Bencana terjadi bukan semata-mata karena faktor alam seperti siklus geologi, cuaca ekstrem, atau aktivitas vulkanik.
Memang, bencana seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, dan banjir muncul secara alami dan berulang berdasarkan dinamika alam yang telah berlangsung sejak dahulu.
Namun pada kenyataannya, banyak bencana justru diperparah—bahkan dipicu—oleh ulah manusia.
Pembalakan liar, alih fungsi lahan secara masif, pembangunan tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan, hingga eksploitasi sumber daya alam demi keuntungan jangka pendek, semuanya memperbesar risiko dan memperparah dampak yang dirasakan masyarakat.
Karena itu, penting bagi kita untuk bersikap bijak dan bertanggung jawab dalam mengelola alam demi keberlanjutan hidup generasi mendatang.
BACA JUGA:Prestasi Kampus, Harapan Bangsa
BACA JUGA:Enam Alasan Kuat Gus Zulfa Layak Mengemban Amanah (Pjs) Ketua Umum PBNU
Pada akhirnya, bencana adalah cermin—bukan hanya bagi alam, tetapi terutama bagi manusia.
Ia memantulkan pilihan-pilihan kita sendiri: bagaimana kita membangun, bagaimana kita mengekstraksi, bagaimana kita mengorbankan sebagian demi keuntungan sesaat.
Jika setiap banjir bandang selalu kita sebut takdir, setiap longsor kita anggap kehendak langit, maka sesungguhnya kita sedang menolak bercermin.
Pertanyaannya bukan lagi mengapa alam “murka”, tetapi mengapa manusia terus mengulang kesalahan yang sama.
Antropologi kebencanaan mengingatkan bahwa bencana bukan peristiwa sesaat, melainkan proses panjang yang dibentuk oleh kebijakan, perilaku, dan ketimpangan sosial.
BACA JUGA:9 Alasan Menag Nasaruddin Umar Nakhoda Ideal PBNU Mendatang
BACA JUGA:Mahasiswa Unggul, Negara Unggul
Selama pembangunan masih menyingkirkan kehati-hatian, selama alam hanya dipandang sebagai komoditas, dan selama kelompok rentan terus dibiarkan menanggung risiko terbesar, maka bencana akan selalu datang—bukan sebagai hukuman Tuhan, tetapi sebagai konsekuensi dari pilihan manusia sendiri.
*Prof Jamhari Makruf, Ph.D.*