JAKARTA, DISWAY.ID - Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), sebanyak 57 persen ibu di Indonesia mengalami gejala baby blues. Tentunya ini menempatkan Indonesia menjadi negara ketiga di Asia yang mengalami gejala tersebut.
Hal itu disampaikan langsung oleh Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN, Nopian Andusti dalam kegiatan kelas orang tua hebat (KERABAT) tahun 2024 melalui Zoom Meeting dan disiarkan secara daring di kanal YouTube BKKBN Official, Senin, 29 Januari 2024.
BACA JUGA:BKKBN Usulkan Stunting Jadi Bahan Materi Debat Capres dan Cawapres
"Angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara ketiga tertinggi di Asia dengan risiko baby blues terbesar," ujar Nopian Andusti dalam keterangan resminya, Selasa, 30 Januari 2024.
Sebagai informasi, baby blues sendiri merupakan keadaan depresi yang bersifat sementara dan biasa dialami oleh kebanyakan ibu yang melalui proses melahirkan karena adanya perubahan hormon.
"Adanya penurunan hormon tertentu dalam jumlah yang banyak secara tiba-tiba akan menurunkan stamina ibu pasca melahirkan," kata Nopian Andusti.
BACA JUGA:BKKBN Umumkan Data Hidup Untuk Atasi Stunting, Kemiskinan dan Sosial Ekonomi
"Konflik batin atas kemampuan seorang perempuan yang baru menjadi ibu mengakibatkan rasa cemas berlebih atas penerimaan dan penolakan terhadap peran baru yang dapat mengakibatkan seorang ibu mengalami _baby blues syndrome," sambungnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Psikolog dari Rumah Sakit Mitra Keluarga, Naftalia Kusumawardhani. Dia menjelaskan bahwa Baby blues atau disebut juga Postpartum Distress Syndrome adalah kondisi terganggunya mood (suasana hati) yang terjadi setelah melahirkan.
BACA JUGA:Tekan Angka Stunting, BKKBN Terus Lakukan Pemutakhiran Data Keluarga
Dia mengatakan bahwa kondisi tersebut sering dialami sekitar 50 sampai 80 persen wanita yang melahirkan, khususnya kelahiran anak pertama. Namun, tidak menutup kemungkinan juga dialami pada kelahiran anak kedua, ketiga, dan seterusnya.
Adapun gejala baby blues yang kerap terjadi yaitu mudah sedih dan menangis, sensitif (gampang tersinggung), cemas, merasa takut, tidak percaya diri, merasa kehabisan tenaga, tidak tertarik merawat bayi, merasa gagal, tidak berharga, tidak nyaman, bingung tanpa sebab, dan tidak sabar.
BACA JUGA:BKKBN Dorong Kolaborasi Masyarakat Turunkan Stunting
"Apabila gejala tersebut berlangsung selama dua minggu, maka ibu harus berani ambil keputusan untuk cari bantuan ke psikolog," ucap Naftalia.
"Pengalaman melahirkan itu unik, tidak universal maka sebaiknya ibu tetap berobat dan tidak terpengaruh anggapan orang yang memandang negatif. Justru ibu hebatlah yang tahu cara antisipasinya," sambungnya.