Gaza Pasca KTT: Harapan & Tantangan

Jumat 17-10-2025,08:20 WIB
Oleh: Prof. Asep Saepudin Jahar, M.A., Ph

Dari Gencatan ke Keadilan

Secara sosiologis, gencatan senjata hanya menghentikan kekerasan, tetapi belum memulihkan keadilan.

BACA JUGA:Memahami Keragaman Tradisi Pesantren

BACA JUGA:Menjaga Kesehatan Mental di Era Digital

Sebagaimana ditulis Émile Durkheim lebih dari seabad lalu, perdamaian sejati hanya mungkin terjadi jika “norma sosial bersama” dipulihkan.

Gaza kehilangan bukan hanya rumah dan infrastruktur, tetapi kepercayaan pada tatanan dunia yang adil.

Makalah akademik Yinon Amir (Queen’s University Belfast, 2024) menyebut Gaza kini berada dalam situasi post-occupation trap: wilayah yang secara formal merdeka, namun masih tergantung pada struktur kekuasaan eksternal dari ekonomi, logistik, hingga keamanan.

Artinya, masa depan Gaza bergantung pada siapa yang memegang kendali atas udara, laut, dan distribusi barang.

KTT Sharm El-Sheikh memang membahas pemulihan ekonomi dan bantuan kemanusiaan, tetapi belum menjawab satu hal paling mendasar: apakah rakyat Gaza akan benar-benar memiliki kedaulatan politik?

Selama itu belum jelas, perdamaian hanya akan menjadi jeda yang rapuh.

BACA JUGA:Menyulam Martabat di Tepi Tembok Kampus: Evolusi Gerakan Kampung Lingkar Kampus Universitas Brawijaya

BACA JUGA:Menghidupkan Spirit Pancasila

Dalam perspektif Islam, adl (keadilan) adalah fondasi perdamaian.

Tanpa keadilan, rekonsiliasi menjadi basa-basi. Al-Mawardi dalam Adab al-Dunya wa al-Din menulis, “Negara berdiri di atas keadilan sebagaimana bangunan berdiri di atas pondasinya.”

Keadilan, dalam konteks Gaza, bukan sekadar tidak ada perang, tetapi adanya hak untuk menentukan nasib sendiri, haqqul istikhlal.

Keadilan juga berarti membuka ruang bagi warga Gaza untuk memimpin sendiri rekonstruksi negerinya.

Kategori :