PPN 12 Persen Semakin Dikritik, Ekonom: Akan Berdampak pada UMKM

PPN 12 Persen Semakin Dikritik, Ekonom: Akan Berdampak pada UMKM

PPN 12% berlaku mulai 2025-dok disway-

JAKARTA, DISWAY.ID - Isu kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) masih menjadi isu yang menuai protes serta kritik dari berbagai kalangan.

Pasalnya, kebijakan ini menunjukkan arah fiskal yang tidak pro-rakyat, terutama kelompok menengah ke bawah, dan menguatkan persepsi bahwa kepemimpinan Presiden Prabowo lebih mengutamakan kepentingan para pengemplang pajak dan orang kaya.

Menurut keterangan Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta, Achmad Nur Hidayat, sifat regresif PPN 12 persen ini membuat beban PPN lebih terasa oleh kelompok berpenghasilan rendah dan menengah.

BACA JUGA:SPK MUF GJAW Tembus Rp 1 Triliun, Target Pembiayaan Mandiri Utama Finance 2024 di Depan Mata

BACA JUGA:Advokat Senior OC Kaligis Menduga Kejanggalan Penghitungan Suara Pilkada Kabupaten Enim 2024

Hal ini dikarenakan persentase pengeluaran mereka yang digunakan untuk konsumsi lebih besar dibandingkan kelompok kaya. 

“Dalam kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi, kenaikan PPN menjadi 12 persen akan semakin menekan daya beli masyarakat,” ujar Achmad ketika dihubungi oleh DiswayId pada Kamis 5 Desember 2024.

Selain itu, Achmad melanjutkan, kebijakan ini juga akan berdampak pada sektor usaha, terutama usaha kecil dan menengah (UMKM) yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia.

BACA JUGA:Alhamdulillah! Lepas Status Janda dan Duda, Putri Zulkifli Hasan dan Zumi Zola Resmi Menikah di Masjid Nabawi

BACA JUGA:Dugaan Bullying hingga Bocah Tewas di Subang Naik Sidik

Menurutnya, kenaikan PPN akan meningkatkan biaya produksi dan harga jual, sehingga daya saing produk UMKM, baik di pasar domestik maupun ekspor, akan terancam. 

“Kondisi ini dapat memperlambat pemulihan ekonomi yang masih rapuh dan menekan penciptaan lapangan kerja baru,” tugas Achmad.

Di satu sisi, masyarakat umum juga masih dibebani dengan kenaikan pajak konsumsi, sementara di sisi lain, para pengemplang pajak dan orang kaya justru diberikan kesempatan untuk melegalkan kekayaan mereka dengan tarif yang lebih rendah. 

Meskipun pemerintah mungkin menjanjikan kompensasi berupa bantuan sosial, pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa distribusi bantuan sering kali tidak tepat sasaran, dan nilainya tidak cukup untuk menutup beban tambahan akibat kenaikan pajak.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Berita Terkait

Close Ads