JAKARTA, DISWAY.ID - Wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, menuai penolakan keras dari penyintas tragedi Tanjung Priok 1984.
Salah satu penyintas, Amanatun Najariyah, menilai langkah tersebut merupakan bentuk ketidakadilan sejarah yang menyayat hati para korban dan keluarganya.
BACA JUGA:Rencana Revisi UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM Bukan Upaya Pelemahan Komnas HAM
"Saya tidak rela kalau Soeharto itu dijadikan pahlawan, karena saya sendiri sampai sekarang tidak mendapatkan pengadilan yang hak untuk diri saya," ujarnya dalam sebuah diskusi publik di Jakarta, Rabu 5 November 2025.
Amanatun merupakan saksi hidup sekaligus korban kekerasan aparat militer dalam peristiwa berdarah di Tanjung Priok.
Ia mengungkapkan bahwa dirinya ditangkap tanpa alasan jelas hanya karena berusaha membela kakaknya yang ditahan tanpa surat perintah resmi.
"Kemudian dijebloskan di kantor polisi, diinterogasi sampai pagi. Saya melihat penyiksaan kepada kakak saya dan teman-teman yang ada," ungkapnya.
BACA JUGA:Anggota DPR RI Rivqy Abdul Halim Dukung Pemanfaatan Aset Tidur untuk Dijadikan UMKM
Ia mengenang masa penahanannya sebagai periode paling kelam dalam hidupnya. Menurutnya, perlakuan aparat saat itu sangat tidak manusiawi.
"Makanan dilempar begitu saja, seperti bukan manusia," ungkapnya.
Tak berhenti di situ, Aminatun juga menceritakan bagaimana dirinya dipermalukan ketika dibawa ke Komando Distrik Militer (Kodim).
"Pas di Kodim, saya juga sempat ditelanjangi. Saya melawan, melindungi diri. Tadinya mau ditelanjangi di hadapan teman laki-laki semuanya," tuturnya dengan suara bergetar.
BACA JUGA:Polisi Periksa Pihak Sekolah Internasional dan Rekan Siswa yang Jatuh Meninggal di Gading Serpong
Saat tragedi itu terjadi, Aminatun baru berusia 27 tahun.