Antropologi Kebencanaan

Rabu 17-12-2025,06:56 WIB
Oleh: Prof Jamhari Makruf, Ph.D.

Dalam konteks penanggulangan, modal sosial berupa solidaritas dan jejaring komunitas sangat vital dalam upaya penyelamatan dan pemulihan.

BACA JUGA:'Menghidupkan' Warisan Gus Dur, Bolehkah dengan Melupakan Jejaknya?

BACA JUGA:Elegi Lumpur di Hulu Bencana

Karena itu, memahami bencana dari sudut pandang antropologi berarti mengakui bahwa bencana merupakan refleksi atas perilaku dan kebijakan manusia.

Kolaborasi antara pengetahuan ilmiah dan kearifan lokal dibutuhkan agar langkah mitigasi bencana menjadi lebih inklusif dan berkelanjutan.

Komitmen untuk menghargai pengetahuan tradisional, memperkuat tata kelola lingkungan, serta membangun kesadaran kolektif akan berkontribusi pada pengurangan risiko dan dampak bencana di masa mendatang.

Dengan demikian, bencana tidak lagi semata-mata dianggap sebagai “takdir” alam, melainkan konsekuensi dari pilihan dan tindakan manusia. 

Belajar dari Bencana

BACA JUGA:Polemik PBNU: Pelanggaran Berat, Bukan Perselisihan

BACA JUGA:World Indonesianist Congress: Belajar dari Kawan

Bencana alam, jika dikaji lebih mendalam, dapat dipandang sebagai “teks” yang sarat pesan tersembunyi mengenai ketidakadilan sosial.

Ketika bencana terjadi, kelompok masyarakat paling rentan—seperti mereka yang bermukim di kawasan kumuh atau area rawan bencana—sering kali menjadi korban terparah.

Tekanan pembangunan, seperti ekspansi perkebunan atau pertambangan, kerap menyebabkan masyarakat miskin tersingkir dari lahan mereka.

Dampak awal dari perubahan tata guna lahan ini termasuk polusi, penurunan kualitas air dan udara, serta memburuknya infrastruktur.

Secara ironis, merekalah yang pertama menjadi korban ketika bencana terjadi, terutama akibat kebijakan politik yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam.

BACA JUGA:Apresiasi untuk Tujuh Prestasi Gus Yahya di PBNU

Kategori :