JAKARTA, DISWAY.ID-- Pemerintah berencana untuk membangun sekolah khusus korban kekerasan seksual.
Hal ini pertama kali diungkapkan oleh Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka pada Rapat Koordinasi Evaluasi Kebijakan Pendidikan Dasar dan Menengah di Jakarta, 11 November 2024 kemarin.
BACA JUGA:Polri Rekrut 2.600 Personel Perkuat Program Polisi Mengajar di 3T bersama Kemendikdasmen
"Bagaimana anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual dan lain-lain ini harus mendapatkan atensi khusus, jangan sampai mereka malah dikeluarkan dari sekolah. Kita beri atensi khusus, kalau bisa dibangunkan sekolah khusus untuk mereka," ungkap Gibran kepada Kepala Dinas Pendidikan se-Indonesia.
Pada kesempatan berbeda, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti menjelaskan bahwa gagasan ini timbul dari adanya kecenderungan sekolah mengeluarkan siswa bermasalah, terutama yang menyangkut tindakan asusila.
BACA JUGA:Kepala Daerah Setuju Zonasi PPDB Dilanjutkan, Ini Tanggapan Wamendikdasmen
BACA JUGA:Ditanya soal Zonasi, Mendikdasmen Abdul Mu'ti Ungkap Pesan Prabowo 'Ojo Kesusu'
"Itu gagasan kami karena sekarang ada kecenderungan pendekatan di sekolah ketika ada murid yang dia melanggar aturan dan mereka yang ada persoalan-persoalan menyangkut asusila dan sebagainya, cenderung dikeluarkan," tutur Muti di Mabes Polri, Jakarta, 12 November 2024.
"Seperti dulu ada kekerasan seksual yang dialami oleh beberapa murid. Mereka sesungguhnya korban, tapi malah kemudian dikeluarkan dan ketika ditampung di sekolah formal itu masyarakat memiliki penilaian negatif terhadap sekolah formal yang menampung mereka," ungkapnya.
Sehingga, mereka tak hanya menanggung beban sebagai korban, tetapi juga harus dikeluarkan dari satuan pendidikan.
BACA JUGA:Ini Perbedaan Konsep Deep Learning Mendikdasmen Abdul Mu’ti dan Kurikulum Merdeka Era Nadiem Makarim
BACA JUGA:Ada Deep Learning, Kurikulum Merdeka Gimana? Ini Kata Mendikdasmen Abdul Mu'ti
"Dan mereka ini kemudian dalam pengamatan kami itu menanggung dua beban. Pertama adalah beban karena dia sudah dikeluarkan dari sekolah dan kedua adalah beban dia juga punya masalah dengan apa yang terjadi pada dirinya."
Padahal, mereka masih berada di usia remaja yang memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan layak.