Sejarah mengajarkan bahwa pemulihan yang didikte dari luar betapapun niatnya baik akan kehilangan legitimasi sosial.
Francis Fukuyama, dalam State Building (2004), menegaskan: “Tidak ada pembangunan yang tahan lama tanpa kepemilikan lokal terhadap prosesnya.”
BACA JUGA:Anak Indonesia Butuh Gizi Ruhani, Bukan Jasmani Saja
BACA JUGA:Instruktur Berkualitas, Peserta Didik Naik Kelas
Gaza perlu membangun bukan hanya gedung, tapi lembaga kepercayaan.
Karena, seperti dikatakan Habermas dalam The Theory of Communicative Action, legitimasi sosial lahir dari komunikasi jujur antara rakyat dan penguasa.
Jika rakyat Gaza tidak dilibatkan dalam dialog masa depan mereka sendiri, maka gencatan senjata hanyalah jeda menuju krisis baru.
Rekonstruksi dan Ketimpangan Harapan
Kerusakan fisik Gaza hampir total. Studi pemantauan satelit (InSAR damage mapping, 2025) menunjukkan lebih dari 70% bangunan rusak berat.
BACA JUGA:Kunci Penyelamatan Program MBG
BACA JUGA:Menagih Janji Program Teknokrasi 'Bappenas NU' Model Erick Thohir di Lakpesdam
Infrastruktur dasar rumah sakit, sekolah, pipa air nyaris lumpuh.
KTT Sharm El-Sheikh menjanjikan dana rekonstruksi dari berbagai lembaga internasional dan negara donor, termasuk paket $53 miliar dari Liga Arab yang disampaikan sebagai dukungan terhadap “rekonstruksi bermartabat.”
Namun, pengalaman pasca-perang di tempat lain (Suriah, Irak, Lebanon) menunjukkan bahwa rekonstruksi tanpa tata kelola transparan sering menjadi sumber korupsi baru.
Di sini, diperlukan bukan hanya dana, tapi standar moral dan institusional.
Amartya Sen dalam Development as Freedom menulis, “Pembangunan sejati adalah pembebasan manusia dari ketakutan dan ketergantungan.”