Sebagai contoh, ia menyinggung kasus wartawan Muhamad Asrul di Palopo, Sulawesi Selatan, yang divonis bersalah atas berita dugaan korupsi pada 2019.
“Situasi ini menciptakan efek gentar membuat wartawan takut mengungkap kasus sensitif seperti korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Padahal hak atas perlindungan diri, kehormatan, martabat, dan rasa aman merupakan hak konstitusional yang dijamin dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945,” ujarnya.
Permohonan ke MK dan Tuntutan Iwakum
Dalam sidang MK tersebut, Viktor Santoso menekankan urgensi Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 8 UU Pers bertentangan dengan konstitusi.
“Menjadi sangat beralasan menurut hukum apabila Mahkamah Konstitusi menyatakan ketentuan Norma Pasal 8 UU 40/1999 dan Penjelasannya bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD NRI 1945,”
jelas Viktor.
Iwakum mengajukan empat poin permohonan kepada Mahkamah Konstitusi, termasuk:
• Mengabulkan permohonan untuk seluruhnya.
• Menyatakan Pasal 8 UU Pers conditionally unconstitutional, terutama jika dimaknai bahwa:
• Tindakan kepolisian dan gugatan perdata tidak dapat dilakukan kepada wartawan dalam melaksanakan profesinya sepanjang berdasarkan kode etik pers, atau
• Pemanggilan dan tindakan hukum terhadap wartawan hanya bisa dilakukan setelah ada izin Dewan Pers.
BACA JUGA:Iwakum Tegaskan Praktik Doxing Merusak Integritas Wartawan dan Media
• Menyatakan Penjelasan Pasal 8 UU Pers tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
• Memerintahkan agar putusan dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia.
“Atau, Apabila Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono),” ujar Viktor.
Majelis Hakim MK yang dipimpin oleh Suhartoyo serta anggota Daniel Yusmic P. Foekh dan Guntur Hamzah memberikan sejumlah catatan terhadap permohonan uji materi ini. Sidang lanjutan akan digelar pada 9 September 2025.