Garis Kemampuan
Dahlan Iskan bersama owner Dea Bakery, Mulyani Hadiwijaya, saat acara Disway Malang Business Adventure.--
Abayanyi hitam. Panjang. Sampai lantai. Kerudungnyi hitam. Rapat. Menutup seluruh rambut. Kacamatanyi besar. Modis.
Wanita ini seperti membantah bahwa usaha itu sulit. Dua tahun terakhir outletnya tambah 12 buah. Karyawannya terus bertambah.
Dia tidak mau ambil kredit bank.
Namanyi: Mulyani Hadiwijaya. Dipanggil Bu Mul.
Usahanyi: Dea Bakery.
Lokasinya: Kepanjen, Malang.
Kemarin saya berkunjung ke pabrik Dea Bakery. Tidak sendirian. Bersama saya 36 pengusaha kecil-menengah dari berbagai kota di Indonesia.
Disway Malang memang mengadakan "Business Adventure". Bukan ke Tiongkok tapi ke Malang dan Batu. Mereka berkunjung ke beberapa UMKM yang layak untuk jadi sumber inspirasi. Salah satunya ke Dea Bakery. Saya didaulat oleh Disway Malang untuk tur bersama mereka.
"Masak ke Tiongkok melulu," ujar Agung Pamujo, pimpinan Disway Malang.
Awalnya Bu Mul membuka toko di sebuah ruko di Kepanjen --tidak jauh dari stadion Kanjuruhan. Tokonyi sewa. Dia jualan bahan-bahan pembuat kue. Inilah toko Tbk pertama. Tbk di situ singkatan dari Toko Bahan Kue.
Lama-lama Bu Mul bikin kue sendiri. Dijajakan di depan toko Tbk-nyi. Laris. Roti pertama yang dia jual adalah donat.
"Kenapa donat?"
"Saya lihat anak-anak saya suka donat," kata Bu Mul.
Dari situ Bu Mul lebih semangat jualan roti. Apa saja. Kemarin, kedatangan saya itu, dimanfaatkan untuk launching produk baru: Sultan Bluder Dea. Kini ratusan jenis bakery dihasilkan Dea.

--
"Dea itu nama anak bungsu saya," ujarnyi.
Kini sang anak sudah punya anak. Dari tiga anaknyi Bu Mul punya enam cucu.
Di sela-sela dua hari kumpul ratusan pengusaha Tionghoa di Batu, saya sempat mengunjungi tiga UMKM. Tiga-tiganya berkembang pesat. Salah satunya akan saya tulis di lain waktu.
Berarti, sebenarnya di lapisan bawah pun banyak usaha yang bankable. Alasan bank sulit menyalurkan dana karena ekonomi lesu tidak sepenuhnya benar.
Tapi orang seperti Bu Mul tidak mau pakai kredit bank. Dia ekspansi dengan kekuatan sendiri. Semua outlet itu milik sendiri. Atau milik anak-anaknyi.
Cara berpakaian Bu Mul sangat syar'i. Pun ibunyi yang ikut hadir. Abaya dan kerudung sang ibu juga hitam. Rapat. Sang ibu sudah 80 tahun tapi masih sangat sehat.
Di layar promosi tertulis: "Dea, Roti Halal untuk Semua". Tidak hanya halal. Masih ada lagi kalimat: "Halal dan Thoyib".
Kalau "halal" berarti bahan-bahan yang dipakai tidak ada yang mengandung unsur haram, "thoyib" adalah cara mendapatkan semua bahan itu secara baik: tidak lewat cara curang, menipu, menyengsarakan orang lain, dan sebangsanya. Pun cara pengolahannya.
Lalu perusahaan Bu Mul mewajibkan karyawan "cuti khusus" dua minggu dalam setahun. Khusus untuk mukim di pondok. Memperdalam agama dan isi Al Quran. Secara bergilir. Bergantian.
Saya pun bertanya: "Apakah tidak mau ambil kredit bank itu lantaran takut riba?"
Jawab bu Mul agak di luar dugaan saya.
"Tidak," katanyi. "Mungkin hanya karena saya wanita. Lebih banyak pakai otak kiri," tambahnyi.
Lalu Bu Mul membuka rahasia gaya hidupnyi. "Saya ini orang yang selalu hidup di bawah garis kemampuan," katanyi. Saya tertawa --terkecoh dengan kalimat plesetan itu.
"Dulu, ketika uang saya sedikit, saya sudah merasa cukup. Kini uang saya banyak juga hanya merasa cukup".
Meski dua tahun terakhir mampu membuka 12 outlet baru, tidak berarti tiap tahun membuka outlet. Pernah beberapa tahun sengaja tidak mau buka outlet baru. Dia pilih benah-benah internal Dea. Termasuk hanya fokus pada kebersihan dan kesehatan di pabriknyi.
Cara bicara Bu Mul agak khas --menandakan bukan orang Malang. Bunyi 'r' nyi cedal.
"Saya Tionghoa," katanyi.
Campuran?
"Asli. Bapak saya Tionghoa. Ibu saya Tionghoa," katanyi.
Saya pun memperhatikan mata dan wajahnyi.
Saya pun bertanya ke Pak Lurah yang satu meja dengan saya. "Apakah Pak Lurah tahu kalau bu Mul ini Tionghoa?"
"Baru tahu sekarang," katanya.
Saya juga baru tahu kemarin itu. Padahal saya sudah kenal bu Mul delapan tahun lalu. Waktu itu ada forum UMKM.
"Siapa yang sudah pernah merasakan bangkrut?" tanya saya di awal bicara.
Yang angkat tangan banyak sekali. Lebih 20 UMKM.
Lalu pertanyaan saya ubah: siapa yang pernah bangkrut lebih lima kali?
Satu wanita berjilbab angkat tangan. Itulah Bu Mul.
"Sudah pernah bangkrut berapa kali?"
"Delapan kali," katanyi.
Maka kunjungan saya kemarin itu sebenarnya kunjungan kangen-kangenan. Saya tidak menyangka Bu Mul, yang delapan tahun lalu masih UMKM kecil yang belum lama bangkit dari bangkrut ke delapan kalinyi, kini sudah punya pabrik Dea dengan 52 outlet milik sendiri semua.
Bedanya orang berjiwa pengusaha dan bukan adalah itu: yang punya jiwa pengusaha akan selalu bangkit meskipun baru saja jatuh.(Dahlan Iskan)
Komentar Pilihan Dahlan Iskan Edisi 25 Oktober 2025: Jangan Ganggu
Agus Suryonegoro III - 阿古斯·苏约诺
JANGAN DIGANGGU, CUKUP ITU SAJA! Kondisi saat ini menarik karena menyentuh dua hal yang jarang bisa berjalan seimbang, yaitu idealisme ekonomi dan realitas birokrasi. Gagasan “yang kecil dibantu, yang besar dijaga” sebenarnya bisa jadi slogan nasional baru — kalau saja yang “berbaju” dan “berbaju seragam” mau ikut menjaganya. Bukan justru menambah daftar pengganggu. Prabowo tampaknya sedang berusaha menulis ulang “buku panduan ekonomi nasional” dengan gaya Korea Selatan versi Indonesia. Tapi tentu, semua teori hebat akan mentok di lapangan kalau pompa bensin seorang kiai saja bisa diganggu — apalagi kios bensin rakyat biasa. Jadi, pesan utamanya jelas dan cerdas: pengusaha besar tidak butuh subsidi, hanya butuh stabilitas. Karena kalau yang besar kabur, yang kecil akan kehilangan tempat berteduh. Negara maju itu bukan yang banyak bantuannya, tapi yang minim gangguannya. Kalau mau bantu ekonomi tumbuh, jangan tambahkan “biaya siluman” dalam APBN kehidupan. ### Cukup jangan diganggu — itu sudah stimulus terbaik!
Ahmed Nurjubaedi
Ganggu mengganggu ini saya rasa memang ada akarnya. Waktu masih kecil, di rumah, seorang kakak biasanya suka usil ke adik. Entah mengambil kue atau mainan si adik. Atau iseng tidak rela melihat si adik tenang. Digoda lah sampai menangis. Di sekolah, selalu ada tukang palak. Tidak peduli di sekolah pinggiran atau elit. Latar belakang nya macam-macam. Bisa jadi, orang tua atau saudara atau teman di rumah memang tukang palak. Kejahatan sering kali menular. Begitupun di kampus. Saya hampir mengalami sendiri. Sebagai aktivis yg ketua UKM, saya pernah berkontribusi signifikan membuat seorang rekan dari fakultas lain menjadi presiden BEM. Saya yg waktu itu punya usaha jualan dengan sewa tempat di kantin kampus, nyaris di usik. Yang saya dengar, pihak BEM merasa kantin saya rame namun tidak ada kontribusi ke BEM. Saya kaget juga, wong saya bayar sewanya lancar. Pokoknya, saya mau dibuatin masalah. Saya segera menemui pak Presiden. Ngobrol ngalor ngidul. Intinya menunjukkan sikap bahwa saya tetap mendukung ia. Setelah hari ngobrol itu. Tidak ada lagi suara-suara yg mengindikasikan akan muncul gangguan di kantin saya. Entahlah. Kok ternyata hal tersebut berlanjut di dunia setelah kuliah.
Agus Suryonegoro III - 阿古斯·苏约诺
JANGAN DIGANGGU, CUKUP ITU MODAL KETENANGAN BISNIS.. Cara berpikir pengusaha itu sederhana tapi tajam, mereka tak minta dipuji, cukup jangan dihalangi. Logika mereka mirip Wi-Fi — kalau sinyalnya lancar, semua bisa terkoneksi. Kalau diganggu, bisnis pun buffering. Pengusaha sejati tahu kapan harus gas, kapan harus rem, dan kapan harus pasrah pada regulasi yang “selalu berubah setiap ganti pejabat”. Tapi tetap, ada prinsip universal di dunia. Yaitu pengusaha: jangan diganggu. Saya suka kalimat pamungkas pak Dahlan Iskan, “Kami tidak perlu dibantu, tapi jangan diganggu.” Itu bukan keluhan, itu filosofi bisnis. Negara cukup jadi wasit yang adil, bukan pemain yang ikut rebut bola. Prabowo ingin arah baru ekonomi, yang kecil dibantu, yang besar dijaga. Nah, tinggal dijaga jangan sampai kebalik — yang kecil disayang, yang besar diserang. Karena kalau pengusaha besar lari, pengusaha kecil ikut kehilangan pasar. Pengusaha bukan anti perubahan, mereka cuma alergi pada “gangguan tanpa solusi.” Jadi, biarkan mereka berinovasi. Tugas pemerintah? Gampang. Cukup jangan jadi pengganggu profesional. Dan jangan biarkan pengganggu..
rid kc
Soal gangguan usaha ini saya punya teman yang punya SPBU. Dia cerita pokoknya tiap bulan harus setor ke yang berseragam itu kalau tidak pasti diganggu. Tiap menjelang Idul Fitri juga harus kasih bingkisan. Begitulah usaha di negeri ini. Korupsi sudah mentulang sumsum di negeri ini. Bayangkan Kementerian haji yang baru dibentuk saja sudah didera kabar tak sedap korupsi tender pelayanan haji di Arab Saudi. Saya kok lebih percaya kabar burung dari pada kabar resmi. Kabar resmi pasti dibaik-baikan. Fakta kita tidak tahu. Kalau benar kementerian baru ini terjadi korupsi lebih baik dibubarkan saja dan kembalikan urusan haji di kementerian agama. Toh pembentukan kementerian haji mencederai keberagaman agama kita. Semua urusan agama biar diurus Kementerian agama.
Macca Madinah
Maaf, pak/bu denik, gangges banget nih. "Di" Ini adalah awalan, bukan kata depan, jadi bukan "di bantu" atau "di ganggu" tapi "dibantu" "diganggu". Untuk hal2 tertentu, ikuti saja contoh dr Abah, kaidahnya relatif sudah baik dan benaaar.
Motor Listrik
Hal ini sering sekali diributkan, puncaknya pemberangusan preman2 berseragam, masif sekali beritanya. Mgkn berhasil.. Brita2 itu pemalakan sangat redup (smoga karna kejadiannya bnr2 susut), tapi tadi di sebutkan gangguan itu datangnya mulai dari yg berbaju sampai yg tidak berbaju sampai ke yang bajunya seragam, padahal yg seperti ini yang menyebalkal ditengah aturan perijinan yg mbulet dan rumit, tapi intinya sama seperti disebutkan tadi jika pun dicari-cari (terkadang seolah dapat) pasti dapat, dulu sempat juga dipanggil P*LDA (ribetnya) yang datang harus direktur, ternyata mereka tanyakan kantina barang kami (astaga yang nama lewat pelabuhan kan pasti ada karantinanya) setelah diambilkan diberkas2 dr pelabuhan ok selesai, tepi ternyata ada lagi dipanggil lagi, dibilang ini memang karantina dari pelabuhan a be b ada, tapi dari pelabuhan itu kan barang pindah melewati bbrp kota sampai ditempat tujuan? (Dan permasalahan) pertanyaan konyol spt ini mereka minta dijelaskan oleh direktur kami.. Tapi saya berdoa semoga yg ginigini akan segera diakhiri, jangan sampai pemerintah menyerah seperti yg dilakukan kyai tadi, dengan menasehati pengusaha itu tidak boleh cengeng harus kuat!!
Sugi
Jadi inget Bah buku Politik Jatah Preman yang diterbitkan Marjin Kiri. Ingat pengganggu, auto inget 'Preman'. Jangan diganggu berarti jangan di-preman-isasi. Semoga pengusaha kecil terus dibantu, pengusaha besar terus dijaga. Sukses dan Maju untuk Indonesiaku. Aamiin.
Reza Meifia Fitra
Wejangan Abah sudah sangat jelas: pengusaha besar tidak perlu dibantu, yang penting jangan di ganggu. Pada akhirnya pengusaha Indonesia akan lebih memilih berbisnis di luar negeri dengan segala kemudahan dan keamanannya untuk menghasilkan profit yang luar biasa dan ramah pajak, dan tetap hidup nyaman di Indonesia dengan biaya hidup biasa-biasa aja
MULIYANTO KRISTA
Baju batiknya punya sendiri apa pinjeman bah?
Tivibox
Kadang saya berpikir begini. Ratusa tahun kita dijajah londo, sedikit banyak "gen penjajah" itu kita warisi. Memeras, meminta dengan paksa atau apapun itu tertanam selama ratusan tahun. Lama-lama semua itu dianggap wajar. Atau itu berevolusi menjadi cara yang lebih halus, tapi tujuannya tetap sama, agar dapat sesuatu. Mental seperti itulah yang menjelma menjadi virus sekarang. Menjangkiti semua. Seperti yang ditulis abah, yang tanpa baju, berbaju atau berseragam. Dari yang terendah di jalanan sampai yang tertinggi di gedung kantor megah. Tak ada yang perlu dirahasiakan lagi, tetapi kita semua seperti "menerima" saja keadaan itu tanpa ada usaha mengubahnya. Kalau revolusi mental jilid I dulu belum berhasil, sebaiknya lanjutkan saja revolusi mentalnya sampai berjilid-jilid. Tapi harus serius, jangan cuma hiasan semata.
Achmad “Yoming Afuadi” Fuadi
Kalau diperhatikan di setiap simpang jalan, simpang 3, 4, 5, 6, 7, selalu ada penunggunya yg bermotif mengatur lalu lintas. Bahkan di daerah pare, secang, ada simpang 3 yg sdh dipasang lampu lalu lintas, sdh setahun lebih, hanya nyala kuning kedap kedip. Infonya pernah diaktifkan lampu apill tsb malah menyebabkan kemacetan panjang. Jadinya ya lampu kuning kedip2 dg para pengatur lalin amatir yg mengharap uang imbalan. Begitu sekilas kisahnya
Taufik Hidayat
Waduh judulnya sangat menggoda. Tulisan Abah DI hari ini langsung mengingatkan saya akan sebuah pepatah dalam bahasa Spanyol , “Mucho ruido y pocas nueces ,” secara literal maknanya Banyak Ribut tapi sedikit kacang kenarı, maksudnya sih, banyak suara tapi sedikit hasilnya. Pepatah ini terasa sangat relevan dengan kita yang lebih suka rapat panjang panjang tapi hasilnya gak ada. Masih tentang bahsa Spanyol , ketika main main ke Kolombia, saya pernah dengar juga istilah “Nos ayudan tanto que ya no podemos trabajar,”. Mereka terlalu banyak membantu sehingga kami tak bisa bekerja. Mungkin ini sunduran terhadap pemerintah Kolombia, tapi kadang relevan juga di sini. Mungkin ini yang dirasakan pengusaha , Tidal usah dibantu, tapi jangan diganggu. Kembali ke pepatah pertama, ternyata kalau diterjemahkan le bahasa Inggris kadınta ‘ Much ado about nothing, yang ternyata adalah salah satu judul karya Shakespeare . Entah apa terjemahan dalam bahasa Indonesia ? Sekali lagi para oengusaha inginnya bekerja dengan tenang tanla banyak ganguean .
Maramuda Sagala
Kyai ternama dan timses jokowi yg pengusaha tampaknya Kyai Asep. Baru tahu kalau beiau punya pom juga. Terlepas dari itu, premanisme memang sangat marak saat ini. Mereka bahkan berani bicara terus terang di media segala. Prihatin.
Lagarenze 1301
SANTAI SEJENAK. Seorang pengusaha mencari manajer untuk perusahaannya. Ia memutuskan untuk mewawancarai langsung para pelamar. Untuk menemukan calon yang cocok, tak peduli apa disiplin ilmunya, ia hanya mengajukan satu pertanyaan: "Dua tambah dua sama dengan berapa?" Pelamar pertama seorang jurnalis. Jawabannya: "Dua puluh dua." Pengusaha itu memberi tanda silang. Pelamar kedua seorang pekerja sosial. Ia berkata, "Saya tidak tahu jawabannya, tetapi saya sangat senang jika kita berkesempatan membahasnya." Tanda silang lagi. Pelamar ketiga seorang insinyur. Ia mengeluarkan mistar hitung dan memberikan jawaban: "Antara 3,999 dan 4,001." Tanda silang. Berikutnya seorang pengacara. Ia menyatakan: "Dalam kasus pidana, dua tambah dua terbukti sama dengan empat." Lagi-lagi tanda silang. Akhirnya, pengusaha itu mewawancarai seorang akuntan. Ketika pengusaha bertanya berapa dua tambah dua, akuntan itu bangkit dari kursinya, berjalan ke pintu, menutupnya, lalu kembali duduk. Sambil mencondongkan tubuh ke seberang meja, akuntan itu berkata dengan suara rendah, "Dua tambah dua, ya? Berapa yang Anda inginkan?"
Jokosp Sp
Seorang Kiai dipanggil untuk ceramah di depan para polisi dan istri-istrinya. Ibu-ibuuuuu..... mau masuk syurga tidak?. "Mauuuuuuuu dijawabnya serentak". Bapak-bapaknya....mau tidak?. "Tidak mau". Kenapa bapak-bapak tidak kompak seperti Ibu-ibu tadi?. Kenapa bapak menunduk?. Tiba-tiba ada bapak yang dekat dengan Kiai menjawab pelan : "saya di dunia sudah lama tersiksa, apakah tidak ada pilihan lain Pak Kiai?". Bapak-bapak kalau di depan umum memang tidak suka berterus terang. Jadi bapak-bapak bilang : "kalau ada pilihan lain biarkan saya cari pendamping lain nanti di syurga". Satu orang polisi minta do'a ke Pak Kia : "Pak Kiai saya do'akan agar istri saya bisa sembuh". Kenapa istri anda?. "Dia kena strok Pak Kiai". Bukannya jadi baik anda tidak lagi terganggu?. Bersihin rumah, pel lantai, cuci baju, masak jangan lupa, mandiin anak, dan cuci piring ! ! !. "Saya justru kangen sekarang dengan cerewetnya". Pak Kiai meneruskan ceramahnya : "Jadi silahkan Ibu-ibu sekarang cerewet dan kemprepetnya". Ha haa haaaaaa Ibu-ibu kompak tertawa. Bapak-bapaknya cuma bisa manggut-manggut.
Hasyim Muhammad Abdul Haq
Usaha saha di kampung di Mojokerto. Kecil. Kalau klasifikasi besar-kecil usaha dihitung dari jumlah mobil niaganya, ussha saya baru punya 2 mobil pick-up untuk beli bahan baku dsn pengiriman. Sangat kecil dibanding yang punya usaha puluhan bus atau puluhan truk. Tapi apakah saya juga "diganggu"? Iya. Nggak ada yang nggak pakai baju sih. Tapi yang pakai baju dan pakai baju seragam. Yang sekadar pakai baju sih masih normal bagi saya. Biasanya dari wsrga kampung atau ormas di kampung. Tak terlalu mengganggu. Tapi yang berseragam? Ini yang cukup mengganggu. Saya selalu berpendapat bahwa aturan itu dibuat tidak untuk ditegakkan tapi supaya "oknum aparat" punya alat untuk "cari duit" saat diperlukan. Contoh paling sederhana: pemakai motor saat ini jarang ada yang ditilang. Suuzon saya: itu disengaja supaya ketika oknum Polantas perlu duit, dia bisa cegat dan dapat banyak. Jadi aturan tidak pernah ditegakkan. Tidak disosialisasi. Tidak diajarkan. Tapi dibiarkan. Supaya apa? Supaya semua orang melanggar sehingga ketika "oknum aparat" perlu "masukan" tinggal mengadakan razia. Otomatis dapat banyak "ikan". Di perusahaan mikro dan kecil, banyak aturan yang nggak disosialisasikan dan tiba-tiba ada razia yang ujungnya bukan menegakkan aturan tapi "minta uang". Mereka nggak ikut investasi, nggak ikut kerja, nggak ikut bayar karyawan, nggak ikut kena risiko ketika usaha merugi, tapi tetap dapat "ikan"-nya. Saya usaha kecil yang juga nggak perlu dibantu. Tapi tolong jangan diganggu.
djokoLodang
-o-- Do not trouble trouble until trouble troubles you. --0.-
Jo Neca
Si.bapak punya perusahan pemurnian buah2an..Ga di ganggupun anda sudah tahu..hihiii
pak tani
Setuju dengan pak Bos! Jangan diganggu! Bukan mau sombong atau flexing. Sebagai pemilik pabrik kecil-kecilan, saya merasakan sekali gangguan itu nyata adanya. Sangat menggangu banget! Yang saya alami, kebanyakan gangguan berasal dari masyarakat sekitar atau orang terdekat. Gangguan yang nampaknya sepele, namun kalau selalu muncul saat mau memulai proses produksi, tentu sangat tidak nyaman. Lucunya, mereka bahkan tidak sadar kalau sudah mengganggu, seolah budaya ini wajar dan lumrah. Hadeuh. Pusing pala ini. Mau lapor siapa? Belum tentu ditanggapi, bisa jadi cuma diberi senyum sinis. Selama ini, saya pun cari2 cara mengakalinya. Salah satunya dengan tidak memakai baju sergam. Supaya tidak mencolok dan ketahuan sedang proses produksi. Oya buat perusuh yang penasaran, pabrik yang saya punya adalah... PABRIK ANAK.
Belajar ai
Kawulo Alit,Ojol, pedagang pasar, kuli, bakul kecil yang beraktifitas setiap hari memakai sepeda motor "diganggu secara RESMI" Petugas berseragam dan tidak berseragam secara aturan dan legal saat mengurus SIM C, biaya penerbitan SIM c 100.000 , biaya tes psikologi dan kesehatan 175.000 , kawulo alit bisa dipastikan tidak lulus psikologi dimana besok tidak ada kepastian makan apa, kontrakan belum dibayar, angsuran sudah nungak dll Tidak cukup diganggu secara resmi, petugas berseragam 'Menganggu secara TIDAK RESMI" dengan membuat aturan juknis dan kreatif sehingga biaya "gangguan RESMI" Sulit diterapkan, sehingga kawulo ali dengan sangat terpaksa membayar biaya SIM C sebesar 800.000 Membuat calo calo pembuatan SIM C bermunculan di medsos dan Facebook dengan keyword "jasa pembuatan SIM C murah" Kami tidak bodoh dan tolol tolong jangan diganggu
djokoLodang
-o-- Mengapa begitu banyak orang menderita? Karena sebagian besar penghasilannya diambil oleh pemerintah. Itu sebabnya mereka menderita. Mengapa begitu banyak orang memberontak? Karena terlalu banyaknya campur tangan pemerintah. Itu sebabnya mereka jadi pemberontak. Pemerintahan yang bijak tidak akan banyak mencampuri urusan rakyatya, sehingga selalu didukung dan terjadi kerja sama yang baik antara rakyat dan pemerintah. (Lao-Tse, ayat 75). Tao mengambil dari mereka yang berkelebihan, dan memberi kepada mereka yang kekurangan. Tetapi cara para pengganggu bekerja sangat berbeda. Para pengganggu itu merampas hak mereka yang sudah kekurangan, dan memberi kepada mereka yang sudah berkelebihan. Siapa yang dapat berperilaku bijak, dalam hal pemberian dan pembagian? Hanya ia yang menghayati Tao. (Lao Tse, ayat 77) --0.-
Runner
Mulai dari atas. Kata kerennya “top down”. Penguasa “jangan ganggu” pengusaha. Bayar perizinan sesuai peraturan resmi, tidak ada tambahan apapun. Bayar pajak sesuai peraturan resmi, tidak ada tambahan apapun. Tidak ada sumbangan ini itu. Tidak menerima setoran ini itu. Tidak menerima bekingan ini itu. Proses dan waktu perizinan dipersingkat, minimal sesuai ketentuan yang ada. Selanjutnya, Pengusaha besar atau kecil dijaga oleh Penguasa. Bisnis kayaknya bakal tumbuh dan menyebar lebih cepat. Yang kerja lebih bakal lebih banyak. Preman bakal berkurang. Yang biasa minta setoran bakal berkurang. Kedengarannya ideal. Coba saja.
Johannes Kitono
Paguyuban. Kasus Mei 1998 sangat merugikan etnis Tionghoa. Terjadi perampokan dan pemerkosaan yang sistimatis, kata team Pencari Fakta bentukan Presiden B J Habibie. Etnis Tionghoa yang minoritas selalu jadi korban dan kambing hitam. Secara ekonomi mereka memang lebih maju dibandingkan dengan etnis lain. Tapi tidak di bidang politik. Pasca Mei 1998 , muncul 500 Paguyuban. Ada yang daerah asal, Marga maupun sub etnis. Misalnya Perkumpulan etnis Hakka di Lampung. Kungkoan Marga Bong di Pontianak. PPAS = Paguyuban Perantau Asal Sanggau di Jakarta. Umumnya Perkumpulan atau Paguyuban itu bertujuan sosial. Membantu anggota yang ditimpa musibah. Misalnya memberi sumbangan kepada yang sakit atau meninggal.Dibidang literasi ada Yayasan INTI dan Nabil dengan foundernya Drs Eddy Lembong ( alm ). Beliau rajin kumpulkan data tokoh Tionghoa yang sudah berjasa bagi negeri. Misalnya, pahlawan nasional John Lee dengan Kapal Out Law. Membantu selundupkan senjata buat perjuangan melawan Belanda.Nama beliau diabadikan di Armada AL dengan KM John Lee.Suatu bukti tidak semua etnis Tionghoa hanya cari cuan saja. Mereka ikut berjuang juga. Semoga Semuanya Hidup Berbahagia.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber:

Komentar: 198
Silahkan login untuk berkomentar