Seorang putri, penyair, guru, sekaligus sufi, Nana adalah wanita muslim di Nigeria yang menguasai bahasa Arab, Fulfulde, Hausa, Tamacheq, Yunani, bahkan Latin klasik.
Pada 1830, Nana membentuk sebuah kelompok guru perempuan yang ditugaskan berangkat ke seluruh wilayah untuk mendidik perempuan di daerah miskin dan pedesaan.
Lewat publikasi karya-karyanya, yang menekankan pendidikan perempuan, Nana telah menjadi inspirator bagi perempuan Afrika.
Hari ini, di Nigeria Utara, organisasi wanita Islam , sekolah dan gedung pertemuan sering dinamai dengan namanya untuk sebuah penghormatan.
Di kalangan wanita muslim di Afrika Barat, Nana menjadi menjadi legenda berkat perjuangannya dalam memajukan pendidikan wanita, kegiatannya dalam persoalan-persoalan sosial, dan juga kecerdasan dan kesalehannya.
Ia adalah putri dari Shehu Utsman Dan Fodiyo, pemimpin gerakan Sokoto Jihad di Afrika Barat.
15. Tjut Nyak Dien (1848-1908)
Dari Tanah Air tercinta, siapa tak kenal wanita muslim pejuang yang gagah berani melawan Belanda hingga akhir hayatnya.
Pahlawan Nasional kelahiran Aceh ini adalah bangsawan puteri Nanta Seutia Raja Ulebalang VI Mukim. Berwajah cantik, berbudi pekerti, tangkas, dan berwatak luar biasa.
Perjuangan Cut Nyak Dien melawan Belanda hadir dalam bentuk upaya mengajar para wanita dalam hal mendidik bayi dan menanam semangat kepahlawanan melalui syair-syair yang menanam semangat jihad kepada anak-anak mereka.
Ketika peperangan semakin memanas, Cut Nyak Dien terus menggembleng semangat para pejuang perempuan untuk turut serta membantu peperangan. Pun, ketika suaminya, rekan seperjuangannya, Teuku Ibrahim Lamnga gugur pada 29 Juni 1878, Cut Nyak Dien meneruskan perjuangan.
Pasca kematian suami keduanya, Teuku Umar, yang juga pahlawan nasional, Cut Nyak Dien bersumpah, “Demi Allah, selama Pahlawan Aceh masih hidup, peperangan tetap kuteruskan guna kepentingan agama, kemerdekaan bangsa, dan negara.”
Ia meneruskan perjuangan dengan bergerilya selama enam belas tahun di tengah hutan. Ia tertangkap pada 6 November 1905, dalam kondisi lanjut usia dan buta. Ia diasingkan di Sumedang dan wafat pada 6 November 1908.
Cut Nyak Dien berjuang bukan hanya dengan tenaga dan kekuatannya, tapi juga dengan pemikiran dan keteguhannya membela agama. Seperti yang dikatakan Snouck Hurgronje, kekuatan perjuangan pasukan Aceh bukan dari tenaga mereka tapi dari agama mereka.