ACEH, DISWAY.ID -Pakar hukum mengkritisi penanganan akses telekomunikasi yang putus pascabencana banjir di Aceh karena minimnya pembangkit cadangan.
Ada dugaan potensi kelalaian operator telekomunikasi kembali menjadi sorotan setelah layanan internet di Aceh berulang kali lumpuh di tengah situasi darurat pascabencana.
BACA JUGA:Kasus Mandek, Korban Investasi Bodong Rp362 Miliar Minta Proses Hukum 'Raja Voucher' Dilanjutkan!
Pola ini kembali terulang dalam beberapa pekan terakhir pascabanjir dan longsor, ketika akses komunikasi mati hampir tanpa jeda dan menyulitkan masyarakat memperoleh informasi krusial.
Konsultan Hukum dan Mediator PMN LBH Qadhi Malikul Adil, Dr. Bukhari, menilai kondisi tersebut sebagai persoalan serius yang tidak bisa lagi dipahami sebatas gangguan teknis.
“Pasca banjir dan longsor, kita melihat betapa rentannya sistem telekomunikasi di Aceh. Internet langsung blackout begitu listrik terputus. Ini bukan semata persoalan teknis, tetapi menyangkut tanggung jawab hukum dan pelayanan publik,” ujarnya pada dikutip Senin, 22 Desember 2025.
Ia menegaskan, matinya internet setiap kali terjadi gangguan sistem mencerminkan lemahnya kesiapsiagaan operator telekomunikasi di wilayah rawan bencana. Padahal, layanan komunikasi merupakan infrastruktur vital yang seharusnya tetap berfungsi dalam kondisi krisis.
BACA JUGA:Menkomdigi Apresiasi Relawan Literasi Digital yang Tetap Dampingi Warga Terdampak Bencana di Sumatra
BACA JUGA:Kuliner dan Fashion Jadi Andalan Indonesia Go Global, Ekspor Ekraf Dibidik 27,85 Miliar Dolar AS
Fakta di lapangan menunjukkan banyak Base Transceiver Station (BTS) di Aceh tidak dilengkapi cadangan daya yang memadai.
"Idealnya, tower telekomunikasi memiliki baterai atau genset yang mampu menopang operasional minimal 4 hingga 8 jam. Namun pada praktiknya, sebagian BTS hanya bertahan puluhan menit, bahkan ada yang langsung mati ketika pasokan utama terganggu. Dalam kondisi darurat, tanggung jawab operator tidak berhenti pada keberadaan genset semata," paparnya.
Qadhi menilai idealnya jika genset BTS kehabisan bahan bakar, operator seharusnya segera melakukan pengisian ulang. Jika genset rusak akibat terdampak bencana, penggantian atau perbaikan cepat menjadi kewajiban, bukan opsi. Ketergantungan berlarut pada pemulihan pihak lain mencerminkan lemahnya manajemen kedaruratan.
Ia menegaskan bahwa kewajiban tersebut bukan pilihan, melainkan tanggung jawab yang melekat pada penyelenggara layanan telekomunikasi.
“Jika tidak dipenuhi, kondisi ini bisa dikategorikan sebagai kelalaian korporasi yang berdampak langsung pada kepentingan dan keselamatan masyarakat,” tambahnya.