"Artinya ketika tanggal 9 di Arafah, kita lebaran dan ini ga mungkin kita puasa, terus gimana? Ya gak ada masalah karena memang semua negeri itu punya rukyat sendiri," sambungnya.
Hanya saja, metode yang ada harus memastikan Hilal benar-benar terlihat, agar penetapan tanggal pada bulan tertentu memang sesuai.
"Sama saja, dari sisi melihat hilal, apakah setiap negeri itu punya hilal sendiri sehingga mereka menentukan tanggal itu sesuai yang mereka lihat. Mereka lihat, ya mereka puasa gitu. Apa kita harus ikut Saudi?" ujarnya.
Ia pun memberikan penjelasan terkait pendapatnya, apakah puasa Arafah 9 Dzulhijjah harus ikut penanggalan pemerintah Indonesia atau Arab Saudi.
Ustaz Syafiq menyebut, pendapat yang paling kuat harus sesuai dengan matlah dengan penentuan tanggal setelah Hilal terlihat.
"Jadi pendapat yang lebih kuat setiap negeri itu punya matlah munculnya hilal sendiri-sendiri sehingga puasanya ikut negeri kita, gak ikut negeri lain," tambah Ustaz Syafiq Basalamh.
Ia tak menampik, sebagian ulama memang mempersoalkan puasa Arafah, ada yang berpendapat puasa Arafah bertepatan jemaah Haji sedang wukuf.
"Kalau secara wukuf sejatinya dahulu sebelum adanya handphone, orang tahu (kapan) wukuf di Arafah? Gak ada yang tahu," ujarnya.
"Kalau orang Mekkah kirim surat ke Indonesia berapa hari dulu (buat) ngasih tahu kita kapan 1 Dzulhijjah," sambung Riza Basalamah.
Lanjutnya, keterbatasan jarak ini yang menjadi jawaban kuat untuk berpatokan pada hilal bukan mengikuti wukufnya.
"Jadi penentuannya dengan hilal," tegasnya.
Ustaz Syafiq Riza Basalamah memperjelas kembali, ibadah masyarakat di Indonesia bukan wukuf layaknya jemaah Haji di Mekkah.
Ia menekankan ibadah yang perlu ditunaikan adalah puasa Arafah yang sesuai dengan tanggal 9 Dzulhijjah.