Prof Purnawan Tak Setuju Nama Alun-Alun Surabaya
SUDAH sebulan lebih polemik penamaan Alun-Alun Surabaya menggelinding. Akademisi, hingga pegiat komunitas sejarah meminta nama alun-alun itu diubah atau dikembalikan ke nama Balai Pemuda. Namun, hingga kemarin pemkot masih belum mengabulkan permintaan itu.
Ketua Umum Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Jatim Prof Purnawan Basundoro ikut memberi masukan. Ia meminta nama alun-alun bawah tanah itu diganti. “Berdasar kajian MSI Jatim, pemberian nama itu tidak memiliki basis sejarah yang cukup. Serta tidak mengacu pada bentuk alun-alun pada umumnya,” ujar Dekan Fakultas Ilmu dan Budaya (FIB) Universitas Airlangga (Unair) tersebut.
Dalam konteks kabupaten atau kota di Jawa, yang disebut alun-alun adalah sebuah hamparan tanah lapang yang menjadi halaman keraton/pendopo kabupaten. Bentuknya persegi empat.
Dari pengertian sederhana itu, Alun-Alun Surabaya dinilai tidak memenuhi kriteria. Kompleks Balai Pemuda yang jadi wilayah alun-alun bukan keraton atau pendopo. Apalagi konsep alun-alun bawah tanahnya yang ada di bawah Jalan Yos Sudarso itu.
Beberapa akademisi bahkan menambahkan pakem lain. Misalnya keberadaan Masjid Jamik, hingga kantor pengadilan dan penjara.
Purnawan juga menilai pemberian nama alun-alun untuk kompleks Balai Pemuda akan mengaburkan sejarah Kota Surabaya. Berdasar berbagai data sejarah serta peta kuno, yang disebut Alun-Alun Surabaya adalah kawasan yang saat ini didirikan Tugu Pahlawan. Dulu, itu adalah halaman Keraton Surabaya. Seiring pembangunan era kolonial, jejak alun-alun lawas itu sirna.
Alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM) angkatan 1992 itu juga mempertimbangkan nama Balai Pemuda yang sudah lebih dulu ada. Gedung yang dulu bernama De Simpangsche Societeit itu adalah sebuah kawasan bersejarah yang mengacu pada semangat arek-arek Suroboyo dalam menggempur musuh pada konflik bersenjata, Revolusi Nasional Indonesia. “Penggantian nama tersebut tentu saja bisa menghapus memori kolektif masyarakat Kota Surabaya terhadap makna historis Balai Pemuda,” lanjut anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Pemkot Surabaya itu.
Profesor Purnawan Basundoro.
(Foto: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga)
Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unair Kukuh Yudha Karnanta juga punya pendapat sama “Alun-Alun Surabaya bukan hanya problematik secara konsep alun-alun sebagai public space dan public sphere, melainkan juga nama Surabaya,” ujar dosen prodi bahasa dan sastra Inggris itu.
Menurutnya, protes dan keberatan yang disampaikan berbagai pihak bukan wujud penolakan pada keniscayaan zaman. Modifikasi bisa dilakukan di berbagai aspek kehidupan. Namun, yang dibutuhkan saat ini adalah konsep yang matang dan mendalam agar makna alun-alun tidak memudar.
Ia melihat alun-alun memiliki makna sebagai ruang filosofis sekaligus ruang publik yang menghadirkan memori yang sudah lama terekam di suatu wilayah. Penamaan suatu bangunan atau kawasan tidak bisa dilakukan secara arbitrer atau manasuka, melainkan wajib mengedepankan kearifan lokal dan sejarah wilayah tersebut. “Saya yakin ada regulasi daerah sebagai dasar hukumnya,” lanjut peraih penghargaan dalam Piala Citra Festival Film Indonesia (FFI) 2021 itu.
Sejak Januari 2022, kawasan kompleks Balai Pemuda berada di bawah kewenangan Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, Olahraga dan Pariwisata (DKKOP) Surabaya. Penamaannya terjadi di era Wali Kota Tri Rismaharini (2010-2020). Saat itu nama dinasnya masih dinas kebudayaan dan pariwisata (disbudpar).
Kepala DKKOP Wiwiek Widayati belum bisa bicara banyak soal polemik penamaan alun-alun itu. Kewenangan utama ada di tangan Wali Kota Eri Cahyadi. “Tapi saya sampaikan banyak terima kasih atas masukan tersebut,” katanya singkat. (Salman Muhiddin)
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber:
Komentar: 0
Silahkan login untuk berkomentar
Masuk dengan Google