Disway Pilihan

Disway Pilihan

DISWAY edisi tanggal berapa kah yang terbaik selama tahun 2021?

Awalnya saya tidak peduli. Kalau saja tidak ada yang mengirimkan ''Disway pilihannya'' kepada saya kemarin.

Yang jelas, edisi terpendek tentang KPK yang dikecam begitu banyak pembaca itu, tidak akan pernah saya anggap sebagai yang terjelek.

Saya menyukai ide itu. Yang datang dari pembaca Disway yang dikirim ke kolom komentar. Kelas ide itu layak untuk sebuah artikel independen yang berbobot.

Tapi kalau pun ide itu menjadi sebuah artikel panjang, sebenarnya intinya ya seperti yang ditulis pendek di komentar itu. Saya setuju: untuk apa dipanjang-panjangkan kalau bisa dibuat pendek. Prinsip itu memang agak bertentangan dengan pemikiran serius ala orang seperti Anak Alay: untuk apa dibiarkan pendek kalau bisa dibuat panjang.

Memang ada juga komentar atas komentar itu. Yang isinya juga bagus: tambahkan ke dalam tugas baru KPK itu satu institusi non penegak hukum. Yakni BPK.

Komentar atas komentar itu begitu pendek. Tapi sangat substantif. Tidak terjebak hanya pada ''penegak hukum''. Komentar atas komentar itu pasti datang dari tipe pembaca yang selalu kritis.

Ups... Membahas apa sih itu?

Maafkan, itu karena saya lagi lupa satu prinsip dalam jurnalisme: anggaplah pembaca hari ini adalah pembaca baru, yang belum pernah membaca tulisan-tulisan sebelumnya.

Beginilah duduk perkaranya: hari itu ada tulisan di komentar Disway. Isinya: sebaiknya KPK jangan dibubarkan, tapi dikhususkan untuk memberantas korupsi di lingkungan penegak hukum saja.

Saya memilih komentar itu sebagai bahan tulisan di Disway hari berikutnya. Saya rambahi hasil wawancara –sekadarnya. Saya lagi sangat sibuk hari itu. Saya hanya bisa mewawancarai sumber yang mudah dihubungi. Salah satunya: mantan Ketua KPK Abraham Samad.

Pertimbangan pertama: saya punya nomor teleponnya. Kedua: jawaban-jawaban Abraham biasanya "quotable". Ketiga: selama menjadi ketua KPK ia banyak menyasar penegak hukum.

Parahnya, pertimbangan ''punya nomor teleponnya'' seperti itu justru sering menentukan dalam kerja jurnalis. Yang seperti itu tidak adil. Juga tidak objektif. Itu bagian dari ''dosa.... ''  jurnalisme  —saya kok lupa kata yang dipakai Prof Pry untuk menggantikan istilah ''dosa turunan'' di salah satu  komentarnya pekan lalu.

Mengapa ''kerja gampang'' untuk menghasilkan tulisan pendek seperti itu tidak saya anggap sebagai yang terjelek?

Jawab: karena di tulisan itu ada mission besar di dalamnya –untuk perbaikan negara.

Bekerja itu harus membawa misi –sekecil apa pun? Tulisan pendek itu membawa misi besar. Untuk apa menulis panjaaaaang tanpa misi. Misalnya tulisan panjang tentang ''orang tua yang sibuk dengan kuda mereka masing-masing'' di edisi kemarin. Untuk apa? Sama sekali tidak ada gunanya bagi perbaikan negara kita. Padahal untuk menyiapkan tulisan itu memakan waktu dan energi 10 kali lipat dari menulis soal KPK.

Toh saya menuliskannya. Dengan asyik pula. Sialan! Amitohu, Puji Tuhan, Alhamdulillah. Rahayu...

Hal seperti itu harus pernah terjadi. Sesekali.

Saya, duluuu, memang sering mendoktrinkan ini: redaktur harus punya ''kepribadian'' ganda. Di satu sisi redaktur harus jadi produsen yang sangat baik. Di sisi lain harus bisa jadi ''konsumen yang rewel''. Jangan hanya jadi produsen yang tidak mau tahu kebutuhan pembaca.

Anda sudah tahu: birahi wartawan umumnya di bidang politik. Tapi konsumen politik itu kecil. Paling-paling hanya Aryo Mbediun dkk.

Maka setiap pukul 00.00, saya sempatkan melihat hasil kerja redaktur halaman depan. Saya ingin lihat: ada berapa berita di calon halaman depan itu; berita tentang apa saja; apa yang dijadikan berita utama.

Tidak jarang saya lantas bertanya ke sang redaktur: kalau beritanya serius semua seperti ini, besok ibu-ibu akan baca yang mana? Betapa kecewa ibu-ibu ketika besok pagi membuka koran kita?

Juga: para pejabat dan pegawai negeri besok akan membaca yang mana? Kok politik semua?

"Rombak!" kata saya.

Kadang tidak ada bahan untuk merombak. Sudah pukul 00.00 pula. Tidak mau tahu. Harus diusahakan. Sesulit apa pun.

Perasaan saya, waktu itu, wanita tidak menyukai politik. Mungkin karena belum ada kuota perempuan untuk menjadi caleg DPR.

Maka, maafkan, kalau sampai pun di Disway masih ada tulisan tentang ''kepala burung di toples''. Yang menurut Robba Batang sama sekali tidak penting. Saya minta maaf. Anggap saja saya lagi kumat dan belum punya obat.

Dan saya masih akan sering kumat di masa yang akan datang.

Begitulah. Di edisi akhir tahun 2021 ini saya masih bisa memilih mana komentar ''terpilih''. Tapi saya tidak bisa memilih ''Disway terpilih'' tahun 2021. Maka tolonglah. Help. Untuk edisi penutup tahun 2021 besok pagi, akan lebih bersejarah kalau pembaca yang mencoba menjatuhkan pilihan. Berikut alasannya. Akan dimuat di Disway besok pagi. Asal benar-benar bermutu. Anda bisa mengirim via kolom komentar di bawah artikel ini. Biar saya mudah mencarinya tambahkan "Disway Terpilih" di awal kalimat.

Kalau Anda bingung mencari tulisan Disway versi lama, bisa cari di Google. Ketika kata kunci yang Anda cari. Tambahi dengan site:disway.id. Contoh: “Garuda site:disway.id”. Jika ingin mencari setahun terakhir. Bisa Anda klik lambang tool/alat di bagian kanan. Lalu pilih “setahun terakhir”

Anda bisa menggunakan kreasi sendiri. Atau seperti yang dikirim pembaca Disway berikut ini.

Ia bernama Ali Salim. Lahir di Waingapu, Sumba, tapi berkarir di Surabaya. Ia wartawan senior –yang oleh Mbah Pry disebut wartawan purnabakti. Lebih senior dari saya. Reputasinya juga terjaga.

Berikut ini WA-nya kepada saya kemarin:

***

Kongres Lahan.

Saya memilih judul ini sebagai "the best Disway tahun 2021". Alasan:

1. Karya jurnalisme yang lengkap. Menggambar dua sosok tokoh Jokowi dan Anwar Abbas secara cerdas lewat narasi mereka maupun gestur, sikap dan respons satu dengan yang lain.

2. Memberi kesan yang adil dan bijak tentang Anwar Abbas yang selama ini terkesan seakan-akan anti pemerintah dan pro Islam radikal

3. Ini tulisan khas dan jadi trademark Disway yang menggabungkan antara pernyataan verbal dan gambaran perilaku, latar belakang dan keseharian narasumber.

Mungkin banyak yang lebih bagus tapi yang ini sangat menyentuh, segar, unik, dan berhasil menggambar interaksi antar elite bangsa secara jujur.

 

***

Silakan memilih. Lebih dipuji kalau disertai sejarah hidup singkat Anda.

Besok pun saya tidak akan libur ke mana-mana. (Dahlan Iskan)

Komentar Pilihan Dahlan Iskan di Tulisan Berjudul Gundah Garuda

Sadewa
Kasihan juga anak-anaknya Garuda. Beberapa performance nya bagus, namun karena dosa-dosa ibunya, mereka jadi kebawa-bawa. Ternyata lebih baik jadi anak Singa (Lion) daripada anak Garuda.

Aji Muhammad Yusuf
Kemarin saya bertemu ratusan arwah, saling bergantian. Hingga jumlah nya melebihi 100 juta jiwa kembalian 100 rupiah. Ok, ini cerita karangan sendiri. Jadi ini fiktif. Mereka perempuan-perempuan yang di perkosa cuma untuk sekedar segelas air bersih, kemudian di eksekusi mati oleh kejahatan masa lampau. Pas saya tanya, kalian hidup di zaman apa. Mereka menjawab ; di masa lalu. Lalu saya tanya lagi. Di mana raja kalian pada waktu itu?. Seluruh orang di istana sedang di penjara dengan kabel viber optik, dan raja nya mendapat ancaman setiap 10 detik sekali dari robot dengan vitur AI terbaru.  Sekarang untuk apa menyalahkan spekulan, menyalahkan negara, menuntut pemerintah.  Toh yang naik kan harga sembako. Toh yang punya web ini juga bukan pemerintah lagi. Udah berhenti juga dari Mentri. Sekarang, kenapa nggak usaha di turunin sendiri kalau nggak suka misal. Saat ini Indonesia masih aman aja buat kawin 123456789x. Paling cuma masuk berita kan. Mirip syekh puji.Heran saya. Masyarakat indonesia dari atas sd bawah masalah nya apa lho?. Kalau nggak adu santet gini. Spontan, nyalahin pemerintah.Saya numpang saran sekalian lah. Itu Dirut-dirut BUMN di buang dulu ke pondok tegalrejo. Kalau nggak salah di sana uang kiriman maximum 350 ribu per bulan. Biar langsung tau rasa dulu, banting langsung sebelum kerja. Lokasi nya matap lah di sana.

Surja W.
Sebaiknya tidak pakai nama Pelita. Rawan diplesetkan. Dengan pemenggalan suku kata tertentu jadi saru. " Naik Pelita, Mbak?"

Rifki Athalla
Saya tau komentar ini tidak akan dipilih pak DI.Karena beliau tidak senang dengan komentar seperti ini.Tapi tidak apalah. Dahlan Iskan orang baik. Kecintaan pada negara demikian besar. Tapi hanya bisa ber disway dan berdoa. Kasihan

Er Gham Reader
Saran saya untuk Pelita sebagai pengganti Garuda :  1) Maskapai Pelita bisa ganti nama dan logo yang lebih 'menjual'. 2) Direksinya agar OJT menjadi penjual tiket, pemeriksaan barang dan koper, pengisian bahan bakar, mengatur antrian. Intinya turun ke lapangan supaya mengetahui setiap permasalahan pelayanan. 3) Operasikan hanya 1 jenis pesawat dengan sistem sewa dengan tarif yang murah 4) Berani katakan 'tidak' pada pihak pihak yang akan menjadikan Pelita sebagai 'sapi perah'  5) Gaji karyawan, pilot, pramugari benar benar disesuaikan dengan kondisi perusahaan 6) Jangan lagi memiliki aset property yang tidak perlu. Jika perlu sewa saja atau menumpang di kantor pertamina. 7) Harga tiket harus bersaing dengan maskapai lainnya.  8) Tidak perlu memiliki anak perusahaan, seperti yang memasok makanan, mengurus hotel dll.

Ikawidjaja
Abah baper. Judul yang tepat. Seleksi alam bisnis berlalu. Biarkan Garuda menjadi nama pain Garudi atau Garugi Airlines. Kebanggaan Kita selama ini kebanggaan ilusi terhadap Garuda. Forward looking, do not look back. Ganti flag national carrier baru dengan fondasi GCG korporasi kelas dunia. Bukan lagi juara kelas Ekonomi tapi juara GCG world airline company. Tinggalkan budaya "cengeng". Bravo.

Alex
Di dalam benak pramugari Garuda.Saat melayani Abah...... "Saya penggemar Disway dan para komentatornya ..Titip salam buat Mbah Mars ya bah.Dari MMFC (Mbah Mars Fans Club)" Lain lagi sang pilotnya.... "Bah salam ke ummi hilal.Bilang kalo ngomong jangan ketinggian.Samplok pesawat kapok" wkwkkwk..,...

Edi Siswanto
konon,. seorang anak bisa naik pesawat sampai 70 x lebih dalam sebulan. itu naik pesawat apa gojek ?.... saking sibuknya. ... lha Bapaknya juga mengaku penggemar pesawat. nyaris gak pernah klesettan Nang omah. membuat maskapai makin ramai dan laris. tentu ramai dan larisnya bukan karena mereka. lalu kalo sekarang maskapainya bangkrut, karena yg sering naik pesawat gak pernah pergi jauh atau yg biasa pergi sekarang lebih nyaman jalan darat karena gak mau ribet dengan swab antigen, pcr dll. jadi yang punya andil kebangkrutankan sudah jelas. yang bikin kebijakan..... saat sebelum covid,.. Garuda ramai sekali,.. ya tetep merugi. aku kok sampai bingung mau nulis opo. intine aku Iki ngomel tapi gak jelas sing Kate tak omeli sopo. bingung thoo ?

Parto Kotang
saat saya transit di Makassar, saya lihat 20 pesawat terparkir. 17 lion group, 3 pesawat adalah citilink. Ga ada Garuda yang ada disitu. Bahkan Super jet yang juga lion group juga terlihat di Bandara Soekarno-Hatta.

Buzzer NKRI .
Dari namanya "Pelit tha?" pasti bakal lebih sukses dari garuda karena kepelitannya.

cumibuta
ga semua posisi puncak diduduki org hebat,  ga semua org hebat diijinkan menduduki posisi puncak. definisi hebat pun macem macem. hebat krn kemampuan, hebat krn karakter/integritas, syukur kalau hebat krn kemampuan DAN integritas. yang repot kalo ga punya kemampuan DAN integritas tapi jago akting. kacaulah semuanya. tapi kalau berakting udah sampai puncak, itu mesti tanya pasangan masing masing. salam sehat selalu dan salam sukses akhir taon, semoga semua mencapai puncak yg diinginkan.

Aji Muhammad Yusuf
Sabar-sabar yang suka balapan pagi-pagi. Komentar di Disway bukan hal wajib, jadi jangan buat aturan Fikih baru. Kasian nanti umat nya tretan muslim kalau di tambah kewajiban lagi. Tapi nahkan bener. Mending bisnis Sepak Bola. Tiap minggu bisa nonton Sepak Bola. Jadi jangan mau jadi mentri BUMN. Ujung nya cuma lihat angka-angka. 

Parikesit
Kata-kata Pilihan Parikesit di Tulisan berjudul "Gundah Garuda" :  - Membolak- balik kalbu. - Kami pun balik kucing. - untuk kehormatan Garuda. - Menguasai sanubari. - parkir sendirian, di appron. - senja sudah lebih gelap.

Selamat, Bli Leong Putu.  Angka tiga telah diraih, medali virtualnya silahkan diambil.  Dimana ngambilnya? Anda lebih tahu. Hehehe

ah.id hidayat
Salam Pak Udin. Inilah enaknya jika demokrasi dilaksanakan sebenar-benarnya dengan pertamaxial treshold 0%.

 

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Komentar: 365