BACA JUGA:KPK Menangkap, Nahdliyin Berbenah
BACA JUGA:Zionisme Nahdliyyah dan Urgensi Rais Aam Mundur
Di forum KTT, kehadiran negara seperti Indonesia sangat dibutuhkan untuk mengingatkan bahwa perdamaian tanpa nilai hanyalah kesepakatan sementara.
Sebagaimana ditulis Karen Armstrong dalam Fields of Blood (2014), kekerasan dalam sejarah manusia sering muncul bukan karena agama, tetapi karena kehilangan makna moral di dalam politik.
Dalam konteks itu, Indonesia perlu menghidupkan kembali diplomasi moral diplomasi yang berani mengedepankan nilai rahmah, adl, dan ukhuwah insaniyyah (persaudaraan kemanusiaan).
Kita tidak harus menjadi negara kuat untuk berpengaruh; cukup menjadi negara yang konsisten dalam moralitasnya.
Sebagaimana Al-Ghazali menulis dalam Ihya’ Ulum al-Din, “Kekuasaan tanpa keadilan adalah tirani; dan agama tanpa keadilan adalah kemunafikan.”
BACA JUGA:Krisis Penyerapan Gula Petani: Antara Banjir Impor dan Lemahnya Tata Kelola
BACA JUGA:Lima Alasan Kenapa Pendidikan Kedinasan tidak boleh dari Anggaran Kementerian Pendidikan
Kedua pesan itu, ketika dibawa dalam diplomasi, menjelma menjadi kekuatan lunak (soft power) yang tidak dimiliki banyak negara.
Refleksi: Jalan Sunyi Menuju Perdamaian
Masa depan Gaza tidak akan ditentukan oleh satu konferensi, tapi oleh komitmen moral dunia.
KTT Sharm El-Sheikh memberi harapan, tetapi harapan itu harus dijaga dengan kerja keras dan kesungguhan.
Gaza memerlukan bukan hanya dana rekonstruksi, tapi juga rekonstruksi moral menata ulang makna hidup setelah kehilangan, menumbuhkan kembali harapan setelah kehancuran.
Rakyat Gaza telah menunjukkan ketabahan yang luar biasa; sekarang giliran dunia untuk menunjukkan empati yang nyata.
BACA JUGA:Kandang Ayam Berbasis AI Menjamin Keamanan Pangan