termasuk yang riba. Saat itu sebenarnya Hendra aman: tidak punya utang bank. Asetnya pun sudah Rp 500 miliar. Semua tidak lagi ia urus –konsentrasi memikirkan datangnya ''Hari Perhitungan'': apakah dosanya lebih besar dari pahalanya.
Hendra pun jatuh miskin.
Anaknya sudah 10 orang. Sebagian besar masih kecil-kecil. Hendra tidak lagi punya rumah. Perusahaannya sudah ia serahkan ke Allah. Ia tidur di rumah sewa. Kadang di masjid.
"Apakah waktu memutuskan akan hijrah istri Anda setuju? Istri diajak bicara?"
"Istri sangat setuju. Mendukung. Biar pun saya beri tahu risikonya akan hidup miskin," ujar Hendra.
"Apakah Anda tergabung dalam komunitas masyarakat tanpa riba (MTR)?"
"Tidak. Saya mandiri," katanya.
Pelan-pelan usahanya hidup lagi. Ekspornya jalan lagi. Semua dividen diserahkan ke satu lembaga yang ia bentuk: WGS –Win Global Solusitama.
Ekspor ladanya bangkit lagi. Lalu punya usaha Pomigor –pompa mini minyak goreng. Punya usaha konsultan –utamanya untuk orang-orang yang ingin bebas dari utang riba. Dan banyak lagi.
Membantu melunasi utang adalah kegiatan sosial utamanya. Uangnya diambilkan dari kas WGS. Orang yang utangnya dilunasi harus tunduk pada aturan WGS –melunasi utangnya ke WGS tanpa bunga. Orang itu dididik untuk punya usaha. Agar utangnya ke WGS bisa lunas.
Ide baru yang lagi ia bicarakan dengan travel umrah adalah ini: calon jamaah cukup membayar Rp 12 juta ke WGS. Bulan ketujuh mereka diberangkatkan ke Makkah-Madinah. WGS yang akan membayar lunas ke perusahaan umrah.
Uang itu, kata Hendra, dibelikan mesin pomigor. Tiap bulan laba satu pomigor Rp 4 juta. Dalam tujuh bulan terkumpul laba Rp 28 juta. Masih ada Sisa laba. Diputar oleh WGS untuk berbagai usaha sosial.
"Rombongan pertama umrah yang berangkat dengan skema ini di bulan Maret tahun depan," kata Hendra. Mereka adalah orang-orang Kalbar yang percaya dengan skema itu. Bulan ini mereka melunasi Rp 12 juta/orang.
Pomigor adalah mesin yang bentuknya mirip pompa bensin di SPBU. Lebih kecil. Satu mesin berisi 110 liter. Disediakan kantong plastik. Boleh juga bawa botol sendiri. Mesin pomigor sudah disetel hanya bisa melayani satu pembelian satu liter. Kalau mau beli lima liter harus bawa jeriken sendiri. Atau diberi lima kantong plastik.
Mesin pomigor juga sudah disetel harganya. Kalau operator membuat harga lebih tinggi mesinnya otomatis tidak bisa bekerja. Di Kubu Raya saja WGS sudah punya 16 pomigor. "Di seluruh Indonesia sudah ribuan," kata Hendra.
Saya menyesal tidak mampir ke pomigornya yang di Kubu Raya. Sudah keburu ke bandara. Lain kali saya akan melihatnya. Agar tahu apakah yang ia ceritakan benarkah adanya.
Sebenarnya Hendra tidak tahu siapa ayah ibunya. Sejak kecil ia diasuh kakeknya yang hidup sendiri –istrinya meninggal dunia. Umur enam tahun sang kakek meninggal. Hendra kecil jalan ke pelabuhan Pontianak. Ia naik kapal kayu. Ikut berlayar ke Sunda Kelapa, Jakarta.
Di Jakarta Hendra dipungut orang Depok. Tokoh Muhammadiyah setempat. Disekolahkan. Sampai dapat kesempatan pertukaran pelajar ke dua negara.
Baru belakangan, ketika Hendra mengajak anak-anaknya ke Taman Mini Indonesia Indah, ketemu seseorang di anjungan Kalbar. Saling kenalan. Ketika tahu Hendra lahir di Kalbar terjadilah dialog panjang. Ternyata orang itu paman Hendra sendiri.
Hendra pun memutuskan mencari ayahnya di Pontianak. Di Jalan Merak I Dalam. Ayah ibunya sudah tua tapi masih sehat. Hendra memutuskan pindah ke Pontianak. Anak Hendra kini sudah 16 orang. Yang tertua bekerja di Yamaha di Jepang.
Dari Pontianak Hendra mengendalikan sembilan usaha atas nama pemegang saham tunggal. Meski orang Pontianak tapi darahnya Bugis. Di Kalbar memang banyak orang Bugis. Istrinya juga Bugis --karena itu Hendra memulai usaha pertama di Makassar.
Hendra memutuskan tidak akan memiliki rumah, mobil, dan aset pribadi. Ia selalu sewa rumah. Sewa mobil. Ia mengaku ingin hidup sangat sederhana. Ia juga tidak ingin mewariskan apa pun ke anak-anaknya, kecuali ilmu pengetahuan.
Begitu mendarat di Surabaya, saya ajak Hendra ke rumah. Makan siang di rumah. Saya ingin mengenal lebih jauh orang ini. Setelah makan saya tawari Hendra tidur di rumah saya. Lalu akan saya ajak ke Magetan –meresmikan bangunan kampus dua Islamic International School keesokan harinya.
Tapi kedatangannya ke Surabaya sudah penuh agenda. Termasuk akan membicarakan konsep umrah Rp 12 juta itu dengan satu perusahaan umrah yang berpusat di Surabaya.
Saya akan cari lagi orang ini. Saya penasaran. "Rasanya konsep Anda ini too good to be true," kata saya kepadanya. Saya pun menyinggung soal umrah Rp 15 juta yang ternyata menyengsarakan begitu banyak orang itu. Sampai pemilik perusahaan umrahnya masuk penjara.
Hendra tahu semua itu. "Itu sih skema Ponzi," katanya. "Sedang ide saya ini jelas, baru bisa berangkat tujuh bulan kemudian," katanya.
Saya iri dengan orang seperti Hendra: bisa hijrah begitu entengnya.(Dahlan Iskan)

Komentar Pilihan Dahlan Iskan Edisi 25 Agustus 2025: Panglima Merah
Denny Herbert
Antusias Dayak. Membaca tulisan Abah pagi ini tentang Panglima Jilah dan Pasukan Merah, saya jadi teringat perjalanan beberapa tahun lalu ke pedalaman Kalbar, ke sebuah desa kecil bernama Bandol. Perjalanan yang mestinya hanya 3 jam molor jadi hampir 6 jam karena banyak perbaikan jalan rusak di sana-sini. Tapi rasa lelah itu langsung hilang besok hari setelah melihat ribuan warga sudah menunggu sejak jam 6 pagi, padahal acara baru dimulai jam 8. Kami datang membawa bazaar sangat murah, perlengkapan sekolah dan sembako hasil sumbangan teman-teman donatur dari Jakarta, dan membagikan kacamata gratis. Menariknya, saat itu musim kampanye. Badan pengawas pemilu sempat menghentikan kami: jangan-jangan ada embel-embel politik di balik kegiatan ini. Saya langsung minta mereka ikut memantau—kalau ada atribut parpol atau yang menyebut nama calon kepala daerah, tangkap saja, itu pasti penyusup! Syukurlah, acara berjalan bersih dan lancar. Semua barang ludes terbagi, semua warga pulang tersenyum. Membaca tulisan CHDI pagi ini soal Panglima Jilah dan Pasukan Merah yang sangat berpengaruh di Kalbar, saya jadi teringat betapa masyarakat Dayak memang punya semangat kebersamaan yang luar biasa. Entah dalam acara adat, pembangunan, mereka selalu hadir dengan energi penuh. Namun sayang kami tidak ketemu tokoh Dayak sakti yang pada saat itu. Yang jelas, baik bazaar sederhana itu maupun pertemuan para tokoh di Sambora, keduanya memperlihatkan...
Fauzan Samsuri
Hanya wajah angkernya yang tanpa tatto (tulis Abah DI). Kalau kita cermati fotonya di CHDI saya kira wajahnya seperti laki-laki pada umumnya, kesannya kelihatan tidak angker. Itu hanya penilian saya, yang sangat bisa berbeda dengan Abah, perusuh dan pembaca CHDI lainnya. Memang kata-kata kadang tidak sama dengan visualisasinya, mungkin itulah kenapa kita diberi panca indera, agar bisa mengklarifikasi fakta, yang dikatakan, yang dengarkan, yang dilihat, yang tercium dan yang terasa bisa kita simpulkan menjadi fakta. Terlepas dari fakta tentang Panglima Jilah dengan segala kepopulernya, saya lebih tertarik dengan masa mudanya yang harus bekerja kasar dan cerita tentang Sujiwo seorang Bupati asal Jawa yang ikut bapaknya transmigrasi karena kemiskinan orang tuanya. Dari cerita 2 tokoh ini kita masih berharap agar para pemimpin "diatas" sana menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai panglima, bukan hanya kelompoknya, sebagaimana sila kelima keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Liam Then
Mendiang bapak saya asal daerah hulu, namanya Senakin. Ceritanya umur 17 mengungsi ke Pontianak karena tuntunan situasi dan nasib saat itu. Bapak saya bahkan masih fasih bahasa Dayak, padahal sudah berpuluh tahun tinggal di Pontianak. Banyak cerita menarik tentang orang Dayak yang dikisahkan oleh bapak kepada saya. Salah satunya pernah saya tuliskan dikolom komentar dua atau tiga tahun lalu. Kesan pribadi saya, suku Dayak sangat kohesif. Dan sangat-sangat ramah terhadap tamu. Bapak saya dulu sering cerita kalau masuk berkunjung masuk kampung, tuan rumah tak akan sungkan potong babi peliharaan untuk menjamu tamu. Padahal masa itu, tingkat kondisi ekonomi masa itu tak bisa dikatakan nyaman. Yang paling sering saya pikirkan adalah kondisi masyarakat Dayak Kalbar di hulu dan pedalaman, masa keemasan kayu Kalbar tempo dulu, sama sekali tak meninggalkan jejak kemakmuran bagi mereka. Makanya setiap kali saya bertemu orang Dayak di Pontianak, begitu saya tahu orangnya asal kampung. Hal yang pertama saya tanya, adalah apakah sudah punya kebun sawit. Syukurlah dari yang banyak saya tanya, rerata mengatakan sudah punya. Sungguh senang mendengarnya. Tak cukup senang, saya pun tambah mengapi-ngapikan, upayakan agar penduduk kampung kompak,tak kasih orang/perusahaan besar masuk, adat pegang kuat, tanah harus orang kita yang kelola dan dapat manfaat paling besar. Tanam sawit tidak susah, asal sabar tunggu dan rawat beberapa tahun saja, minimal tak bakal pusing makan sehari-hari.
Juve Zhang
Presiden Venezuela ternyata diberi hadiah HP Huawei khusus pake satelit jadi pembicaraan ke om Jin Ping gak bisa di sadap .... jelas ilmu intelijen makin berkembang tidak pake WhatsApp bahaya ....menarik juga ketika Huawei satelit ini diberikan oleh om Jin Ping mengingat minyak Bumi Venezuela setiap hari dibeli oleh Tiongkok Sampai 500 ribu barel jumlah yg lumayan buat Venezuela....yg teoritis minyak bumi nya terbesar Dunia...
Jokosp Sp
Kalau di Banjarmasin atau di Samarinda bisa disebut "Lelaki liur mbaungan". Coba tanya Galuh Banjar pasti di jawab bener itu. Apa bilang Galuh Banjar?. "Ya itu Abahnya kan sukanya nulis yang ada 5i atau yang 7i, apalagi kalau foto mepet nyari kesempatan". "Belum kalau pakai kaca mata hitam, pasti nyuri-nyuri pandang biar ada aku ada di sampingnya".
Liam Then
Zaman dulu daerah hulu Kalbar masih hutan rimba, bapak pernah cerita, zamannya beliau kalau masuk hutan, tak boleh bakar terasi dan ikan asin. Nanti bisa datang yang aneh-aneh. Saya konfirmasikan ke teman saya yang suku Dayak, tinggal di kota tapi rajin mbolang ke hutan, apakah benar adanya? "Benar" katanya. "Ah masak sih" "Tak percaya? Ayo kita pergi, aku bakarkan nanti, asal jangan lari ya" "Tak usahlah, aku sudah puas yang seram-seram di kota sini" "Ah memangnya ada?" "Kau belum tahu, kemaren aku tak sengaja ada janda muda lewat keliat, aku lihat penampakan, seram sekali" "Oh muka istrimu kan" "Kok tahu"? "Aku juga sering" "Kok tahu"?
heru santoso
Note 09: (catatan perjalanan). . . Malam aku mencoba sesuatu yang berbeda: menyusuri sungai Saigon dengan water bus. Moda transportasi ini murah (15.000 dong), namun juga menyimpan pesona tersendiri. Tiket dibeli secara online. Bisa pilih tempat duduk juga. Hari itu aku hendak beli jam 18:30, waktu yang romantis. Habis. Akhirnya aku klik jam 20:30. Larisnya ampun-ampun. Tiket water bus jam tertentu ludes terjual sehari sebelumnya. Bukan trayeknya yang ludes seperti di Kalimas itu. Kami duduk di sisi jendela. Sebenarnya nomer tickets ini utk tempat duduk outdoor yang romantis. Namun gerimis mengurungkannya. Saat melintasi bawah jembatan gantung Phu My, lampunya berpendar anggun. Struktur megah itu membentang elegan, seperti pita merah yang menghubungkan dua dunia: pusat kota yang sibuk dan pinggiran kota yang damai. Tak lama boat berjalan, siluet Landmark 81 muncul di horizon. Pencakar langit tertinggi di Vietnam itu berdiri megah. Bangunan 81 lantai. Ada observation deck di ketinggian hampir 400meter. Tiket untuk akses liftnya 300.000 dong. Arau pake ilmunya pak DI: naik tangga darurat gratis. Kanan kirinya deretan sky scrapper apartemen yg menjadi latar lukisan malam. Indah dan megah. Aku menoleh ke sebelahku dan merapatkan duduk yg sudah tanpa jarak. Kami saling tersenyum tanpa kata—hanya disimpan dalam angan. Selesai menyusuri sungai Saigon dg water boat kami melanjutkan malam ke sebuah tempat yang lagi naik daun dikalangan anak muda: KATINAT Kafé.
Taufik Hidayat
Wah. Sekali lagi membaca tulisan Abag ini memang banyak membuka wawasan saya yang terkadang masih kurang. Selama ini saya memang sudah sering mendengar atau membaca tentang Panglima Burung yang penuh mistis dan legenda tentang suku Dayak. Terus terang walau semua pulau utama di tanah air dari Aceh sampai Papua sudah pernah saya kunjungi, tapi khusus pulau Kalimantan, saya hanya baru pernah ke Kalimantan Timur, itu pun baru sekitar Balikpapan dan Samarinda kemudian Tarakan yang sekarang masuk Kalimantan Utara. Untuk Kalimantan Barat, saya masih buta. Ironisnya kalau Kalimantan bagian Utara yang milik Malaysia dan Brunei, saya malah lebih kenal, dari Kuching di Sarawak, hingga Miri ke perbatasan Brunei, Labuan yang di pulau, Bahkan sampai ke KK di Sabah. Khusus Kalimantan Barat, saya mengenalnya melalui cerita ketika saya masih SD kelas 1 di akhir tahun 1960-an, Kakak paling tua saya malah merantau ke Kalimantan Barat, lebih dua tahun di sana . katanya sih kerja di pedalaman sampai ke Putussibau. Nah dari Pontianak ketika itu belum ada jalan jadi mesti naik perahu sepanjang sungai Kapuas beberapa hari. Nah begitu pulang, bahasanya sudah lain logatnya sudha seperi orang melayu di Malaysia . He he.. kembali ke orang Dayak, saya memang sangat kurang pengen tahunan .. hanya pernah berusaha ke kampung Dayak , itu pun di Malaysia. jadi kisah tentang Panglima Jiah atau Panglima Merah yang sangat banyak pendukung nya dan merupakan pendukung Jokowi hingga Gibran ini bersambung
Agus Suryonegoro III - 阿古斯·苏约诺
ASAL USUL KOMUNITAS DAYAK MENURUT SEJARAWAN.. Menurut hasil penelitian arkeologi, antropologi, dan linguistik, komunitas Dayak adalah penduduk asli Kalimantan. Namun ada catatan penting: mereka bukan manusia pertama di pulau ini. Melainkan bagian dari gelombang migrasi Austronesia sekitar 4.000–5.000 tahun lalu. Sejarawan dan antropolog, termasuk Peter Bellwood dan Wilhelm Solheim II, menyebut bahwa leluhur Dayak berasal dari wilayah pesisir Tiongkok Selatan dan Taiwan, lalu bermigrasi ke Filipina, Sulawesi, dan Kalimantan. Jejak ini diperkuat bukti bahasa: bahasa-bahasa Dayak masuk rumpun Austronesia Barat, serumpun dengan Melayu, Bugis, dan Tagalog. Bukti arkeologis di Gua Niah, Sarawak (usia ±40.000 tahun) menunjukkan ada manusia purba lebih awal, tapi nenek moyang Dayak bukan dari kelompok itu — melainkan pendatang migrasi berikutnya yang kemudian menetap, bercampur, dan membentuk budaya khas Dayak. Kesimpulannya, Dayak dianggap “asli” Kalimantan secara budaya dan sejarah panjang. Namun leluhur mereka datang dari migrasi besar Austronesia.
Thamrin Dahlan YPTD
Panglima Merah. Pontianak, Singkawang, Suku Dayak, Tugu Khalustiwa inilah yang saya kenal terkait Propinsi Kalimantan Barat. Singkawang terkenal kota klenteng dengan Acara Cap Gomeh terbesar di Asia Tenggara. Menjadi objek wisata. Kini sudah ada Lapangan Terbang. Terima kasih Abah , ternyata ada pula Panglima Merah. Sejarah perjuangan sampai akhirnya muncul nama Jokowi kemudian Gibran dan lain lain. Boleh ya bertanya kepada Abah, pun rekan Perusuh. Setahu ku pergerakan / penugasan Presiden, Wakil Presiden dan Menteri Kabinet Merah Putih ada dalam catatan dashboard Mensesneg dan Menseskab. Ketika Presiden ada kegiatan bersamaan maka di tugaskan Wapres menghadiri Acara Paju Lajur di Propinsi Riau. Hadir pula Menteri Kebudayaan, Menteri Olahraga dan beberapa pejabat. Namun ke Acara Panglima Merah di Kalbar apakah ini hanya terjadwal di Acara Bapak Wapres ke Kalbar tidak didampingi (?) Menteri terkait. Mikirnya jangan liar kemana mana ya man- teman perusuh. Pasalnya ketika meninjau korban Gempa di Poso Wapres gerak cepat. Oh ya Suku Melayu ternyata banyak juga di Kalbar. Mereka bermukim di Sambas, Mentawai, Ketapang kaswasan pesisir Pontianak Sehingga dengan mengayuh perahu saja bisa bersilaturahmi dengan sesama suku melayu di Kepulauan Riau. Ketk bersua maka berbalas pantun lah mereka. Walau berjauhan krna berbeda pulau/ Namun darah mengalir suku melayu/ Jauh dimata dekat dihati selalu dirindu./ . Panglima Merah Hang Tuah Hang Lekiu/ Salamsalaman
Bahtiar HS
Bicara Dayak. jadi ingat pernah tugas di PLN Barabai, Kalsel. Thn 1997, waktu Abah blm jd sesuatu di PLN. Hari Minggu. Saya diajak org PLN jalan2 ke Loksado. Bertiga. Naik Balanting Paring. Rafting dg rakit dari bambu di Sungai Amandit dari Loksado ke Kandangan. Sekitar 12 km. Nakhodanya org Dayak. Kecil kerempeng. Tak berbaju. Di pinggangnya terselip mandau kecil. Ia selalu tersenyum. "Kabarnya sungai ini msh banyak buayanya?" tanya saya. Ia tersenyum. "Bagaimana dengan ular?" tanya teman sy. Ia tersenyum lagi. "Sungai ini ada yg dalam?" Lagi2 ia hanya tersenyum. Tak brp lama, kami pun berangkat. Tanpa pelampung. Tanpa helm. Hanya ada galah bambu kecil di atas rakit. Saya ambil salah satu. Lebih dari 2 m. Iseng sy celupkan ke dasar sungai. Hingga tenggelam, dasar sungai blm tersentuh. Mangkanya, dia senyum2 aja. Kami jd tahu jawaban lainnya. Hari itu air ckp deras. Kami zig-zag di antara bebatuan besar yg mecungul di lintasan. Dg galah kami dorong sana-sini utk menghindar. Sesekali kami lihat spt kadal berselancar di tepian. Kami berdoa smg itu bukan anak buaya lg mandi. Tibalah kami di bagian sungai yang menurun. Air lbh deras mengalir. Balanting meluncur lbh cepat. Smtr di atas kepala kami dahan-ranting pohon bergelantungan. Ke situlah pandangan kami tertuju--agar tdk terpatuk ular yg mrs terganggu tidurnya. Smtr sang Dayak tersenyum2 saja. Balanting smakin kenceng. Kami pun terjun ke sebuah lubuk. Brakk! Balanting terguncang dan sy pun terlempar ke sungai...
Wilwa
Secara umum, sebutan Dayak adalah penduduk pulau Kalimantan yang bukan suku Melayu dan/atau bukan beragama Islam. Sebagian besar orang “Dayak” kini bisa menerima sebutan “Dayak” untuk diri mereka. Sebagian dari mereka menyamakan sebutan “Dayak” dengan “Daya” yang punya konotasi netral. Atau menafsirkan “Dayak” sebagai sinonim orang “Hulu” sedangkan orang Melayu sebagai orang “Hilir”. Sama seperti orang Tionghoa yang bisa menerima disebut China (dibaca: Caina) asalkan bukan Cina. Sebab mereka menyaksikan bahwa penduduk di Tiongkok sana sendiri tak keberatan dengan istilah China. Seperti “Made In China” di produk-produk mereka atau di kaos atlet mereka. Mengasumsikan bahwa sebutan China merujuk pada Dinasti Qin 秦(221-206 SM). Setidaknya Qin dibaca Chin. Bukan Cina apalagi Cino dalam bahasa Jawa yang mana a seringkali disebut o. Seperti Jawa yang sering disebut Jowo. Jiwa disebut Jiwo. Karna disebut Karno. Harta disebut Harto.
Nur Terbit
Panglima Merah? Wah....setiap kali membaca kata "Merah" untuk sebuah kelompok, sebutan untuk nama seseorang, berpotensi untin selalu viral. Di Jakarta dulu pernah heboh dengan "Kapak Merah", "Kebaya Merah" bahkan ada surat kabar terbit dengan nama "Lampu Merah". Yang disebut terakhir pasti Abang Dahlan Iskan kenal hehe... Tapi bukan itu yang ingin saya komentari. Ketika saya masih aktif sebagai wartawan dari surat kabar sore Harian Terbit (Pos Kota Grup milik almarhum Haji Harmoko), saya beberapa kali datang ke Kalimantan Barat, khususnya Pontianak dan Singkawang bahkan sempat sampai ke Kucing, perbatasan Malaysia-Kalbar. Itu karena pernah berpose liputan wartawan unit perhubungan di Departemen Perhubungan (kini Kementerian Perhubungan). Untuk bidang maritim, kami sering ditugaskan bersama teman-teman mengunjungi kegiatan bongkar-muat di pelabuhan di bawah PT Pelindo (Pelabuhan Indonesia) II berkantor di pelabuhan Tanjung Priok Jakarta Utara. Salah satu pelabuhan yang sering dikunjungi adalah Pelabuhan Pontianak dan pelabuhan di sekitar arah Singkawang. Kunjungan makin sering ke Kalbar setelah ada relasi lama diangkat jadi Kakanwil Deppen di Kalbar, sebelumnya Kansil Deppen DKI Jakarta. Kami diajak ke daerah pelosok masuk ke perkampungan suku Dayak. Kami juga pernah ke satu bukit di daerah sekitar Singkawang ketika bukit tersebut diresmikan dengan menyematkan namanya menjadi "Bukit Soeharto". Pulangnya mampir ke Singkawang melihat dari dekat perkampungan Amoy & etnis Cina
pak tani
PANGLIMA KALAWEIT. Omon omon soal Kalimantan dan suku dayak, ternyata ada juga lho panglima lingkungan di Kalimantan, seorang youtuber bule - Kalaweit. Bernama lengkap Aurelien Francis Brule alias Chanee Kalaweit. Asli Prancis, nikah dengan perempuan asli Dayak. Punya anak, yang sempat viral - Andre Kalaweit. Chanee muda tiba di Kalimantan pada tahun 1998, dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri konflik Sampit. Karena bertampang bule, tentu aman dari Mandau terbang khas pasukan merah. Kejadian seram didepan mata, ternyata tidak membuatnya trauma atau balik kucing. Bahkan saking cintanya pada Kalimantan. Dengan hutan, primata - monyet/owa/orang utan, dan tentu gadis Dayak nya. Chanee mantap menetap dan menjadi WNI di tahun 2013. Berjuang membuat yayasan, membuka lahan dan membuat rumah ramah lingkungan di pedalaman hutan Kalimantan. Kisah lengkapnya, keseharian dan aktifitas yayasan yang dibentuknya bisa disaksikan di channel youtube Kalaweit. Disaat para pejabat dan penguasa negri ini berlomba-lomba mengeruk habis kekayaan alam dan menumpuk pundi-pundi uang kotor, Chanee, yang notabene orang 'luar', justru rela kotor menjaga kelestarian alam dan mewariskan cinta yang luar biasa. Pahlawan Lingkungan dari Kalimantan, Panglima Kalaweit.
Sutiono Gunadi
Bicara tentang Kalimantan memang menarik, tapi saya hanya pernah berkunjung ke ibukota provinsi saja, Pontianak, Palangka Raya, Banjarmasin, Samarinda plus Balikpapan (bahkan pernah mental) minus Tarakan (karena provinsi baru). Belum pernah ke Singkawang atau daerah lainnya, malah pernah ke Kuching. Kalimantan memiliki struktur tanah gambut, sehingga kesulitan untuk mendapatkan air bersih (tidak seperti di Jawa). Kasus serupa rupanya dialami oleh IKN Nusantara . Legenda Panglima Juah / Merah memang tidak banyak yang mengetahuinya, meski sudah bertanya ke orang Dayak. Namun semuanya tetap menghormatinya sebagai pelindung suku Dayak. Di Kalimantan suku Dayak dan Melayu hidup rukun, termasuk dengan suku Jawa dan Madura yang datang sebagai transmigran atau karena pekerjaan atau menikah. Kalimantan memiliki daerah yang luas, yang harus ditempuh lewat darat dan sungai. Uniknya, antar kota di Kalimantan tidak ada penerbangan langsung, selalu transit di Jakarta atau Surabaya. Kalimantan sangat kaya dengan keaneka ragaman hayati, yang perlu dijaga bersama
Er Gham 2
Dimana ya buat bikin bintang bintang an. Mau buat untuk tingkat RT. Bintang Mahaputra tingkat RT di komplek rumah. Buat satpam dan tukang kebersihan juga bisa dinominasikan. Juga warga teladan di RT saya. Supaya semua giat bekerja dan terus mengabdi.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber:

Komentar: 148
Silahkan login untuk berkomentar