Revolusi Energi (3)
SAYA tidak malu mengajukan ini. Yang kelihatannya tidak mengikuti tren dunia. Ini semata-mata demi negeri –yang harus kita sendiri memikirkannya.
Mungkin ini dibenci dunia mana pun. Tapi mereka tidak akan memikirkan Indonesia seperti kita harus memikirkannya.
Yakni: gunakan sisa batu bara untuk semaksimal mungkin memajukan ekonomi negara.
Cadangan batu bara kita tidak banyak lagi. Sudah hampir habis dieksploitasi. Sudah berhasil memperkaya sejumlah pengusaha –dan sejumlah penguasa– tapi belum berhasil secara nyata memajukan negara.
Padahal batu bara itu pemberian Tuhan untuk kita. Kenapa. Kenapa. Kenapa tidak untuk kita.
Kini tinggal sisanya. Sisa batu bara itu –yang berbeda dengan minyak bumi tidak sulit mengeksploitasi– mungkin tinggal bisa dipakai 15 tahun lagi. Jangan hitung cadangan yang kalorinya hanya 3.500. Atau yang kadar airnya terlalu tinggi.
1. Larang total ekspor batu bara. Caranya bisa lewat apa pun yang tidak dilarang WTO. Misalnya lewat pajak ekspor yang tinggi. Atau apa pun.
2. Tentukan model harga batu bara yang baru. Untuk keperluan dalam negeri. Dasarkan harga itu pada prinsip cost-plus. Yakni biaya eksploitasi ditambah jasa 15 persen.
3. Kalau perlu ambil alih semua pembangkit swasta.
Dengan cara itu kita bisa semaksimal mungkin memanfaatkan batu bara. Untuk membuat listrik murah.
Produksi listrik juga akan melimpah. Itu karena pembangkit listrik tenaga batu bara kita sudah dominan.
Kalau perlu izinkan PLN membangun pembangkit listrik yang sangat murah. Yang lebih kecil-kecil. Untuk luar Jawa. Dengan memanfaatkan penutupan pembangkit-pembangkit kecil di Tiongkok.
Memang kita akan terlihat seperti ''menentang arus'' global. Tapi jangan cepat grogi. Langkah ''menentang arus'' itu hanya akan kita lakukan 20 tahun saja. Sambil menunggu era baterai hebat nan murah.
Sementara ''menentang arus'' itu kita membangun industri solar panel modern besar-besaran. Juga pabrik baterainya.
Pada saatnya kita akan membalikkan opini dunia: Indonesia go green melebihi negara mana pun. Tapi kita sudah lebih dulu telanjur maju.
Kita hanya perlu mundur sedikit –untuk ancang-ancang melompat ke depan nan jauh.
Kita memang sengaja melawan kecenderungan global. Untuk sementara. Hanya sementara. Untuk apa ikut global kalau kita sendiri jadi korban global itu.
Apalagi limbah batu bara sudah dikoreksi –oleh UU Cipta Kerja. Atau turunannya. Aturan baru itu: limbah batu bara bukan lagi B3.
Kita memang akan dikecam dunia. Tapi kita lawan dengan gagah. Seperti Tiongkok tidak peduli apa kata dunia. Kini justru dunia yang mengagumi Tiongkok.
Bukankah kenyataannya kita telah lama menyediakan paru-paru dunia?
Sudah saatnya kita punya neraca lingkungan sendiri. Berapa kita memproduksi oksigen selama ini. Berapa pula kita memproduksi CO2.
Tentu kita tidak akan ngawur. Penggunaan batu bara itu harus ketat. Harus memenuhi syarat lingkungan semaksimal mungkin.
Ketika harga listrik sudah murah kita galakkan industri. Industri apa saja. Kita raih kembali tahap kita sebagai negara industri.
Tanpa menjadi negara industri SDM kita tidak akan terseret cepat ke atas.
Industri yang juga harus kita rangsang adalah ini: kompor listrik untuk rumah tangga.
Dulu rumah tangga kita memakai kayu untuk masak. Merusak lingkungan. Lalu pindah ke kompor minyak tanah: merusak lingkungan –sekaligus merusak APBN.
Kita lantas berhasil mengalihkannya lagi ke elpiji dan gas. Merusak segala-galanya. Gas kita tidak cukup lagi. Elpiji kita begitu juga. Subsidi elpiji tidak terbayangkan menjadi momok baru.
Belum lagi logistiknya. Sangat tidak modern. Semua rumah punya dapur. Semua dapur perlu elpiji. Se-Indonesia! Lihatlah keruwetan logistiknya.
Padahal semua rumah sudah ada listriknya! Betapa lucunya! Kok masih pakai elpiji.
Apa yang salah? Apakah Amerika yang salah –dapur rumah tangga mereka menggunakan energi listrik?
Kita benahi. Sejak batu bara sampai dapur rumah tangga.(Dahlan Iskan)
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber:
Komentar: 230
Silahkan login untuk berkomentar
Masuk dengan Google