Plataran Lasso
SAYA kesasar ke Plataran PIK Jumat sore kemarin. Alasan resminya: melihat pameran sepeda. Alasan sebenarnya: nebeng mobil, agar bisa ke Tanjung Priok. Malam itu, saya ada acara di pelabuhan terbesar Indonesia itu.
Berarti saya harus mampir ke Plataran PIK dulu. Pemilik mobil itu, Anda sudah tahu, seseorang yang lagi memamerkan dagangan sepeda Wdnsdy-nya di situ. Tentu saya harus pura-pura melihat pameran itu. Untuk menyenangkan si pemilik mobil.
Tapi bisa jadi ia kecewa: mata saya langsung tertarik ke hal yang lain. Ke pemandangan di lokasi itu: Plataran PIK –ketika menjelang senja tiba.
Begitu banyak manusia di situ. Remaja. Anak-anak. Dan orang tua mereka.
Keramaian itu sama sekali tidak terlihat dari jalan raya. Plataran itu tersembunyi di balik deretan toko dan kafe yang ada di Rukan Beachview. Sepanjang sekitar 1,5 Km.
Ketika mencari tempat parkir di pinggir jalan itu sulitnya bukan main. Penuh. Padahal tempat parkir di jalur lambat itu tersedia di dua sisi. Semuanya terisi. Sepanjang 1,5 Km.
Ternyata kafe di situ menghadap ke dua arah: muka dan belakang. Tanpa harus melanggar prinsip hongsui. Pintu depannya di lantai 1, menghadap jalan raya yang begitu lebar. Pintu belakangnya di lantai 2. Menghadap ke laut.
Itulah laut yang memisahkan pulau buatan dengan daratan Jakarta.
Di antara kafe dan laut itulah terbentang Plataran PIK. Sepanjang 1,5 Km. Melengkung.
Orang bisa duduk-duduk di teras kafe. Sambil melihat laut. Atau melihat orang yang lagi berjalan-jalan di Plataran itu.
Tidak boleh ada mobil atau motor lewat di situ. Ini street walk. Di Tiongkok disebut bu xing jie. Yang selalu tersedia di setiap kota: orang bisa melihat orang.
Jakarta akhirnya punya lokasi seperti itu: manusia bisa bertemu manusia di jalan raya. Saya pernah kecil-kecilan membuatnya di Surabaya: Kya Kya. Tidak berumur panjang. Gagal. Peninggalan Kya Kya itu masih terlihat di Jalan Kembang Jepun.
Plataran PIK berhasil sekali. Pun ketika masih setengah ''telanjang'': lingkungannya belum terbentuk. Belum indah. Pohon-pohonnya terlalu sedikit dan seperti akan mati. Hiasan lampunya masih biasa-biasa saja. Masih jauh dari suasana Nanjing Dong Lu di Shanghai.
Potensi ke arah sana sudah sangat besar.
PIK secara natural juga telah menjadi pusat pesepeda. Track sepedanya sangat disukai orang Jakarta –bahkan mungkin karena itulah satu-satunya.
Selama ini penggemar sepeda di Jakarta mengeluh –di dalam hati– tidak ada kawasan bersepeda yang seimbang dengan besarnya ledakan sepeda di ibu kota.
PIK adalah pilihan satu-satunya: ada tanjakan panjang (jembatan), ada kelokan, ada matahari, dan –ini yang tidak kalah penting– banyak makanan.
Saya terpaksa mewawancarai pemilik mobil itu. Yang setiap ke Jakarta pasti bersepeda di PIK. "Di PIK kita bisa bersepeda dengan loop sepanjang 7 Km tanpa ketemu lampu merah," ujar Si Pemilik Wdnsdy yang pura-pura tidak mau disebutkan namanya.
Loop itu ditutup untuk kendaraan selama dua jam: 06.00 sampai 08.00. Jalannya luas. Aspalnya mulus. Sangat cocok rata. Tikungan di ujungnya berbentuk seperti lasso (lihat denah).
Menjelang lasso itu ada penanda. Pesepeda banyak yang berhenti di penanda itu: berfoto. Anda tidak tahu penanda apa itu –sebelum melihat foto yang disertakan di artikel ini.
Rupanya pulau buatan ini berada di atas laut dua provinsi: Jakarta dan Banten. Jembatan yang jadi tanjakan panjang itulah penghubung antara pulau yang di laut Jakarta dengan daratan Jawa yang ada di provinsi Banten.
Anda sudah tahu: Surabaya memang tidak punya trek sepeda. Tapi Surabaya memiliki ''luar kota''. Yang jaraknya hanya sepelemparan batu. Sedang di Jakarta, sudah bersepeda sejauh 30 Km pun masih saja di Jakarta.
Di Jakarta pesepeda sudah punya treknya sendiri. Pejalan kaki punya jalurnya sendiri. Pejalan-jalan punya Plataran PIK. Pulau buatan ini (pulau besar dan pulau kecil) telah menemukan karakternya sendiri. Yang ternyata bisa memperkaya Jakarta yang sudah kaya.
Ketika dibangun pulau itu menimbulkan kehebohan –di perizinannya.
Syukurlah setelah jadi pulau itu ternyata juga bisa menghasilkan kehebohan –pemanfaatannya.(Dahlan Iskan)
---
Komentar Pilihan Dahlan Iskan: Pendaki Gerung
Vevek
orang gila bisa gila karena kehilangan akal, tetapi ada juga orang gila yang dibuat gila oleh argogansi akalnya sendiri
charik
abah....ini sdh bulan oktober.... bulan bahasa ....ngak ada lagi kah ... event bulan bahasa ....
harno suharno
Saya pasti menolak tiap kali ada kawan ajak naik gunung. Bagi saya yg memang lahir di kampung yg posisinya diatas gunung, melihat orang naik gunung itu cukup aneh. Kok ada orang yg main2 ke atas gunung. Kami orang gunung tiap hari naik gunung, demi menopang hidup. Cari rumput atau ranting pohon kering. Kami naik gunung selalu memikul beban berat tanpa bantuan pengaman.
Kliwon
Salah satu ucapan RG yang paling legend adalah, "Salah pilih adalah sial. Mengulang kembali pilihan yang salah adalah dungu. Udah sial, dungu pula." Mendengar itu aku hanya membatin. RG enteng aja bilang gitu mungkin belum pernah merasakan jatuh cinta. Sebuah rasa yang mampu merontokkan kecerdasan & melumpuhkan logika. Bahkan gelar dari kuliah bertahun² pun menjadi sia². --Dungu mendadak karena cinta--
Ki Mertani
Sok hok gie meninggal di Danau Ranuyoso. Mungkin ma?sudnya danau Ranukumbolo, Semeru. Atau Ranu pani dan Ranu regulo yang ada di kaki Semeru. Karena Ranuyoso nama kecamatan, yang ada danau Ranubedali di timurnya ada Danau Ranu pakis, Ranu klakah, Ranuwurung atasnya lagi Ranu Lading n Ranu kembar.
Syamsuriadi
"Tingkat keseriusan sebuah keinginan itu akan tercermin pada kegigihan usahanya. Hehehe...tentu disini tidak penting gigih putih atau gigih hitam, gigih bersih atau gigih kotor Abah, yang penting bisa menggigit.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber:
Komentar: 210
Silahkan login untuk berkomentar
Masuk dengan Google