Orientasi ekonomi yang semata-mata profit, tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan ekologis, memperkuat makna bencana sebagai peringatan untuk berbenah.
Pada akhirnya, bencana alam adalah “teks” yang mengingatkan kita tentang hubungan manusia dengan alam.
Interaksi yang tidak harmonis, eksploitasi berlebihan, serta minimnya tanggung jawab kolektif terhadap lingkungan menjadi akar dari banyak bencana.
Melalui bencana, alam seolah mengirimkan pesan agar manusia kembali menghargai keseimbangan, memperkuat solidaritas sosial, dan membangun kebijakan yang berpihak pada kelestarian serta keadilan bagi semua makhluk hidup.
Alam Indonesia memang sangat kaya: bukan hanya hutan, tetapi juga mineral melimpah di bawah tanah.
Di Timur Tengah ada ladang minyak dan gas; Indonesia juga memilikinya. Namun Timur Tengah tidak mempunyai hutan dan pertanian subur seperti Indonesia.
BACA JUGA:Diplomasi Tangan di Atas: Menguatkan Peran Global Indonesia
BACA JUGA:NU, Organisasi dan Arogansi
Sementara negara lain yang subur hutan dan pertaniannya tidak memiliki kekayaan alam bawah tanah seperti Indonesia.
Kekayaan alam Indonesia ini menjadi godaan politik maupun ekonomi, sehingga sering terjadi pemanfaatan yang berlebihan.
Memang benar apa yang disampaikan BMKG bahwa curah hujan ekstrem membuat debit air meningkat.
Sungai-sungai tidak mampu menampung, dan hutan yang telah diolah menjadi perkebunan serta pertanian tidak mampu lagi membendung air yang datang.
Akibatnya, air mengalir deras menghantam apa saja yang dilaluinya.
BACA JUGA:Yang Ilahi dan Yang Insani di Jalan Kramat
BACA JUGA:Enam Alasan Kuat Gus Zulfa Layak Mengemban Amanah (Pjs) Ketua Umum PBNU
Bencana “bukan” Hukuman Tuhan