Kekuasaan
Dr. Mahnan Marbawi MA--
Kekuasaan itu memang nikmat. Dan kenikmatan itu tidak boleh dimiliki orang lain. Apalagi orang kecil. Pantas jika penguasa, tidak pernah jauh dari kroni dan cukong-cukong.
Sebab untuk menjadi penguasa perlu dukungan modal dan kroni. Juga trah atau pengalaman. Walau bukan zaman kerajaan yang bisa mewariskan kekuasaan, dijaman sekarang pun kekuasaan bisa dihibahkan lewat jalan konstitusional pemilihan.
Diteruskan, dengan cara direkayasa atau dimodali bisikan dan 'amplop' tukar suara. Kekuasaan selalu identik dan bersanding dengan uang. Baik sebelum maupun sesudah dapat kekuasaan.
Kekuasaan punya kehidupannya sendiri. Uang pun punya rumusnya sendiri. Ada kekuasaan yang langgeng seperti para raja atau diktator. Kekuasaan yang lestari ini, baru putus setelah sedo atau dikudeta.
Ada yang di tengah jalan sudah tumbang tergusur atau tertiup angin puting beliung. Terkapar di tanah kadang hingga tersungkur, tak berkutik diterpa gelombang demo atau mosi atau kudeta para pemburu kekuasaan.
Ada juga yang layu sebelum berkembang. Karena dibonsai dan dikotakkan. Yang terakhir ini bisa jadi lebih karena kurang kroni dan modal. Atau karena tak bermutu! Juga peruntungan yang tak untung.
Kekuasaan berkelindan dengan uang yang dikuasai para cukong. Menganut kaidah “tak ada makan siang yang gratis”. Walau tak gratis, setiap manusia akan selalu mengejar kekuasaan. Betapa pun kecil kekuasaan itu.
Bahkan hingga menurunkan tabiat “sok kuasa”. Walau tak pernah beriklan, kekuasaan dan uang membuat candu. Seolah tali penjerat-mengikat erat. Menjadi adiksi, ketergantungan. Bahkan kegilaan.
Betapa terikatnya manusia pada kekuasaan dan uang. Sampai kaki dan tangan, juga otaknya. Gerak langkah manusia dan motivnya tak lepas dari mengejar, mempertahankan, memperbesar dan atau merebut kekuasaa, pun uang.
Medianya bisa ragam warna dan laku. Caranya bisa konstitusional atau tak konstitusional. Berdarah atau tak berdarah. Melahirkan kelas manusia penghamba kekuasaan atau uang, pencari kekuasaan atau uang, mengejar kekuasan atau uang dan gila kekuasaan atau uang.
Menciptakan kontestasi dan jual-beli kekuasaan/jabatan. Kontestasi mulai dari pemilihan kepala RT (Rukun Tetangga) hingga presiden, harus ada yang dijual dan dibeli. Suara yang dibeli atau membeli suara -vote buying.
Atau menjual suara (baca dukungan) asal dapat kursi atau konpensasi. Bahkan ada yang tak sadar suaranya terbeli, tanpa mendapat apa-apa alias zoong. Masih kurang percaya? Tengok saja, tangkapan lembaga anti-rasuah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menangkap para pejabat yang menjual-belikan jabatan ketika berkuasa.
Dalam sejarahnya, soal kekuasaan selalu dihiasi dengan darah, kejatuhan, kebangkitan dan kemunculan para penguasa.
Kolaborasi ambisi, uang, dendam, dan seabrek bumbu-bumbu godaan kekuasan yang melahirkan berbagai kepentingan demi kekuasaan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: