Berdoa Agar Tak Bersiul
Kalau Anda membangun pembangkit listrik tenaga uap (batubara) dengan kapasitas 100 MW, pembangkit itu benar-benar akan menghasilkan listrik 100 MW. Terus menerus. Selama 24 jam sehari.
Kalau Anda membeli genset 5 MW mungkin anda akan mendapatkan listrik 4 MW saja selama 24 jam sehari.
Kalau Anda membangun pembangkit listrik tenaga nuklir atau geothermal 500 MW anda akan mendapatkan listrik benar-benar 500 MW selama 24 jam sehari.
Berapa MW-kah listrik yang akan dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga angin berkapasitas 75 MW? Seperti yang sedang dibangun investor Amerika di bukit Pabbaresseng, Sidrap, Sulsel itu?
Jawabnya: belum tentu 75 MW. Juga belum tentu 60 MW. Bahkan belum tentu bisa 30 MW. Bahkan lagi, belum tentu mampu menghasilkan 20 MW.
Begitu tidak pasti seperti itukah? Iya.
Kalau begitu, berapakah listrik yang akan dihasilkan pembangkit listri tenaga angin berkapasitas 75 MW itu?
Jawabnya: tidak pasti. Kita belum punya catatan kecepatan angin di suatu daerah. Jangankan 100 tahun terakhir. Tiga tahun terakhir pun tidak ada datanya. Misalnya jenis angin yang kecepatannya 7 meter perdetik. Mungkin ada di sekitar kita. Tapi berapa lamakah angin jenis itu bertiup? Berapa jamkah sehari? Dalam hidup kita, kita tidak pernah mencatat kecepatan angin di sekitar kita.
Karena itu kita tunggu dulu catatan dari pengalaman investor di Pabbaresseng itu. Dengan mengoperasikan proyek ini dia akan mencatat kecepatan angin setiap saat. Di komputernya.
Dalam waktu satu tahun ke depan, kita, atau investor itu, akan punya data angin di Pabbaresseng. Maka jangan ganggu proyek ini. Kita bantu dan kita doakan agar bisa beroperasi dengan lancar. Agar kita bisa memperoleh pelajaran mahal: berapa persenkah hasil listriknya dibanding kapasitasnya?
Saya sudah mengunjungi banyak sekali proyek seperti ini. Di Eropa, di Amerika, di gurun Ghobi, Tiongkok Barat dan juga di kebun penari langit lokal yang dibangun Ricky Elson dengan termehek-mehek di sebuah bukit di pedalaman pulau Sumba, NTT.
[caption id="attachment_4806" align="alignnone" width="960"] Dahlan Iskan, Ricky Elson dan Bu Tri Mumpuni saat meninjau penari langit di pedalaman Sumba, NTT[/caption]
Jadi, bagaimana menghitung berapa banyak listrik yang akan dihasilkan oleh penari langit bule di Pabbaresseng berkapasitas 75 MW itu?
Jawabnya: tergantung.
Pertama, tergantung besarnya tiupan angin di sana.
Kedua, tergantung berapa jam angin bertiup kencang selama 24 jam di sana.
Ketiga, tergantung teknologi yang dipakai: kecepatan angin berapa bisa menghasilkan listrik berapa. Atau, kecepatan angin minimal berapa bisa menggerakkan baling-baling bulenya.
Teknologi terbaru menyebutkan kecepatan angin 3 meter perdetik sudah bisa menghasilkan listrik. Meski tidak sebesar kalau 7 meter perdetik. Bahkan kincir ciptaan Ricky Elson sudah bisa menghasilkan listrik hanya dengan kecepatan angin satu meter perdetik.
Asumsi yang saya baca dari laporan wartawan Harian Fajar Makassar, saudara Dany Marzuki dan Edy Basri adalah: kalau kecepatan angin di Panbaresseng mencapai 7 meter perdetik, maka tiap unit pembangkit listrik itu akan menghasilkan 2,5 MW.
Di lokasi itu kini sudah berdiri 30 unit. Berarti 30 x 2,5 MW. Jumlahnya 75 MW.
Artinya, kapasitas 75 MW itu akan tercapai kalau selalu ada angin berkecepatan 7 meter/detik selama 24 jam terus menerus.
Bisakah Anda membayangkan kecepatan angin di sekitar Anda? Kalau Anda lagi meniup lilin untuk ulang tahun, misalnya, kecepatan angin yang keluar dari mulut Anda sekitar 1 meter/detik.
Mudah-mudahan angin terus besar di Pabbaresseng. Semoga juga tidak akan didirikan pabrik jamu tolak angin di sana. Semoga juga tidak ada orang masuk angin di Sidrap sehingga semua angin bisa menggerakkan baling-baling green energy ini.
Sebab, begitu tidak ada angin, pembangkit ini tidak akan menghasilkan listrik sama sekali. Orang se Sidrap bersiul bersama sekalipun tidak akan mampu menggerakkan baling-balingnya.(dis)
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber:
Komentar: 20
Silahkan login untuk berkomentar
Masuk dengan Google