Ketiganya ialah Gubernur Riau Abdul Wahid, Dani M. Nursalam selaku Tenaga Ahli Abdul Wahid, dan Kepala Dinas PUPR PKPP Provinsi Riau M. Arief Setiawan.
Mereka juga langsung dilakukan penahanan selama 20 hari pertama hingga 23 November 2025.
BACA JUGA:BMKG Peringatkan Dampak Siklon Kalmaegi, Gelombang Tinggi dan Hujan Lebat Ancam Indonesia Timur
BACA JUGA:Guru dan Penjaga Sekolah Internasional Diperiksa Usai Insiden Siswa Tewas Jatuh dari Lantai 8
Dalam konstruksi perkara yang dibacakan oleh Wakil Ketua KPK Johanis Tanak, Ferry Yunanda mempunyai peran sentral dalam kasus tersebut.
Pada bulan Mei 2025 lalu, Ferry Yunanda melakukan pertemuan dengan 6 Kepala UPT Wilayah I-VI, Dinas PUPR PKPP, di salah satu kafe di Pekanbaru.
Pertemuan ini untuk membahas kesanggupan pemberian fee kepada Abdul Wahid sebesar 2,5 persen.
Fee tersebut atas penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP yang semula Rp71,6 miliar menjadi Rp177,4 miliar, dan ada kenaikan sekitar Rp106 miliar.
Ferry Yunanda menyampaikan hasil pertemuan tersebut kepada M. Arief Setiawan yang merupakan Kepala Dinas PUPR PKPP Provinsi Riau.
BACA JUGA:Kampung Bahari Digerebek, BNN-Brimob dapat Perlawanan Bandar Narkoba: 18 Orang Ditangkap!
Namun, M. Arief Setiawan yang merepresentasikan Abdul Wahid meminta fee sebesar 5 persen atau senilai Rp7 miliar.
Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah ‘jatah preman’.
Apabila tak mengindahkan permintaan tersebut, ada ancaman pencopotan ataupun mutasi jabatan.
Selanjutnya, seluruh Kepala UPT Wilayah Dinas PUPR PKPP beserta Sekretaris Dinas PUPR PKPP Provinsi Riau melakukan pertemuan kembali dan menyepakati besaran fee untuk Abdul Wahid sebesar 5 persen.
Hasil pertemuan tersebut selanjutnya dilaporkan kepada Kepala Dinas PUPR PKPP Provinsi Riau dengan menggunakan bahasa kode '7 batang'.