Gelombang PHK, Pakar Psikologi UMM Khawatirkan Dampak Psikologis kolektif Pekerja: Bisa Stres Berkepanjangan

Gelombang PHK, Pakar Psikologi UMM Khawatirkan Dampak Psikologis kolektif Pekerja: Bisa Stres Berkepanjangan

Prof. Dr. Tulus Winarsunu dalam satu kegiatan di Kampus Fakultas Vokasi UMM-Istimewa-

Oleh karena itu, lanjut dia, biasanya mereka merasa sangat yakin berhasil dan mampu mengahadapi tantangan finansial.

Ini menjadikan manajemen menjadi berani mengambil resiko tanpa mempertimbangkan kegagalan.

BACA JUGA:Menko PMK: Pentingnya Koordinasi Lintas Kementerian untuk Selesaikan Masalah Stunting

BACA JUGA:Menko Infrastruktur Sebut Proyek Kereta Cepat Jakarta ke Surabaya Masih Dalam Fase Kajian

Padahal, kata Tulus lagi, bisa jadi akibat keberanianya ini mengakibatkan kewajiban finansialnya terus meningkat melampaui kemampuan perusahaan.

“Konsep ini disebut sebagai overconfidence bias,” jelasnya,

Satu hal lagi, banyak perusahaan-perusahaan besar menurut sosok yang dinilai sukses memimpin Fakultas Vokasi UMM ini, biasanya akan terikat oleh keputusan investasi besar yang telah dikeluarkan.

Karena menyangkut investasi besar, tentu saja perusahaan-perusahaan tersebut, dengan segenap usaha berusaha untuk tidak menyia-nyiakan investasi itu.

Bahkan, lanjut dia, meskipun investasi itu sudah ada indikasi mengalami kerugian perusahaan masih terus menjaga dan mepertahankannya.

BACA JUGA:Dongkrak Pariwisata, Erick Thohir Bakal Bentuk Satgas Bersama Kementerian Pariwisata

BACA JUGA:DPR Kritisi Rencana Pemerintah Impor Beras hingga Mencapai 1 Juta Ton

“Meskipun rugi dan investasi tidak mungkin Kembali masih saja diperjuangkannya,” kata Tulus.

Dari kacamata psikologi, hai itu disebut Tulus sebagai fenomena peningkatan komitmen (escalation of commitment) untuk investasi yang telah dikeluarkanya itu.

“Jadi terjadi fenoema perusahaan terperangkap oleh motivasi untuk terus memperjuangkan usaha, khususnya investasinya. Mereka akan terus berjuang meski dana atau investasi tersebut tidak mungkin kembali, Fenomena ini disebut sebagai sunk cost trap atau sunk cost fallacy,” paparnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber:

Berita Terkait