Rekam Jantung
KATA 'predator' akan jadi kosakata baru di dunia politik Amerika. "Ke depan kita akan sering mendengar kata 'predator' diucapkan di Amerika," kata John Mohn dalam WA-nya kepada saya.
John sering saya tanya untuk melihat apa yang terjadi di akar rumput di Amerika. Ia orang biasa. Kulit putih. Mengidentifikasikan diri sebagai orang Partai Republik. Tapi ia sering memilih calon dari Demokrat. Tinggalnya juga di kota kecil di pedalaman yang paling tengah di Amerika: Kansas. Istrinya juga kulit putih dan tetangganya semua kulit putih.
John pengagum Barack Obama. Ia tidak melihat Obama itu sebagai kulit hitam. "Obama itu kulit putih," katanya. Ia tahu ayah Obama orang Kenya, kulit hitam. Tapi ia melihat cara berpikir dan cara bicara Obama adalah kulit putih. Seperti ibunya.
Ia sering mengejek Donald Trump. Beberapa kali ia mengirimi saya meme lucu. Yang isinya 'jangan pilih Trump'.
Di Pilpres yang lalu ia memilih Hillary Clinton. John tidak perlu ditanya memilih siapa di Pilpres 3 November depan. Termasuk biar pun Capres Joe Biden menggandeng orang kulit hitam sekaligus keturunan Asia menjadi Cawapresnya: Kamala Devi Harris.
Tentu saya menanti-nantikan pidato Cawapres keturunan Madras, India itu. Yakni saat dia menyatakan menerima pencalonannyi sebagai Wapres.
Pidato itu dilakukan di forum konvensi Partai Demokrat. Yang ruangannya megah dan besar. Tapi tidak ada delegasi yang hadir di gedung itu. Di ruang itu hanya ada wartawan, itu pun sangat terbatas. Inilah untuk pertama kali pidato Capres/Cawapres dilakukan di podium yang menghadap ke ruang kosong –akibat pandemi Covid-19.
Semua delegasi mengikuti acara itu di rumah masing-masing secara online.
"Apakah pidato Kamala hari itu sesuai dengan harapan Anda? Lebih buruk? Lebih baik?" tanya saya pada John.
"Dia itu wanita cerdas dan pembicara yang baik. Dia pas sekali menyebut Trump itu sebagai apa: predator. Maka kita akan sering mendengar kata predator setelah ini," jawabnya.
Kamala sudah menciptakan istilah baru untuk mengidentifikasikan siapa Trump. Sangat negatif: predator. Hama. Seperti wereng. Ia predator demokrasi, predator kerukunan, predator ekonomi, dan predator apa saja.
Kamala memang kenal keluarga Joe Biden. Anak Joe Biden adalah jaksa Agung di Delaware. Kamala jaksa Agung di California. "Di saat krisis ekonomi yang lalu hampir tiap hari saya bicara dengan Beau Biden di telepon," ujar Kamala dalam pidatonya itu. Yakni untuk mencari jalan keluar bagaimana bank terbesar di Amerika harus bertanggung jawab menyelesaikan kewajibannya.
Anda sudah tahu: anak Joe Biden yang jaksa agung itu meninggal dunia pada 2015 karena kanker.
"Sisi lemah apa yang ada pada Kamala yang akan jadi sasaran serangan Trump?" tanya saya lagi.
"Hanya satu: Trump akan menyerangnyi sebagai bukan orang Amerika," jawab John.
Begitu sulit mencari kelemahan Kamala, kecuali soal ras tadi. Sasaran serangan pun akan lebih ke Biden langsung.
Tapi semakin sulit juga menyerang Biden. Peluru untuk Biden sudah dihabiskan tahun lalu. Dalam kaitan dengan keterlibatan anak Biden yang lain di bisnis di Ukraina dan di Tiongkok. Itu pun tidak mempan.
Fokus serangan berikutnya kelihatannya akan beralih ke umur: Biden sudah 77 tahun. Tapi ini juga tidak terlalu ampuh. Trump sendiri sudah 74 tahun.
Rupanya soal umur ini akan tetap dipakai menyerang Biden. Dengan cara: bikin isu ancaman kulit hitam dan aliran kiri.
Maka dihembuskanlah isu ini: kalau Biden meninggal dalam jabatan Kamala akan jadi presiden. Trump akan membawa sentimen ras lagi: masak sih presiden Amerika kulit hitam lagi. Bahkan wanita.
Isu itu kemarin dikembangkan lebih luas. Lewat media sosial. Yang melontarkan isu itu tanpa menyertakan identitas jelas. Ketika dihubungi wartawan tidak tersambung.
Isu baru ini mendapat respons luas. Bunyinya: kalau Biden meninggal dalam jabatan Kamala akan jadi presiden dan Ketua DPR Nancy Pelosi akan otomatis jadi wakil presiden.
Sang buzzer perlu memasukkan nama Nancy Pelosi karena nama ini sangat tidak populer di kalangan pendukung Trump.
Maka media mainstream di sana kini sibuk melakukan pengecekan fakta. Ternyata tidak seperti itu.
Kalau pun Biden meninggal, dan kalau pun Kamala otomatis jadi presiden, tidak otomatis Ketua DPR menjadi Wapres.
Yang benar: Kamala sebagai presiden baru akan memilih satu nama calon wakil presiden. Nama itu harus mendapat persetujuan DPR dan Kongres.
Usaha buzzer seperti itu dianggap berhasil. Setidaknya dalam dua hari terakhir ini langit Amerika dipenuhi isu Biden akan mati ketika menjabat presiden nanti.
Rasanya itu pun hanya akan jadi keberhasilan jangka pendek. Hasil survei politik terus menempatkan nama Biden kian tinggi. Sampai-sampai muncul isu baru: kalau mau menang Trump harus mengganti calon wakil presiden.
Cawapres Trump memang belum ditentukan. Tapi selama ini selalu Wapres incumbent tetap digandeng di pencalonan berikutnya. Apalagi jasa Wapres Mike Pence sangat besar untuk keterpilihan Trump periode pertama.
Pence-lah yang mendekatkan golongan Kristen ke Trump. Ia memang dikenal sangat Kristiani. Sangat konservatif. Banyak 'Perda Syariah' lahir di Indiana ketika Pence jadi gubernur di sana.
Padahal sebelum itu Trump dikenal sebagai Kristen yang tidak taat. Orang mengenal agama Trump sesungguhnya adalah yang 'itu'.
Berkat Pence akhirnya kalangan gereja menyukai Trump. Meski tidak semua. Itu sudah cukup. Bisa jadi Pence tidak diperlukan lagi. Manisnya sudah habis diisap.
Trump yang selama jadi presiden pun tetap dikenal sebagai tukang pecat diperkirakan juga akan memecat Pence.
Ada keuntungan lain memecat orang yang dulu sangat berjasa padanya itu. Bukankah secara formal wakil presiden adalah ketua tim penanggulangan Covid-19?
Maksud saya: sekalian saja dua pulau dilampaui. Trump bisa mencari calon wapres baru yang lebih potensial mendulang suara. Itu penting untuk bisa mengimbangi Kamala Harris. Pulau keduanya pun bisa diraih: dapat kambing hitam. Pence akan bisa dijadikan kambing hitam mengapa penanganan Covid-19 selama ini berantakan.
Cari kambing Covid-19 itu penting, karena pusat keburukan Trump ada di situ. Dan Trump akan berseri-seri mendapat ide kambing hitam yang sangat pas itu: Pence.
Kecuali Trump tetap ngotot menggunakan kambing hitam lamanya: Tiongkok.
Tapi Tiongkok terlihat sangat bisa menahan diri di Taiwan. Padahal armada Amerika sudah keliling terus memutari laut sekitar Taiwan.
Adakah Trump pasti kalah?
Kewaspadaan justru disiarkan oleh Hillary Clinton. Yang juga jadi pembicara di konvensi online itu.
Di Pilpres lalu perolehan suara Hillary 2,8 juta lebih tinggi dari Trump. Tapi Hillary kalah di lebih banyak dapil. "Bisa saja suara Biden nanti 3 juta lebih tinggi dari Trump. Tapi yang terpilih Trump. Demokrat harus belajar dari apa yang saya alami," ujar Hillary.
Hillary senang Kamala menjadi Cawapres. Tapi lebih senang lagi orang-orang India. Teman-teman India saya ikut berkibar. Ada yang mengirimi saya lelucon ini. Yang saya pakai untuk menutup tulisan ini:
Seorang keturunan India melamar bekerja sebagai sales di toko besar di Los Angeles.
Di sore hari pertama ia bekerja bosnya bertanya: sudah mendapat berapa pembeli?
"Satu orang," jawabnya.
"Hanya satu orang? Di sini seorang sales setidaknya bisa mendapat 20 pembeli sehari," kata sang bos.
"Maafkan," kata si sales baru.
"Jadi, kamu dapat uang berapa?“
"1,5 juta dolar," jawab sales.
"Bagaimana bisa? Ngawur," tegur bos itu. "Beli apa orang itu?“
"Awalnya dia hanya mau beli obat sakit kepala. Lalu saya beri nasihat agar jangan terus menerus makan obat. Lebih baik mancing saja. Sakit kepala bisa sembuh. Lalu saya tawari alat pemancing yang mahal. Mau. Lalu saya tanya mau mancing di mana? Jawabnya: di laut. Berarti harus membeli boat. Saya bawa ke bagian penjualan boat. Dia beli boat dengan mesin ganda. Persoalan muncul, boat itu ditarik dengan apa. Mobilnya tidak cukup besar. Lalu saya tawari mobil khusus penarik boat. Lalu saya tanya lagi mau mancing di laut mana. Dia kelihatan bingung. Maka saya tawari mobil kamping 6 tempat tidur".
Bos itu mulai takjub.
"Sebelum ini Anda kerja di mana? “
"Di India".
"Sebagai apa?"
"Penerima pendaftaran pasien di rumah sakit. Kalau ada pasien datang, biar pun sakitnya ringan, saya tawari mereka CT Scan, MRI, rekam jantung, foto torak, dan periksa darah lengkap."(Dahlan Iskan)
Ketika saya podcast dengan Azrul Ananda, sering ada yang penasaran dengan cerita si bungsu Isna Fitriana. Nah, dia kini gantian podcast dengan saya.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber:
Komentar: 89
Silahkan login untuk berkomentar
Masuk dengan Google