Aliran Lobster

Aliran Lobster

SECARA emosional debat benur lobster pasti dimenangkan oleh pihak yang melarang ekspor. Sering kali yang rasional kalah dengan yang emosional. Apalagi kalau yang emosional itu didukung pula alasan yang rasional. Maka jelas: larangan ekspor benur pasti menang setidaknya 2:1 dari yang pro ekspor. Mungkin bahkan 3:1.

Tentu soal ekspor benur itu bukan harus menang-menangan. Bila Anda setuju ekspor benur  Anda punya banyak alasan. Mulai dari membela nelayan tangkap benur sampai membela negara yang-harus menggalakkan ekspor. Anda juga bisa beralasan agar penyelundup hilang dengan sendirinya tanpa harus diberantas.

Bila setuju dilarang ekspor, Anda tinggal ikut Bu Susi. Agar benur besar sendiri di dalam negeri. Secara alami. Tanpa biaya pemeliharaan. Tangkaplah benur itu ketika sudah jadi lobster. Ketika umurnya sekitar 8 bulan. Yang beratnya antara 250 gram sampai 0,5 Kg. Yang harganya sudah berjut-jut.

Pemerintah sering berada dalam persimpangan pendapat seperti itu. Dua-duanya punya alasan yang kelihatan sama-sama kuat. Di atas kertas. Maka di situlah perlunya menang Pemilu. Agar bisa memilih jalan yang mana. Suka-suka yang menang Pemilu. Yang mestinya disesuaikan dengan ''ideologi pembangunan ekonomi'' si pemenang Pemilu.

Dalam hal benur ini pemenang Pemilunya masih sama. Tapi kebijakannya begitu bertolak belakang. Saya cenderung tidak memilih mana yang benar. Silakan saja. Saya biasa melihat dalam hal ''strategi ekonomi'' yang benar itu tidak hanya satu. Bahkan tidak hanya dua.

Sering sekali terjadi: kesungguhan mengerjakannya lebih menentukan daripada kebenaran konsepnya ­–apalagi kalau konsep itu belum tentu benar. Tentu publik melihat dengan jelas bahwa Bu Susi adalah orang yang sungguh-sungguh. Sampai beliau menyelesaikan jabatannyi –sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan– tidak sedikit pun terlihat ada lobster di balik batu.

Ada dua data ''ilmiah'' yang sering dipakai menyerang Bu Susi: jumlah benur di laut Indonesia dan apakah lobster bisa dibudidaya di dalam negeri. Bu Susi memang sering mengatakan benur lobster terancam punah kalau ekspor dibebaskan.

Sedang pihak penyerang sering mengemukakan data dari KKP sendiri bahwa jumlah benur kita itu masih 850 miliar –jauh dari langka. Saya tidak berhasil mendapat kejelasan. Apakah angka itu justru sebagai hasil larangan Bu Susi selama 5 tahun, atau memang sejak dulu segitu.

Saya sendiri cenderung menerjemahkan yang nadanya memihak Bu Susi. Ketika beliau mengatakan kelak benur bisa langka, tentu maksudnyi bukan langka seperti harimau Jawa. Jadi, mempersoalkan kata ''langka'' dari Bu Susi tidak sama dengan membicarakan langkanya badak bercula dua.

Yang saya juga tidak dapat penjelasan adalah: apakah kebijakan larangan ekspor dari Bu Susi itu sifatnya permanen atau sementara. Misalkan Bu Susi lah yang diangkat lagi menjadi Menteri KP: apakah beliau tetap melarang ekspor? Atau akan membuka ekspor –dengan asumsi populasi benur sudah kembali banyak?

Saya memang terus berkomunikasi dengan Bu Susi. Tapi begitu saya ingin bertanya soal lobster beliau tidak merespons. Saya pun berbicara dengan ''orang dalam'' perikanan yang tidak ikut politik. Ia punya pikiran sendiri.

Menurutnya Bu Susi melarang ekspor benur itu sudah benar. Yang kurang adalah mengapa beliau tidak mendorong pengembangan budidaya di dalam negeri. Bu Susi, menurut tafsirnya, punya aliran pemikiran ini: biarlah benur itu besar sendiri di laut bebas. Nelayan bisa menangkapnya setelah menjadi lobster.

Bu Susi berhasil. Indonesia menjadi pengekspor lobster nomor 1 di Asia Tenggara. Sejak 2017. Meski nilai ekspor tahun 2018 baru sebesar USD 28,7 juta. Hampir Rp 0,5 triliun. Memang masih kalah dengan nilai ''ekspor'' benur yang mencapai Rp 1 triliun.

Di masa Bu Susi. pun nelayan masih tetap saja menangkap benur. Sembunyi-sembunyi. Itu karena memang ada yang membeli. Untuk diselundupkan ke Vietnam –lewat Singapura.

Di tahun terakhir masa jabatan Bu Susi tekad memberantas selundupan itu ditingkatkan. Koordinasinya dengan TNI-AL mencapai puncak semangat-semangatnya. KSAL baru yang sekarang ini adalah ketua tim pemberantasan penyelundupan benur waktu itu.

Beberapa pelaku sudah ditangkap. Diadili. Dijatuhi hukuman –ringan sekali. Itu lantaran yang tertangkap hanyalah operator di laut. Bu Susi masih terus ingin meningkatkan pemberantasan itu. Tapi masa jabatannya berakhir.

Bagi yang pro nelayan tangkap benur, kebijakan Bu Susi itu dianggap tidak memahami kesulitan ekonomi rakyat di bawah. Yang mereka itu tidak bisa menunggu lobster menjadi besar. Mereka tidak bisa menunda makan –selama delapan bulan.

Kalau saja waktu itu Bu Susi mendorong budi daya di dalam negeri maka persoalan perut nelayan terakomodasi. Para penangkap benur –yang biasa jualan ke penyelundup­– bisa jualan ke perusahaan budidaya di dalam negeri.

Memang ada perdebatan ilmiah di internal perikanan saat itu. Hanya debat angka. Bukan debatnya para ilmuwan murni. Itu sebatas debat ilmiah para birokrat. Waktu itu ada satu aliran pemikiran bahwa benur lobster itu tidak bisa dibesarkan di ''kolam'' budidaya. Kalau dipaksakan, di umur 70 hari benur itu akan mati.

Aliran ini mendasarkan diri dari hasil uji coba di pusat penelitian kementerian perikanan sendiri. Tentu aliran pemikiran itu menemukan kelemahannya sekarang ini. Yakni ketika terbukti Vietnam mampu membudidayakannya. Asal mendapat benur dari Indonesia –dengan cara apa pun.

Mungkin dasar pemikiran itu yang dianut pengganti Bu Susi. Ekspor benur dibolehkan. Tapi eksporternya harus memenuhi syarat: salah satunya, punya binaan nelayan budidaya lobster di dalam negeri. Ini mirip dengan kebijakan di bawang putih. Boleh impor bawang putih. Tapi importernya harus punya binaan petani bawang.

Begitu pula impor gula rafinasi. Yang importernya harus punya kebun tebu binaan. Kebijakan seperti itu, untuk bawang dan gula, sudah berlangsung beberapa tahun.

Sudah waktunya perguruan tinggi melakukan penelitian: apakah tujuan peraturan itu tercapai. Atau hanya pura-pura: sebatas agar ada alasan untuk membuka impor. Impor bawang dan gula pasti lebih menggiurkan daripada berpeluh mencangkul tanah. Demikian juga ekspor benur. Pasti lebih menggiurkan daripada budidaya. Maka terserah saja yang punya kuasa.(Dahlan Iskan)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber:

Komentar: 150

  • Ari W
    Ari W
  • Kurniawan Subhekti
    Kurniawan Subhekti
  • Macca Madinah
    Macca Madinah
  • asal komen
    asal komen
  • Petanindonesia
    Petanindonesia
  • Liam
    Liam
    • asal komen
      asal komen
  • Duniaqtoy
    Duniaqtoy
    • Cah angon
      Cah angon
    • Ripcord
      Ripcord
    • asal komen
      asal komen
    • Macca Madinah
      Macca Madinah
  • Berangbumi
    Berangbumi
  • Nnnn
    Nnnn
    • Nnnn
      Nnnn
    • Totsen
      Totsen
  • Nnnn
    Nnnn
    • Nnnn
      Nnnn
  • Panda
    Panda
  • Soemarno
    Soemarno
    • Buzzer
      Buzzer
    • Buzzer Hunter
      Buzzer Hunter
  • Bam'shary
    Bam'shary
    • Singgih
      Singgih
  • Sergio
    Sergio
  • ayeaye
    ayeaye
    • Nnnn
      Nnnn
  • Pribadi
    Pribadi
    • Akangckp
      Akangckp
  • Hehehehhe
    Hehehehhe
    • Nnnn
      Nnnn
    • Liam
      Liam
    • Liam
      Liam
  • 2centsfromkalbar
    2centsfromkalbar
  • Rudianto
    Rudianto
    • bejo
      bejo
  • Bajul
    Bajul
    • Liam
      Liam
    • asal komen
      asal komen
    • bejo
      bejo
  • dpt
    dpt
  • Terang Sekali
    Terang Sekali
    • Samingun
      Samingun
  • JK
    JK
  • Paijo
    Paijo
    • asal komen
      asal komen
  • Isa
    Isa
  • tukangngarit
    tukangngarit
  • Sonhadji S
    Sonhadji S
    • Parto
      Parto
  • Zaki m
    Zaki m
  • Jaeger
    Jaeger
    • Supo
      Supo
    • Nikimito
      Nikimito
  • LObster gak cocok buat jantung
    LObster gak cocok buat jantung
  • susanto
    susanto
    • Santoso
      Santoso
    • susanto
      susanto
    • sutanto
      sutanto
  • Denik
    Denik
    • Dono
      Dono
    • Pembaca
      Pembaca
    • Fira
      Fira
    • donwori
      donwori
  • Iman
    Iman
  • Kunto
    Kunto
  • toyfo
    toyfo
    • Timo
      Timo
    • Topman
      Topman
    • Whatever
      Whatever
  • Hariyanto
    Hariyanto
    • Whatever
      Whatever
    • kayaknya
      kayaknya
  • Nurkolis
    Nurkolis
    • Edy
      Edy
    • asal komen
      asal komen
  • Benur dan Bansos
    Benur dan Bansos
  • Tri
    Tri
  • Denik
    Denik
  • Suharno
    Suharno
  • Bing
    Bing
  • Arief
    Arief
  • Jupri
    Jupri
  • Tukimen
    Tukimen
  • jurang grawah
    jurang grawah
  • Incredubleman
    Incredubleman
  • Dwiyana
    Dwiyana
  • Heru
    Heru
  • Joko sp
    Joko sp
    • Joyo
      Joyo
  • Wanakala
    Wanakala
  • Thamrin Dahlan
    Thamrin Dahlan
  • Reno
    Reno
    • werkudoro
      werkudoro
    • Lui Hiu
      Lui Hiu
    • Sapu Sapu
      Sapu Sapu
  • Aziz
    Aziz
    • donwori
      donwori
  • Hero7
    Hero7
  • Widodo_i
    Widodo_i
    • Eko
      Eko
    • Kik kuk
      Kik kuk
  • Rio
    Rio
  • fajar kh
    fajar kh
  • Kristanto
    Kristanto
    • Paijo
      Paijo
    • Otole
      Otole
  • Mikhailo
    Mikhailo
    • Robert
      Robert
    • Wali Paidi
      Wali Paidi