JOHANNESBURG, DISWAY.ID - Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa kehabisan kata-kata. Melihat jatuh korban yang jumlahnya sampai ratusan jiwa.
Mata Ramaphosa terbelalak melihat jasad dan warganya yang kelaparan dalam bencana terbesar dalam sejarah Afrika Selatan.
Berkali-kali tangannya mengelus dada. Pria berkepala plontos ini tetap tenang. Mencoba menyapa satu persatu warganya yang tengah dilanda musibah.
BACA JUGA:Banjir Afrika Selatan Merenggut 341 Jiwa
Ramaphosa berjanji membantu para korban banjir pantai timur yang menghancurkan wilayah itu.
”Saya tak bisa berkata-kata lagi. Hujan lebat menyapu kami,” tuturnya saat menyambangi korban terdampak banjir di Provinsi KwaZulu-Natal.
Pesisir tenggara Afrika berada di garis depan sistem cuaca lintas laut yang diyakini para ilmuwan semakin parah akibat pemanasan global dan diprediksi akan jauh lebih buruk dalam beberapa dekade mendatang.
”Anda tidak sendirian, kami akan melakukan segala daya kami untuk melihat bagaimana kami dapat membantu,” kata Ramaphosa.
”Meskipun hatimu sakit, kami ada di sini untukmu,” sambungnya saat berbicara dengan seorang ibu yang memegangi anak bayinya.
Dinas Tata Kelola Koperasi KwaZulu-Natal menyebut jumlah korban tewas telah mencapai 341 orang. Layanan kota seperti listrik, air dan pembuangan sampah terus dibenahi.
Kondisi parah juga dialami tetangga utara Afrika Selatan, Mozambik. Serangkaian benca banjir telah menghancurkan sejumlah wilayah dan menewaskan 50 lebih sejak sepekan terakhir.
BACA JUGA:Penanganan Covid-19 Tahun 2023 Bukan Prioritas, Pemerintah Fokus pada Sektor ini
”Anda sedang berjuang melawan salah satu insiden terbesar yang pernah kami lihat dan kami pikir ini hanya terjadi di negara lain seperti Mozambik atau Zimbabwe," kata Ramaphosa kepada para korban.
Meli Sokela, seorang korban yang kehilangan anaknya dalam banjir, menuturkan, ketika daerah itu tergenang sejak Senin malam, dia bisa mendengar suara seperti badai petir yang menghantam atap rumahnya, dan segera setelah itu dinding rumahnya runtuh.
”Merka mencoba membantu saya, butuh 2 jam. Tapi anak saya tidak selamat,” aku wanita itu.