Lima Tahun Robohnya Rumah Radio Pemberontakan Bung Tomo (4)

Lima Tahun Robohnya Rumah Radio Pemberontakan Bung Tomo (4)

Markas BPRI Ketahuan, Jalan Mawar Dibombardir

Surabaya sudah tidak aman bagi Bung Tomo. Mata-mata ada di mana-mana. Tentara sekutu menjanjikan hadiah besar bagi yang berhasil menangkap orator ulung itu. Zender atau pemancar radio di Jalan Mawar Nomor 10 tak bisa dipertahankan lagi.

TEMPAT zender yang dipakai Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) sangat rahasia. Dari luar, rumah di Jalan Mawar 10 dianggap sebagai rumah biasa. Padahal di sebelah selatan rumah induk tersebut terdapat perangkat radio yang dipakai Bung Tomo dan Ktut Tantri untuk siaran.

Pejuang BPRI yang dipimpin Bung Tomo sudah berjaga-jaga jika ketahuan. Mereka memasang pertahanan berupa mitraliur watermantel atau senapan mesin dengan pendingin air di depan markas.

Mereka merasa markas mulai tidak aman saat memasuki November 1945. Wilayah utara Surabaya sudah dikuasai sekutu. Beberapa pasukan BPRI merasa dibuntuti orang tidak dikenal saat menuju ke Jalan Mawar 10. Kemungkinan besar, mereka adalah mata-mata yang sedang mengincar imbalan dari sekutu. 

Bung Tomo dan radio pemberontakannya sudah sangat merepotkan Belanda yang dibantu Inggris. Padahal mereka sebenarnya menang secara persenjataan dan jumlah pasukan. Pimpinan Redaksi Kantor Berita Antara Surabaya itu berhasil menggerakkan warga sipil untuk mempertahankan kemerdekaan. Ada yang dipersenjatai senapan dari rampasan Jepang, pasukan bom bunuh diri dan warga yang cuma bawa senjata bambu runcing. 

Untuk mengamankan markas, setiap pasukan tidak boleh sembarangan masuk. Yang merasa dibuntuti harus menunggu sampai aman. Jika sudah sangat mendesak untuk ke markas, mereka harus cari jalan tikus. Lewat perkampungan di sisi selatan.

Penggalan situasi markas BPRI itu diceritakan oleh salah satu pejuang: Mochammad Sifun. Pendiri komunitas Roodebrug Soerabaia Ady Setyawan menemukan lembaran kesaksiannya dari kantor DHD 45 di Mayjen Sungkono. “Sayang sudah banyak yang rusak,” kata Ady.

Sifun pernah diminta Bung Tomo untuk berpidato lewat radio untuk memanggil pejuang yang belum aktif di badan perjuangan. Ia mengajak semua warga bergabung ke BPRI. Pertahanan Surabaya tak boleh jebol walau harus dibayar dengan ribuan nyawa. 

Rupanya orasi yang dilakukan secara bergantian itu terdengar ke penjuru kota melalui radio bekupon, radio yang bentuknya kotak mirip sangkar burung dara. Bung Tomo berhasil memanfaatkan alat propaganda Jepang itu sebagai strategi perang revolusi.

“Sayang radio itu sudah banyak yang dihancurkan. Tersisa satu di dekat Jalan Mawar. Itu pun juga miris kondisinya,” ujar Ady. Radio bekupon setinggi tiga meter itu terikat dengan batang pohon di ujung Jalan Kombes Pol M Duryat. 

Radio bersejarah itu berdiri di atas aspal. Bukan dalam area taman. Kalau ada mobil yang menabraknya, radio tersebut bisa roboh dan hancur berkeping-keping. Ady kecewa dengan sikap pemkot yang tidak memperhatikan peninggalan sejarah itu. “Jangan sampai baru menyesal kalau sudah roboh,” tambah pakar sejarah perang revolusi Indonesia itu.

Ia berharap jalan di lokasi radio bekupon itu ditutup. Sebab, banyak kendaraan yang berputar balik di sana. 


TULISAN PENGGUGAH SEMANGAT untuk mengenang peran para pejuang yang menggunakan radio bekupon di Jalan Kombes M. Duryat.
(Foto: EKO SUSWANTORO-HARIAN DISWAY)

Dahulu, Bung Tomo melihat keberadaan radio bekupon itu sebagai kekuatan besar Surabaya. Sebelum mengudara, Bung Tomo meminta izin ke Jakarta. Ia bertemu Presiden Soekarno dan Menteri Penerangan Amir Sjarifudin pada Oktober 1945. Ia menerangkan proses pengambilalihan senjata Jepang di Surabaya. Kekuatan sudah ada. Bung Tomo juga menceritakan strateginya berjuang lewat radio bekupon itu.  

Rupanya Bung Karno setuju. Yang penting tidak boleh menggunakan fasilitas radio milik pemerintah yang tentu gampang ketahuan. Setelah kembali ke Surabaya, Bung Tomo langsung menuju ke Kantor RRI Surabaya. Ia meminta bantuan peralatan untuk mendirikan radio pemberontakan.

Ia sudah punya pasukan inti: Soemarno, Asmanu, Abdullah, Amiaji, Sujarwo, serta Suluh Hangsono. Surat kabar Suara Rakyat yang diterbitkan 13 Oktober 1945 menyebutkan bahwa mereka dibantu pimpinan supir becak, orang tua berilmu gaib, serta para pemuda berani mati. 

Setelah mendapat peralatan radio, Bung Tomo membakar semangat arek-arek Suroboyo selama berhari-hari.  Rupanya strateginya berhasil. Kekuatan pasukan semakin besar. 

Namun, lambat laun markas di Jalan Mawar semakin dicurigai. Anggota Palang Merah Indonesia (PMI) Sulistina, yang kelak menjadi Istri Bung Tomo, mengisahkan detik-detik Jalan Mawar penyerangan markas pemberontakan itu dalam memoarnyi. Markas utama itu dibombardir sekutu.

Sulistina menggambarkan bahwa pesawat tempur berlalu lalang di langit Surabaya. Mereka melayang-layang di atas markas BPRI di Jalan Mawar. Terdengar suara teriakan agar semua pasukan dan PMI mencari tempat perlindungan. 

Semuanya berhamburan keluar gedung mencari tempat yang kira-kira tidak akan diserang. Sulistina dan temannyi bersembunyi di kebun pisang. “Kawanku tak henti bibirnya berdoa, dia adalah anggota Pasukan Kyai dari BPRI. Bom, peluru dan mortir tidak jatuh di tempat kami bersembunyi. Tampaknya zender Jalan Mawar sudah ketahuan musuh,” tulis Sulistina.

Pertempuran sangat mencekam. Mortir terus berjatuhan. Pasukan Sekutu dan pasukan Inggris yang berpengalaman dalam Perang Dunia II menyerang secara membabi buta. Makin banyak laskar yang jadi korban. Mereka gugur bersama rakyat sipil yang tak berdosa. 

Darah tercecer di mana-mana. Bau anyir darah begitu menusuk hidung Sulistina. Dia menyaksikan pemuda yang punggungnya terkena pecahan mortir. Tulang ekornya terlihat bak semangka yang terkelupas.

Bung Tomo dan pasukan terdesak mundur. Markas sempat berpindah ke Wonocolo namun Surabaya sudah sangat tidak aman. BPRI lalu mundur ke Bangil, Pacet, dan Malang. Dari sana api perjuangan tak dibiarkan padam. (Salman Muhiddin-bersambung)

 

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Komentar: 0