JAKARTA, DISWAY.ID-Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Laksda Julius Widjojono mengklarifikasi pernyataan Panglima TNI terkait penanganan demo massa di Pulau Rempang, Batam.
Dalam video yang kemudian viral disebutkan Panglima TNI Laksamana Yudo Margono memerintahkan prajuritnya untuk piting para demonstran yang brutal.
"Orang sudah diam, terus diambil batu langsung dilemparkan (ke polisi). Ini kan udah seperti orang yang lagi bunuh hewan gitu loh," kata Panglima TNI Yudo Margono seperti dalam video yang beredar di sosial media.
"Saya melihat kemarin itu mampu, tapi mampu kok diam saja digebuki, atau memang apa namanya. Karena saya lihat bertahan saja kan, saya lihat dengan anu yang di atas dan menumpuk jadi satu, dan sementara pendemonya ini bawa batu besar-besar itu, dilemparkan ke itu kayak lempari itu," kata Yudo Margono.
"Yaa kan TNI-nya umpanya, masyarkatnya 1.000 ya kita keluarkan 1.000. Satu meting satu itu kan selesai. enggak usah pakai alat, dipiting aja satu-satu. Tahu dipiting nggak? ya itu dipiting aja satu-satu," sambungnya menjelaskan.
"Anak-anak berani maju terus untuk bertahan, tetapi kalau dilempari, ngamuk juga sampean itu. Ada itu alat di Babek. Kita punya itu alat-alat baru," tambahnya lagi.
Terkait pernyataan dalam video tersebut menurut Kapuspen Julius, ada kesalahpemahaman atas pernyataan tersebut karena konteksnya berbeda.
“Jika dilihat secara utuh, Panglima TNI menjelaskan bahwa demo di Rempang sudah mengarah pada tindakan anarkisme," ujarnya.
Hal ini jelas dapat membahayakan aparat maupun masyarakat itu sendiri. "Sehingga, Panglima meminta masing-masing pihak untuk manahan diri,” ujar Kapuspen, Jumat 15 September 2023.
BACA JUGA:Kecam Aksi Kekerasan di Rempang, Mahasiswa Desak Jokowi Tarik TNI - Polri dari Pulau Rempang
Lebih lanjut disampaikan bahwa Panglima TNI menginstruksikan Komandan Satuan agar melarang prajurit menggunakan alat/senjata dalam mengamankan aksi demo.
"Untuk menghindari korban, Panglima meminta untuk menurunkan lebih banyak personel," katanya.
Mengenai kata "memiting", Laksda Julius menyebutkan itu bahasa prajurit yang berarti harus "merangkul" agar terhindar dari bentrokan.
"Kadang-kadang bahasa prajurit suka disalahartikan warga yang tidak terbiasa dengan gaya bicaranya," ujar Kapuspen.