Putri Gus Dur dan Imam Masjid Istiqlal Raih Soetandyo Award

Putri Gus Dur dan Imam Masjid Istiqlal Raih Soetandyo Award

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga tetap konsisten menggelar Soetandyo Award. Inilah penghargaan untuk tokoh humanis, multicultural, serta pembela Hak Asasi Manusia.

AIR mata Prof Nasaruddin Umar hampir saja menetes. Ia tidak kuasa menahan haru saat berpidato di atas Podium Aula Garuda Mukti Universitas Airlangga, Selasa (14/12). Imam Masjid Istiqlal itu tidak menyangka bakal mendapat Soetandyo Award. 

”Sebenarnya saya belum menjadi manusia final. Kalau saya ada salah di kemudian hari, mohon gelar ini dicabut,” ungkap mantan Wakil Menteri Agama itu.

Nasaruddin teringat akan kehidupannya di masa kecil. Kegiatannnya hanya menghafal Al-Quran. Maklum ia menempuh pondok pesantren di daerah Sulawesi. Tapi dari situ rasa humanisnya berawal.

Pendalaman Al-Quran, membawanya mengerti esensi cinta di agama Islam. Menurutnya Al-Quran seandainya bisa dipadatkan maka cukuplah menjadi surah Al Fatihah. Jika surat tersebut dipadatkan kembali bisa diartikan sebagai cinta.

”Jadi tidak berhak bila seseorang mengatasnamakan Islam. Tapi berisi kemarahan dan kebencian,” kata alumnus IAIN Alauddin Ujung Pandang (sekarang Makassar)itu.

Menurutnya Al-Quran memiliki konteks HAM yang bisa diikuti. Misal dalam konteks pengakuan keyakinan. Kitab suci yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad itu memuliakan anak dan cucu Adam. Berarti ada kesetaraan setiap umat manusia. Meskipun berbeda keyakinan.

Nasaruddin sendiri aktif menyebarkan dakwah mengenai Islam toleran. Ia kerap memasang badan bila berhadapan dengan Islam ’’beraliran’’ tertentu. Selain itu, ia juga melatih guru madrasah maupun pesantren agar lebih memahami literasi keagamaan lintas budaya.

Selain itu, ia juga menyumbangkan hadiah dari Soetandyo Award untuk pemeliharaan taman di Universitas Airlangga. Sebagai bentuk kesetaraan antarmakhluk cosmos di bumi.

Selain Nasaruddin, Putri Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid juga mendapatkan gelar serupa. Penghargaan itu disematkan karena kegigihannyi membela kaum minoritas.

Nama Alissa Wahid memang sudah santer terdengar sejak tahun 1999. Kala itu, Gus Dur sedang mencapai titik tertinggi karir politiknya. Otomatis keluarganya menjadi sorotan media. Namun kondisi itu berubah setelah Gus Dur dilengserkan.

”Sejak saat itu, saya lebih banyak bergerak di balik layar,” ungkap alumnus SMAN 8 Jakarta itu.

Namun pada tahun 2009, Gus Dur wafat. Tokoh Nahdlatul Ulama itu terkenal membela kaum minoritas. Salah satu yang diperjuangkan adalah kepercayaan Konghucu sebagai agama yang diakui pemerintah.

Setelah kematian ayahnyi, Alissa Wahid berinisiatif melanjutkan perjuangan Gus Dur. Yakni membela kaum minoritas. Baik membela etnis maupun kepercayaan. Bahkan dia menjadi koordinator organisasi Gusdurian. Sebagai wadah memperjuangkan hak-hak kaum minoritas di Indonesia.

”Saya ingat perkataan Gus Dur. Melompati pagar ketakutan mungkin itu bakal menjadi harga yang bisa didapatkan,” terang alumnus Universitas Gadjah Mada itu.

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Prof Bagong Suyanto menjelaskan ini sudah kali ketujuh Soetandyo Award digelar. Dimulai sejak 2015. Soetandyo merupakan tokoh pendiri FISIP di Unair. Yang memiliki jiwa multikultur dan menjunjung HAM.

Pada tahun ini ada sepuluh kandidat yang masuk nominasi. Kemudian terseleksi lima. Serta terpilih dua orang. ”Biasanya hanya satu tiap tahunnya. Khusus tahun ini ada dua. Karena ketokohannya sama-sama baik,” katanya. (Andre Bakhtiar)

Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Wahid (kiri) menerima Soetandyo Award dari FISIP Universitas Airlangga.
(Foto: Eko Suswantoro)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber:

Komentar: 0