Gunung Garam
Pun sebelum masehi. Daerah ini sudah jadi rebutan. Yang sekarang menjadi bagian dari Pakistan. Nama daerah ini: Khewra. Tidak jauh dari kota Faisalabad. Di antara Lahore dan Islamabad.
Emas belum begitu penting saat itu. Kalah mahal dengan garam. Ketika masyarakat masih hidup dari hasil buruan. Ketika daging memerlukan bahan pengawet: garam. Sekalian penyedap rasa.
Besi juga penting. Juga mengalahkan emas. Agar bisa berburu. Atau menyerang musuh. Itulah sebabnya perdagangan pertama di dunia adalah barter antara garam dan besi.
Masyarakat saat itu masih berorientasi ke hutan. Ke pedalaman. Belum ke lautan. Belum tahu bahwa garam bisa dibuat seperti di Madura: dari air laut.
Khewra punya satu gunung. Dari dalamnya merembet air. Rasanya asin. Itulah rasa yang kemudian diberi nama garam.
Kawasan sekitar gunung ini gersang. Tidak ada pohon tinggi. Tidak bisa hidup. Tanaman yang ada hanya perdu. Ada lagi sejenis kaliandra. Jarang-jarang. Orang menjadikannya bahan baku arang. Diangkut dengan onta-onta. Yang banyak dibiakkan di daerah ini.
Ketika penjajah Inggris masuk mulailah gunung ini dijajah. Dikuasai satu perusahaan pengolah garam.
Tentu saya harus ke gunung garam ini. Tiga jam naik mobil dari Lahore. Seumur hidup belum pernah saya melihat garam yang sumbernya dari tambang.
Sebagian gunung ini sudah dijadikan obyek wisata. Yakni di sisi yang menambangan garamnya sudah ditinggalkan. Pindah ke sisi gunung yang lain.
Pabrik garam yang di sisi 'sini' pun sudah tutup. Tapi rel masuk ke dalam gunung ini masih ada. Itulah rel kereta pengangkut garam. Dari perut gunung. Menuju pabrik garam di bawah gunung.
Saya pun menggunakan kereta itu. Masuk ke dalam gunung. Melalui terowongan kecil. Yang hanya cukup untuk rangkaian kereta yang mirip kereta kelinci di taman hiburan.
Kalau mau murah bisa juga memasuki terowongan dengan jalan kaki. Di kanan-kiri rel. Hanya saja harus sering berhenti. Memepetkan badan ke tebing. Saat kereta kelinci lewat. Agar tidak kesenggol.
Banyak juga yang memilih jalan kaki seperti itu.
Terowongan ini panjangnya 1 km. Kami pun turun. Terowongan itu bercabang-cabang. Saya harus memilih memasuki cabang yang mana. Yang sudah tidak ada relnya lagi.
Terowongan itu tidak dibuat secara khusus. Yang utama adalah mengambil batunya. Kian lama kian dalam. Jadilah terowongan.
Batu terowongan itulah 'batu garam'. Itu bukan batu. Tapi bongkahan garam. Sekeras batu. Bongkahan-bongkahan itulah yang diangkut ke pabrik. Untuk dihancurkan dengan. Mesin. Menjadi garam.
Tentu dinding terowongan itu garam juga. Atau terbuat dari batu garam. Yang sudah dibentuk seperti bata. Lalu disusun menjadi dinding terowongan.
Tidak percaya?
Ada resikonya. Seperti yang saya alami.
Saya diminta menjilat dinding bata itu.
Benar saja. Dinding itu asin.
Di bagian-bagian tertentu di dalam terowongan itu dibuat bangunan. Terutama di bagian terowongan yang melebar. Yang sudah dikeruk batu garamnya. Misalnya dibangun poliklinik kecil. Bangunan itu semua dindingnya terbuat dari bata garam.
Saya tidak bisa membedakan kerasnya batu garam ini dengan batu gunung terbaik dari Palu. Keras sekali. Hanya saja warnanya agak bening. Ketika di balik dinding itu diberi cahaya, warna dindingnya menjadi eksotik. Sesuai dengan warna cahaya di dalamnya.
Saya dibawa masuk lorong lebih dalam. Lorong itu ada pintu gerbangnya. Dikunci. Tidak semua wisatawan dibolehkan masuk.
Itulah lorong yang disebut "Crystal Palace". Yang sudah dilengkapi tata cahaya. Dan memang seperti istana kristal. Dinding-dinding terowongannya gemerlapan. Seperti berlian terkena cahaya. Itulah kristal batu garam. Saking kerasnya batu garam di bagian itu. Dan hanya di bagian ini.
Banyak juga kolam-kolam besar di dalam terowongan ini. Ada yang dalamnya sampai 27 meter. Itulah bekas galian untuk diambil batu garamnya.
Tidak takutkah terowongan itu runtuh? Saya terkubur di dalamnya? Sama sekali tidak. Gunung ini batunya keras sekali. Eh, garamnya keras sekali.
Memang ada tetesan-tetesan air dari atas terowongan. Di beberapa tempat tetesan itu dibiarkan. Membeku pelan-pelan. Membentuk seperti menara-menara katedral. Warna putih. Warna garam.
Maka tidaklah berlaku pepatah itu di sini: asam di gunung, garam di laut...(Dahlan Iskan).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber:
Komentar: 34
Silahkan login untuk berkomentar
Masuk dengan Google