SETIAP MASA kampanye mau dimulai, ingatan publik tentang politik identitas kembali bersemi. Sayangnya, pemahaman tentang itu begitu sempit, maksimal merujuk pada satu dekade terakhir, Pemilu 2014, Pilgub DKI Jakarta 2017, Pemilu 2019, dan kini jelang Pemilu 2024.
Tanpa kajian yang lebih serius, tentang akar sejarah politik identitas itu sendiri, kerancuan demi kerancuan dalam mendefinisikan makna politik identitas merajalela. Padahal, politik identitas sudah hampir satu abad lamanya wacana politik identitas ini tumbuh berkembang.
Di Amerika Serikat, kasus politik identitas adalah kasus mobilisasi massa dan gerakan politik. Muncullah isu-isu feminisme, hak-hak asasi kaum kulit hitam dan berwarna, bahkan melahirkan gerakan kaum gay dan lesbian yang menuntut hak yang sama di depan hukum.
Orang-orang Indian Amerika, yang mereka identitas mereka adalah kaum pribumi, adalah contoh paling nyata politik identitas. Mereka merasa menjadi korban ketidakadilan di hadapan kaum kulit putih. Lebih-lebih Amerika menjadi tempat subur lahirlah kaum rasis berkulit putih, semisal "kluk kluk klan" juga lainnya.
BACA JUGA:Memahami Makna Politik Identitas, Meluruskan Gus Yaqut
Politik identitas di Amerika Serikat menjadi pelajaran bahwa tidak selamanya politik identitas bernilai negatif. Dalam kasus-kasus partikular, politik identitas sangat diperlukan untuk mewujudkan keadilan hukum, ekonomi, sosial dan politik. Hanya dengan menggunakan politik identitas, kaum berkulit hitam, kaum perempuan, kaum pribumi menuntut keadilan mereka.
Setelah gerakan politik identitas itu nyata menjadi fakta sosial sekaligus fakta politik, para ilmuan, filsuf, aktivis dan pengamat turun tangan ke kancah akademik. Mereka mendefinisikan arti paling substansial dari politik identitas, karakteristiknya, asal-usulnya, hingga masa depan politik identitas itu sendiri.
Iris Marion Young (1990), dalam "Justice and the Politics of Difference", mencoba mendefinisikan makna politik identitas secara lebih gamblang, dengan mengatakan bahwa politik identitas adalah model dari mengorganisir gagasan-gagasan ideal yang bertalian erat dengan kelompok-kelompok sosial tertentu, khususnya mereka yang tertindas.
Young melihat sisi positif politik identitas, sebagai perjuangan kelompok tertindas untuk meraih keadilan. Young mencontohkan kaum perempuan berkulit hitam di Amerika membuat gerakan yang bertujuan melawan imperialisme kultural, penjajahan budaya. Karena mereka merasa sebagai korban stereotip, didiskriminasi dan dikelompokkan menjadi bagian dari identitas kelompok tertentu.
Bagi Young, politik identitas lahir untuk melawan kekerasan, eksploitasi, marginalisasi, dan ketidakberdayaan (Young 1990). Tidak ada nuansa negatif praktek politik identitas, khususnya di dalam konteks awal pertumbuhannya di Amerika Serikat.
Di ranah pemikiran filosofis, analisa-analisa akademik mengenai politik identitas pasti selalu dimulai dari menyuguhkan bentuk-bentuk ketidakadilan sosial dan kemudian diakhiri dengan menawarkan solusi berupa penggambaran ulang, pemberdayaan ulang, tentang masa depan anggota kelompok-kelompok tertentu yang tertindas.
Politik Identitas tidak akan pernah menerima bentuk-bentuk narasi yang tidak adil, yang diciptakan oleh kelompok dominan, yang condong menciptakan inferioritas pada objek. Jadi, politik identitas adalah untuk mentransformasikan kehidupan sosial menuju taraf yang lebih adil, egaliter, dan bebas dominasi.
Gloria T. Hull, Patricia Bell Scott, dan Barbara Smith menggambarkan argumentasi aktivis feminisme kaum kulit hitam di Amerika. Mereka merasa sejak kecil sudah diajarkan berbeda dari laki-laki, diperlukan berbeda, dan berbeda pula dari kaum kulit putih.
Sejak itulah, seiring dengan tumbuhnya kesadaran, mereka mulai menerima pengalaman dan perasaan komunal sebagai kaum perempuan berkulit hitam. Mereka berbagi kesadaran, dan membangun gerakan politik yang diharapkan mampu mengubah takdir hidup dan mengakhiri segala bentuk penindasan (1982: 14–15)
Politik Identitas Barack Obama