Untuk menekan produksi sampah di lingkungan warga, DLH DKI memiliki Bulky Waste, sebuah layanan pengangkutan sampah besar seperti sofa, lemari, kasur, dan perabotan rumah tangga lain.
Ada pula Bank Sampah Mawar Merah di Cempaka Putih Barat, di mana sampah seperti plastik, kertas, logam, dan kaca milik warga bisa ditukar dengan uang.
Sementara itu, anggota DPRD DKI Jakarta Ade Suherman meminta program bank sampah di tingkat RW dan kelurahan dapat lebih diperkuat.
“Bank sampah bukan sekadar urusan lingkungan, ini juga bagian dari upaya bersama membangun budaya peduli dan tanggung jawab warga terhadap kotanya,” ujarnya.
BACA JUGA:7 Bulan Pimpin Jakarta, Pramono–Rano Tetap Fokus KJP, KJMU, Job Fair dan Banyak Lagi!
Ade juga menekankan perlunya meningkatkan penyediaan sarana Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPSA) di tingkat kelurahan, pemberian insentif, dan fasilitas bagi bank sampah.
Dengan begitu, menciptakan ekosistem pengelolaan sampah berbasis warga yang mendapat dukungan anggaran dari Pemprov DKI.
"Diharapkan mampu membawa Jakarta menuju pengelolaan sampah yang lebih modern dan berkelanjutan,” pungkas Ade.
Secara terpisah, pengamat lingkungan, Firdaus Ali menilai, sampah di Jakarta perlu dikelola mulai dari hulu hingga ke hilir.
Khusus pengelolaan dari hulu, sampah produksi rumah tangga harus dipilah terlebih dahulu di Bank Sampah.
BACA JUGA:DPRD DKI Ingin Besaran Tunjangan Rumah Dewan Seluruh Indonesia Diseragamkan
BACA JUGA:Sempat Naik Gila-Gilaan, Harga Beras Premium Kini Mulai Kembali Normal
Sisa hasil pemilahan selanjutnya dikirim ke TPS 3R yang ada di tingkat kecamatan untuk dikelola lebih lanjut.
Jika masing-masing tempat pengelolaan sampah di hulu mampu mengurangi 20 persen, maka akan sangat meringankan beban di hilir yakni TPST Bantargebang.
"Harusnya sampah itu di hulu itu dibereskan. Mulai dari pemilahan, kemudian di sana juga ada kontrol kendali. Sehingga akhirnya kita menyelesaikannya di hilir. Di hilir itu ya tadi pilihannya di Bantargebang," kata Firdaus.