PADA abad 11-12 Masehi, Daulah Abbasiah kembali menyaksikan kelahiran Sufi besar dari Iran, yaitu Abu Hamid Muhammad al-Ghazali as-Syafi'i al-Asy'ari. Ia lahir di kota Thus, Iran, pada tahun 450 H./1058 M, dan dimakamkan di Masyhad, Iran, pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H./19 Desember 1111 M.
Kebesaran al-Ghazali bisa dilihat dari berbagai gelar yang disandangnya: Hujjatul Islam (Argumennya Islam), Mahajjatuddin (Argumennya Agama), Zainuddin (Hiasan Agama), al-Alim al-Awhad (Yang Alim Satu-satunya), Muftil Ummah (Pemberi Fatwa Ummat), Barakatul Anam (Berkah bagi Kemanusiaan), Imamu Aimmatiddin (Imamnya Para Imam Agama), dan Syarful Aimmah (Kemuliaan Para Imam).
BACA JUGA:Politik Sufistik ala Manshur al-Hallaj
Imam al-Ghazali ini adalah seorang Sufi yang mazhab fikihnya mengikuti Imam Syafi'i dan mazhab teologinya mengikuti Imam Al-Asy'ari. Di bidang teologi Asy'ariah, ada tiga tokoh besar yang paling terkenal: Al-Baqilani, Al-Juwaini, dan Al-Ghazali sendiri. Al-Ghazali belajar langsung kepada Abul Ma'ali al-Juwaini yang bergelar Imam Haramain. Kepada Al-Juwaini, Imam al-Ghazali memperoleh berbagai disiplin ilmu.
Kemudian, pada usianya yang ke-34, al-Ghazali pergi ke Baghdad dan mengajar di Kampus Nizhamiah pada Masa Daulah Abbasiah atas perintah Wazir Saljuk bernama Nizhamul Muluk, yang berkuasa dari 29 November 1064 sampai 14 Oktober 1092. Pribadi Nizhamul Muluk ini memang terkenal sebagai pecinta ilmu dan sastra. Ia menggelar circle intelektual dan mengundang intelektual berbagai disiplin, seperti fikih dan hadits. Salah satunya adalah Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali.
Sebenarnya, bukan saja Imam al-Ghazali yang bersentuhan erat dengan Nizhamul Muluk melalui Madrasah Nizhamiah. Ada intelektual lain seperti penyair Umar Khayyam dan As-Sa'di (Penulis Bustanu as-Sa’di), Imaduddin al-Ashfihani dan Bahauddin Syaddah (dua pelayan Sultan Salahuddin Al-Ayyubi), Abu Ishak as-Syirazi dan Abdullah bin Tumart (pendiri Daulah Muwahhidun, Afrika), dan termasuk juga sering hadir di Madrasah Nizhamiah ini Syeikh Abdul Qadir Jailani.
Pada tahun 2007 silam, terbit sebuah film berjudul "Nizhamul Muluk dan al-Ghazali," yang menggambarkan kedekatan politik antara al-Ghazali dan Nizhamul Muluk. Tentu saja, aspek intelektual al-Ghazali di bidang kalam, tasawuf, fikih dan tafsir tidak boleh diabadikan. Tetapi, aspek politik al-Ghazali juga tidak kalah pentingnya untuk kita pelajari dan kita guguhi bersama.
Al-Ghazali juga memiliki perhatian terhadap urusan politik, mengingat hubungannya dengan Nizhamul Muluk sangat erat. Demi kepentingan politik para Khalifah Abbasiah ini, Al-Ghazali menulis sebuah buku berjudul "Al-Mustazhhari," yang membahas penolakan al-Ghazali atas aliran Batiniah.
Setelah menyerang aliran Batiniah ini, Al-Ghazali juga menyerang kaum Islamis yang terlalu radikal dalam berpegang teguh pada syariat islam. Khalifah Abbasiah merasa terusik dengan pemikiran dan gerakan radikal kaum puritan di zamannya itu. Al-Ghazali hadir untuk memberikan alternatif pemikiran yang menggabungkan Syariat dan Tasawuf (Ma'mun Gharib, Hujjatul Islam Imam al-Ghazali, Mesir Markaz Al-Kitab li Annasyar, 1998: 97).
Ma’mun Gharib mengatakan, Al-Ghazali memiliki pandangan politik yang sangat kuat, di mana agama dan politik tidak dapat dipisahkan satu sama lain, sebab Islam adalah agama sekaligus dunia; kehidupan sekarang sekaligus nanti di akhirat. Al-Ghazali menggambarkan bagan keterkaitan antara manusia, Tuhan, dirinya, dan masyarakatnya. Seluruh pemikiran politik al-Ghazali ini dituangkan dalam kitabnya berjudul "Fatihah al-'Ulum".
Dalam Fatihah al-’Ulum, al-Ghazali mengatakan: tujuan penciptaan manusia terangkum dalam agama dan dunia; tidk ada aturan agama tanpa aturan duniawi, karena dunia adalah ladang bagi akhirat; dunia adalah alat yang menyampaikan manusia pada Tuhan. Dunia akan mengantarkan manusia yang memanfaatkan dunia sebagai alat dan jalan semata, bukan menjadikannya sebagai tanah air dan tempat tinggal selamanya (Ma’mun Gharib, 1998: 98).
Menurut Ma'mun Gharib, al-Ghali membagi konsep politik menjadi empat tingkatan. Pertama, politik tertinggi, yaitu politik yang dijalankan oleh para Nabi. Hukum-hukum yang ditetapkan oleh para Nabi berlaku secara khusus maupun umum, baik menyangkut hal-hal lahiriah maupun batiniah.
Kedua, politik para khalifah, raja dan sultan. Mereka mampu membuat aturan yang berlaku kepada seluruh rakyatnya, secara pribadi maupun umum. Namun, aturan mereka hanya berlaku pada aspek-aspek lahiriah, bukan batiniah manusia. Jadi, aturan para raja dan sultan (presiden) hanya menyangkut hubungan sosial kemanusiaan lahirian.
Ketiga, politik para ulama yang membela agama, yaitu para ulama yang menjadi pewaris para nabi. Kebijakan para ulama ini hanya berlaku pada urusan batiniah saja. Umat manusia bisa akan lebih tinggi derajatnya apabila mengambil manfaat dan keuntungan dari ajaran para ulama. Namun, para ulama tidak mampu mencegah atau melarang hal-hal yang bersifat lahirian. Sebab, itu adalah ranah para khalifah, sultan dan raja (Ma’mun Gharib, 1998: 99).
Dalam kitabnya "Al-Iqtishad fi al-I'tiqad", al-Ghazali menggambarkan agama sebagai fondasi dan raja sebagai penjaga. Rumah tanpa fondasi pasti runtuh, dan rumah tanpa penjaga pasti kehilangan. Dalam masyarakat majemuk yang berbeda-beda, kehadiran raja yang memiliki kekuatan memimpin dan menyatukan perbedaan adalah keharusan. Jadi, kehadiran aturan duniawi sangat dibutuhkan oleh agama, dan adanya aturan agama sangat dibutuhkan untuk meraih kebahagiaan akhirat nanti (Ma’mun Gharib, 1998: 101).