Ritual Adat Labuh Sesaji, Kearifan Lokal Kawah Gunung Bromo yang Menyimpan Makna Luhur

Ritual Adat Labuh Sesaji, Kearifan Lokal Kawah Gunung Bromo yang Menyimpan Makna Luhur

Upacara Yadnya Kasada yang dilaksanakan warga Suku Tengger di kawasan Gunung Bromo, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur pada 15-16 Juni 2022.-Twitter/@PrakasaHadi-Disway.id

Setiap mengais rezeki dari profesi Marit itu, sedikitnya Rp 1 juta berhasil dikumpulkan selama dua hari dan belum lagi hasil dari sesaji lainnya yang berupa hasil ternak seperti ayam, kambing serta hasil bumi, sehingga totalnya sekitar Rp 2 juta bisa diperoleh.

Ia mengatakan sebagian hasilnya bisa untuk menambah penghasilan keluarga dan sebagian lagi bisa untuk tambahan modal untuk menanami ladangnya.

Ternyata para Marit itu tidak hanya ada di sekitar kawah Gunung Bromo saja, tetapi mereka juga terlihat mengais rezeki Yadnya Kasada pada pelataran Astana yang lokasinya berada tepat sebelum anak tangga menuju kawah Gunung Bromo.

Salah seorang Marit dari Desa Argosari, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Satuli mengatakan selain labuh sesajen di kawah Bromo, warga Suku Tengger juga menyuguhkan sesaji di Astana sakral itu dan banyak di antara mereka yang juga menyedekahkan uang di sana, sehingga para Marit berburu rezeki di sana.

Seperti pada umumnya para kaum Marit, Satuli dan keponakannya Tuwi (20) juga telah berada di Astana tersebut sejak Hari Rabu 15 Juni 2022 tepatnya sehari sebelum pelaksanaan puncak perayaan Yadnya Kasada untuk mengais rezeki.

Kearifan lokal 


--

Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Probolinggo Bambang Suprapto mengatakan keberadaan kaum Marit memang sangat lekat dengan Yadnya Kasada masyarakat Tengger di Gunung Bromo.

“Marit sudah ada seiring dengan adanya ritual Yadnya Kasada karena masyarakat Tengger secara turun temurun juga meyakini setiap sesaji yang sudah dilabuh itu juga memiliki berkah tersendiri, terlebih lagi yang berupa hasil bumi,” tuturnya.

Banyak yang percaya jika hasil dari Marit itu ditanam kembali di ladang bersama dengan tanaman lainnya, maka hasil panennya akan lebih baik dari tahun sebelumnya.

Hal tersebut diyakini warga Tengger karena keberkahan dari japa mantra yang sebelumnya dibacakan oleh para Rama dukun sebelum sesaji di labuh di kawah Gunung Bromo, dimana salah satu pengharapannya adalah kesuburan bumi.

Merujuk kepada hal tersebut Bambang menjelaskan bahwa Marit sejatinya bukan untuk mencari keuntungan dengan cara mengumpulkan labuh saji sebanyak-banyaknya, jadi sebenarnya itu bukan untuk dimakan atau dijual, tetapi lebih untuk dikembangkan lagi.

Ia mengimbau kepada para Marit agar senantiasa menjaga etika sebagai Marit karena seharusnya labuh sesaji itu baru boleh diambil ketika sudah menyentuh tanah, tidak direbut dan dipaksanakan, apalagi sampai harus membuat alat berupa jaring tangkap dan sebagainya.

 

Bambang mengatakan sebenarnya hal itu sudah sering disampaikan dan informasikan, namun namanya manusia, ada saja yang kurang menghiraukan imbauan itu dan pihaknya berharap semoga keberadaan Marit ini menjadi penanda berkahnya perayaan Yadnya Kasada.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: antaranews.com