Konflik Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia, Beredar Salinan Putusan PTUN Tanpa Tanda Tangan Hakim

Jumat 01-08-2025,14:36 WIB
Reporter : Marieska Harya Virdhani
Editor : Marieska Harya Virdhani

Dari sisi akademis, berbagai saksi ahli memberikan perspektif mendalam soal jabatan anggota KTKI. Rahmaniwati, S.Pd., M.Kes., mengutip keterangan Saksi Ahli Tergugat, Prof. Dr. Lita Tyesta dari Undip, bahwa jabatan Komisioner KTKI setara dengan kepala daerah.

BACA JUGA:Pemberhentian Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia Tuai Polemik, Ada yang Banting Setir Jadi Driver Online

Sementara itu, Dr. Khairul Fahmi, SH, MH dari Universitas Andalas, menegaskan bahwa negara harus memberi ganti rugi terhadap pemberhentian sebelum masa jabatan selesai.

Senada, Prof. Heru Susetyo dari Universitas Indonesia menilai pemutusan masa jabatan anggota KTKI tanpa proses transisi sebagai tindakan tidak adil.

Ia menegaskan bahwa hukum harus ditegakkan bukan hanya secara normatif, tetapi juga mempertimbangkan keadilan substantif.

"Hukum dibuat bukan untuk menzalimi mereka yang telah mengabdi dengan ikhlas kepada negara. Hukum itu harus manusiawi dan adil bagi sebanyak mungkin orang," ucap Prof. Heru.

Chandi Lobing, penggugat asal Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, menyatakan pemerintah seharusnya memberi kompensasi berupa gaji sisa masa jabatan dan hak pensiun.

Ia mengacu pada ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 2015 Pasal 202 sebagai dasar pemberian kompensasi terhadap pemberhentian pejabat publik sebelum masa jabatannya berakhir.

Sri Sulistyati, APT, seorang apoteker yang juga termasuk penggugat, menyoroti bahwa sejak awal sidang, Ketua Majelis Hakim selalu menegaskan pentingnya menjaga integritas proses hukum.

Ia mempertanyakan mengapa keputusan sidang bisa bocor ke luar sebelum disahkan.

"Setiap sidang selalu ditegaskan bahwa tidak boleh menghubungi hakim atau aparatur di luar sidang. Tapi sekarang, malah keputusan belum sah bisa tersebar lebih dulu. Ini sangat melanggar etik," kata Sri.

Imelda Retna Weningsih, principal profesi perekam medis dan informasi kesehatan, juga menyatakan keheranannya.

Menurutnya, dalam sistem e-court, dokumen putusan baru bisa diakses jika kewajiban administratif seperti pembayaran telah dilunasi.

Kenyataan bahwa salinan sudah beredar, padahal akses resmi belum tersedia, menambah kecurigaan adanya kebocoran internal.

Pihak penggugat dan berbagai elemen masyarakat profesi kesehatan kini mendesak PTUN Jakarta Timur untuk menyelidiki dugaan kebocoran dokumen dan mengambil langkah tegas terhadap pihak yang menyebarkannya secara ilegal.

Syofia Nelli, principal dari profesi ahli gizi, menegaskan bahwa penyebaran dokumen yang belum sah itu mencederai prinsip keadilan, transparansi, dan integritas peradilan.

Kategori :