Ekonomi vs Politik

Ekonomi vs Politik

"Tabungan dikurangi investasi = ekspor minus impor".
 
Dulu. Dulu sekali. Waktu muda. Saya tidak bisa paham membaca rumus ekonomi makro seperti itu. Dan tetap tidak akan paham. Kalau waktu itu tidak menjadi aktivis mahasiswa. 
 
Awalnya saya hanya bisa bengong. Saat ikut diskusi sesama aktivis. Kadang kami memang mengundang aktivis yang lebih senior. Yang sudah menjadi dosen. Atau asisten dosen. Dari berbagai universitas. Dari berbagai disiplin ilmu.
 
Senior-senior itulah yang 'meracuni' aktivis. 
 
Saya tidak tahu apakah sekarang masih ada. Senior yang mau 'meracuni' mahasiswa seperti itu. 
 
Mungkin sayalah yang paling bengong. Di topik seperti itu. Di madrasah aliyah tidak diajarkan hal-hal seperti itu. Yang tidak ada hubungannya dengan surga dan neraka itu. Apalagi setelah aliyah saya ke IAIN. Untungnya di aliyah ada pelajaran ilmu logika (ilmu mantik). Yang jadi bekal saya untuk mudah memahami yang serba duniawi itu. 
 
Setelah diskusi saya pun harus selalu membaca artikel-artikel ekononi makro. Pun yang tidak saya mengerti. Tetap saya baca sampai selesai. Pun yang tidak saya sukai. Saya baca. Saya ingat ilmu petuah di pesantren: batu pun bisa berlubang oleh tetesan air. Hanya diperlukan konsistensi. Istikamah. Dalam waktu yang lebih lama. Dan diperlukan kesabaran yang tinggi. 
 
Zaman itu ada majalah Prisma. Tiap terbit saya baca. Pinjam kanan-kiri. Isinya banyak yang tidak saya mengerti. Tapi rasanya bergengsi kalau ke mana-mana menenteng majalah itu.
 
Itulah majalah terbitan Lembaga Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Lembaga itu pula yang mendidik saya menjadi wartawan. Selama tiga bulan. Diasramakan di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Atas biaya salah satu yayasan dari Jerman. 
 
Menteri-menteri ekonomi zaman awal Pak Harto selalu menulis artikel di situ. Mereka itulah yang disebut teknokrat. Yang dianggap sebagai peletak dasar-dasar ekonomi orde baru itu. 
 
Pak Harto begitu tunduk pada para ekonom itu. Misalnya dalam hal pengendalian penduduk. Prof Dr Widjojo Nitisastro adalah ahli ekonomi demografi. Saya baca buku beliau di bidang ini. Yang awalnya juga tidak saya mengerti: pentingnya pengendalian pertumbuhan penduduk dalam pembangunan ekonomi. Yang Pak Harto lantas menerapkannya. Dengan all out. Lewat program 'dua anak cukup'. Secara sabar dan konsisten. Termasuk sabar dalam menghadapi tentangan para ulama. Yang tidak setuju KB. 
 
Program ini seperti dilupakan. Sejak reformasi. Sampai sekarang.
 
Di bidang produksi dalam negeri, Pak Harto juga tunduk pada tim Widjojo itu. Baik bidang pertanian maupun industri.
 
Sampai-sampai Pak Harto disebut sebagai 'dikendalikan mafia Berkeley'. Para ekonom Pak Harto itu memang lulusan Berkeley. The University of California, Berkeley. Sebuah universitas di luar kota San Francisco. Di kota kecil Berkeley. Di tengah-tengah antara San Francisco dan Sacramento. 
 
Saya sering mampir universitas itu. Hanya untuk lihat-lihat. Mampir dalam perjalanan menengok anak saya dulu. Yang kuliah di Sacramento.
 
Ketika saya lihat ia pacaran dengan 'gadis sampul majalah Gadis' saya sarankan pada pacarnya itu. Yang lulusan Universitas Pelita Harapan itu. Agar menyempatkan kuliah lagi di Amerika. Biar pun hanya sebentar. 'Pacarmu kan pendidikannya Amerika terus. Anda harus pernah kuliah di Amerika. Biar pun sebentar. Agar kelak, kalau jadi suami istri, bisa nyambung'.
 
Tanpa saya sarankan harus di mana, dia pilih kuliah di Berkeley itu. Sebentar. Mungkin karena dia tahu banyak tokoh lulusan Berkeley. Mungkin juga agar tidak terlalu jauh dari Sacramento.
 
"Pak Harto sangat cepat memahami ilmu ekonomi. Dulu beliau memang belajar dari kami. Tapi belakangan kami yang belajar dari beliau."
 
Saya lupa siapa yang mengucapkan itu. Tapi kalimat itu sangat terkenal. Yang menunjukkan betapa Pak Harto memilih tim ekonominya yang teknokrat asli. Yang menunjukkan betapa Pak Harto 'tunduk' pada para ekonom itu. Beliau rupanya menyadari lemah di bidang itu. Hanya lulusan SMP. Karirnya pun terus di militer.
 
Saya yakin Pak Harto juga tidak paham rumus "tabungan dikurangi investasi = ekspor dikurangi impor" itu. Awalnya. 
 
Padahal pelaksanaan rumus seperti itulah yang bisa memajukan perekonomian negara. 
 
Juga bisa dipakai untuk memahami mengapa terjadi perang dagang. Dan bagaimana hasilnya kelak.
 
Presiden Donald Trump adalah konglomerat besar. Tahu ekonomi sangat banyak. Tapi ia tidak termasuk ahli ekonomi. Bukan teknokrat. 
 
Kebijakan perang dagangnya dinilai sebagai bukti bahwa ia bukan teknokrat. Bukan ahli ekonomi makro. 
 
Memang 'musuh' ekonom bukan hanya politisi. Tapi juga para pelaku bisnis. Para aktivis ekonomi mikro. Yang orientasinya lebih pendek. Dan lebih mikro. 
Misalnya: Presiden Trump mengeluhkan defisit neraca perdagangan. Yang memang luar biasa besarnya. Dan sudah luar biasa lamanya.
 
Trump seperti ambil panadol. Meski belum tentu bisa menyembuhkan penyebab dasar sakit kepalanya. 
 
Trump pasti tahu 'hukum besi ekonomi'. Seperti tertulis dalam rumusan di atas. Penasihat ekonominya pasti juga para ahli. Mereka pasti tahu rumus ini: "defisit neraca perdagangan tidak ada hubungannya dengan tarif". Kalau toh kelihatannya ada, itu hanya semacam panadol. 
 
Ekonomi memang sering kalah oleh politisi dan ekonom mikro.
 
Politisi memusuhi ekonom karena ketidaktahuan mereka. Pebisnis memusuhi ekonom karena terlalu banyak tahu apa saja. Sedikit-sedikit. 
 
Karena itu ekonom sering dipojokkan oleh penguasa --yang umumnya politikus. Di mana pun.
 
Ekonom sering kalah oleh tekanan sesaat. Misalnya untuk kepentingan pemilu. Terutama untuk bisa menang.
 
Pakistan mengalami hal seperti itu. Dalam skala yang sangat akut. Turki akan kita lihat perkembangannya. 
 
Kita? 
 
Baiknya Anda saja yang menilai.
 
Itu pula yang membuat Amerika sebenarnya sakit parah. Di bidang itu. Tapi sakitnya orang kaya-raya. Tidak mematikannya. Bahkan tidak menyulitkannya. Untuk jangka pendek. Kesalahan yang dibuatnya selama ini tidak akan terasa. Mungkin baru ketahuan di tahun 2050-an kelak. 
 
Amerika sebenarnya mengalami apa yang disebut devisit ganda. Neraca perdagangannya defisit. Anggaran belanja negaranya juga defisit. 
 
Jangan ditiru.
 
Amerika baik-baik saja dalam kondisi seperti itu. Negara miskin tidak boleh mengikutinya. 
 
Amerika mampu berbuat 'parah' seperti itu karena asetnya sudah besar, namanya harum, reputasinya baik. Intinya: Amerika bisa dipercaya. 
 
Maksud saya: selalu ngutang pun masih tetap dipercaya! Berapa pun besarnya. Semurah apa pun bunganya.
 
Defisit neraca perdagangan itu sebab awalnya satu: tingkat tabungan nasionalnya rendah. Tabungan nasional adalah tabungan masyarakat ditambah tabungan perusahaan dan tabungan negara. 
 
Rumus berikutnya adalah: "Bila tabungan lebih rendah dari investasi neraca perdagangan pasti defisit".
 
"Defisit neraca perdagangan itu pada dasarnya adalah utang". Begitu rumusnya. 
 
Itu karena investasi tidak cukup tinggi. Akibat tabungan yang rendah itu.
 
Bahwa Amerika menghukum Tiongkok memang sangat memuaskan publiknya sendiri. Secara politik itu sangat menguntungkan. Tapi tidak akan membawa perbaikan struktur dasar ekonomi Amerika. Begitu para ahli di Amerika menyimpulkan. Yang selama sebulan ini banyak saya dengarkan. 
 
Hukuman Amerika kepada Tiongkok itu sama dengan kebijakan ini: saat harga barang naik pedaganglah yang ditangkap. Pedagang beras atau ternak.
 
Secara politik itu juga sangat memuaskan: ada yang ditangkap. Tetapi tidak akan memperbaiki struktur ekonomi. 
 
Dan lagi untuk apa ada fakultas ekonomi di semua universitas?(Dahlan Iskan)
 
 
 
 
 
 
 

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Komentar: 130

  • taufik.an
    taufik.an
  • Kang Kimin
    Kang Kimin
    • Nur Rokim
      Nur Rokim
  • Aril
    Aril
  • Adhi
    Adhi
    • Yudi
      Yudi
    • Yudi
      Yudi
  • Pratqma
    Pratqma
  • Saga
    Saga
  • Soewarno
    Soewarno
  • sandra
    sandra
  • Yusuf Ridho
    Yusuf Ridho
    • Yoga Suganda
      Yoga Suganda
    • John
      John
  • Ayuwa
    Ayuwa
  • Djatmiko
    Djatmiko
  • luQi
    luQi
  • Teguh Gw
    Teguh Gw
  • sri dewi
    sri dewi
  • Denik
    Denik
  • Dss
    Dss
  • Eka
    Eka
  • Iqbal
    Iqbal
  • Menses
    Menses
    • Menses..sesss..
      Menses..sesss..
    • Guy
      Guy
  • Warnohidajat
    Warnohidajat
    • ngurah
      ngurah
    • Bajay
      Bajay
  • Djalu
    Djalu
  • @GENkoplo
    @GENkoplo
    • Guy
      Guy
  • Pam
    Pam
  • Ahmad
    Ahmad
  • Nurkolis
    Nurkolis
  • Ahmad Karni
    Ahmad Karni
  • Vian
    Vian
  • Bam'shary
    Bam'shary
  • Mujiburohman A. Abas
    Mujiburohman A. Abas
  • dahlan untuk 2024
    dahlan untuk 2024
    • Guy
      Guy
  • Warga Negara
    Warga Negara
    • lbs
      lbs
    • Pembaca Setia
      Pembaca Setia
  • Qomaruddin
    Qomaruddin
  • Pertamax Turbo
    Pertamax Turbo
    • Guy
      Guy
  • Sil
    Sil
  • Massudin
    Massudin
  • Happy Equestrian
    Happy Equestrian
  • Denik
    Denik
  • djoke
    djoke
    • Deroi
      Deroi
  • anto hoed
    anto hoed
    • sri dewi
      sri dewi
  • Gianto Kwee
    Gianto Kwee
  • Iqbal
    Iqbal
  • Parjo
    Parjo
    • Rully
      Rully
  • Rahmad Burhanudin
    Rahmad Burhanudin
    • lbs
      lbs
  • wiriyadhika
    wiriyadhika
  • Hendy
    Hendy
  • mulyadi
    mulyadi
    • Jati Tirto
      Jati Tirto
    • sri dewi
      sri dewi
  • Wandi
    Wandi
    • Pursid
      Pursid
  • I WAN
    I WAN
  • Bensin Eceran
    Bensin Eceran
    • SPBU PERTAMINA
      SPBU PERTAMINA
  • Hafid f
    Hafid f
  • maspri.id
    maspri.id
  • Hakim
    Hakim
  • Sandra Muliansyah
    Sandra Muliansyah
  • amy
    amy
  • Layworu
    Layworu
    • maspri.id
      maspri.id
    • Bajay
      Bajay
  • Ali
    Ali
    • congormu.njeplak
      congormu.njeplak
  • Roro
    Roro
  • Purba
    Purba
    • Purba
      Purba
  • Joko Subianto
    Joko Subianto
  • Istiqom Masykurie
    Istiqom Masykurie
  • Cak rinem
    Cak rinem
    • Cak rinem
      Cak rinem
  • edhi
    edhi
    • Siti Parliah
      Siti Parliah
  • Fais
    Fais
  • Bono
    Bono
  • lbs
    lbs
    • Panggiring
      Panggiring
  • Heri
    Heri
  • Denik
    Denik
  • P Bro
    P Bro
  • Hariyanto
    Hariyanto
  • Eka Sophia
    Eka Sophia
    • Eka Sophia
      Eka Sophia
    • Parto
      Parto
    • sri dewi
      sri dewi
  • Agus Agus
    Agus Agus
  • Denik
    Denik
    • Parto
      Parto
    • Parto
      Parto
    • Panjul
      Panjul
    • Denik
      Denik
    • sri dewi
      sri dewi