MK Akhirnya Tolak Syarat S1 Capres, Drama Lama yang Terus Berulang
ILUSTRASI Lubang Transisi Pemilu. Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan tidak ada lagi pemilu serentak.-Maulana Pamuji Gusti dan Devona Vaiya-Harian Disway-
Tapi, tidak semua setuju. Ketua Fraksi PDIP, Tjahjo Kumolo, menolak keras. Baginya, pemimpin itu bukan soal gelar, tapi kemampuan memimpin dan menyatukan bangsa.
“Gelar sarjana tidak menjamin seseorang bisa memimpin,” ujar Tjahjo Kumolo, sekjen PDIP.
PKB, lewat Effendi Choirie alias Gus Choi (saat ini politisi Nasdem), bahkan lebih tegas. Ia menyebut usulan S1 ini “mengada-ada” dan cuma akal-akalan untuk mengganjal calon tertentu. “Ini bisa menimbulkan implikasi politik yang membahayakan,” katanya.
2014 dan Seterusnya: Wacana yang Tak Pernah Mati
Polemik ini tak berhenti di situ. Menjelang Pemilu 2009, isu S1 kembali mencuat. Departemen Dalam Negeri lagi-lagi ngotot, tapi ditolak mayoritas partai. Begitu juga menjelang Pemilu 2014, ketika Ketua Badan Legislasi DPR, Ignatius Mulyono, menyebut ada partai yang ingin syarat S1.
PAN, PDIP, dan Demokrat secara terbuka menolak. Alasan mereka sama. Syarat SMA sudah cukup, dan menaikkan standar ke S1 bisa diskriminatif.
Fast forward ke 2025, MK kembali jadi penutup drama ini. Setidaknya untuk sementara. Dalam sidang putusan perkara nomor 35/PUU-XXIII/2025, Ketua MK Suhartoyo menegaskan menolak gugatan uji materi Pasal 169 huruf r UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang mengusulkan agar capres-cawapres minimal lulusan S1.
“Menolak permohonan untuk seluruhnya,” tegas Ketua MK Suhartoyo.
BACA JUGA:Seskab Teddy Ungkap Prabowo Telepon Trump Soal Tarif RI Turun 19 Persen
Alasannya sederhana. Kalau syarat dinaikkan jadi S1, justru mempersempit peluang warga negara yang punya kapasitas dan dukungan rakyat, tapi cuma lulusan SMA.
MK bilang, aturan sekarang yang cuma mensyaratkan tamatan SMA, MA, atau sederajat sudah cukup adil dan sesuai konstitusi.
Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan, mengubah syarat jadi S1 malah akan membatasi hak politik warga. “Pemaknaan baru itu justru mempersempit peluang,” katanya.
Menurut Ridwan, UU Pemilu yang merujuk Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945 sudah jelas bahwa syarat minimal SMA tidak melanggar moralitas, rasionalitas, apalagi kedaulatan rakyat.
Aturan ini, katanya, juga bukan bentuk penyalahgunaan wewenang atau tindakan sewenang-wenang.
Intinya, MK menilai syarat pendidikan saat ini sudah cukup fleksibel, memungkinkan siapa saja yang memenuhi kriteria konstitusional untuk nyapres, tanpa diskriminasi berbasis gelar.
Meski begitu, MK membuka pintu untuk perubahan di masa depan. Ridwan menyebut, pembentuk undang-undang boleh saja mengkaji ulang syarat pendidikan kalau memang dibutuhkan, misalnya untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman atau kepentingan bangsa.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber:
