Siapa Membunuh Putri (17) - Teror di Radio
Ilustrasi polisi-Pixabay -Pixabay.com
KOPERASI pesantren Alhidayah berkembang menjadi unit usaha yang menguntungkan. Atas keberhasilan itu, Inayah dipercaya oleh Ustad Samsu untuk mengelola urusan yang lebih besar tanggung-jawabnya: keuangan pesantren. Sementara itu dia tetap mengajar, tetap Ustadzah bagi ratusan santri yang tinggal menetap juga yang hanya bersekolah di sana. Ustad Samsu menceritakan itu kepadaku dengan bangga dan cemas.
Bangga karena orang-orang muda yang ia rekrut bekerja dengan sangat baik, melampaui harapannya. Itu yang bikin pesantren Alhidayah yang ia bangun dari nol kini berdiri di kawasan yang luas dan bangunan-bangunannya kukuh.
“Yang gagal dan tak membanggakan sepertinya saya ya, Ustad,” kata saya berseloroh.
“Kau justru yang paling membanggakan kami. Kepada anak-anak santri saya selalu bilang, kau itu dulu sama seperti mereka, santri di Alhidayah pusat di Kalimantan saja,” kata Ustad Samsu.
Tapi Ustad Samsu juga cemas. Ia mencemaskan Inayah. Sementara Ustadzah-Ustadzah lain sudah menikah, sebagian besar dengan Ustad-Ustad dan pegawai di Alhidayah juga, Inayah belum. “Banyak yang sudah melamar dia, dia menolak. Saya ini menanggung beban sampai dia menikah, karena orang tua dia menitipkan dia ke saya,” kata Ustad Samsu.
Saya merasa bersalah. Ustad Samsu sejak semula seperti mendekatkan kami, seakan menjodohkan kami. Tapi sejak kami mulai mengenal, ada Suriyana di antara kami. Antara aku dan Inayah tak pernah ada ada-apa, belum sempat ada apa-apa. Dia baik. Dia selalu bersikap baik, bahkan setelah dia bertemu Suriyana. Juga setelah dia tahu tiap akhir pekan Suriyana menyeberang ke Borgam.
Dia selalu menanyakan itu. Tiap hari Senin. Juga ketika ia memintaku untuk membantu anak-anak pesantren sebagai pembina ekstrakurikuler jurnalistik dan penulisan kreatif. Dulu, ekstrakurikuler itu dirancang oleh Ustad Samsu dan sejak semula saya yang dia cadangkan untuk menjadi pembina. Tapi tak ada guru yang bisa menangani langsung, sampai Inayah datang.
Dia sejak kuliah aktif di Komunitas Lingkar Penulis. Sebuah komunitas penulis besar di Indonesia yang digagas oleh seorang penulis produktif dan karyanya dibaca luas.
“Untuk penulisan kreatif serahkan pada saya, tapi saya menyerah untuk jurnalistik. Karena sejak awal Mas Abdur yang diharapkan untuk mengasuh kegiatan ini, maka Mas Abdur tak boleh menolak,” kata Inayah. Saya memang tak punya alasan untuk menolak. Saya mencadangkan waktu pada hari Jumat. Sekalian jumatan di Alhidayah.
Inayah menikmati kesibukannya. Mengurus koperasi, mengajar, mengelola keuangan pesantren, dan membina ekstrakurikuler.
“Itu yang saya cemaskan. Inayah itu mencintai kamu, Dur. Dia terlalu pandai menyembunyikan perasaannya dengan sikap wajarnya itu. Tapi hatinya tertutup untuk laki-laki lain,” kata Ustad Samsu. Hari itu jari Jumat, saya sudah selesai dengan kegiatan membina santri. Saya membuat pelatihan jurnalisme dasar. Bahan-bahan yang kuberikan kusederhanakan dari bahan bengkel jurnalistik di kantor, yang kuajarkan pada wartawan-wartawan baru.
“Mungkin belum ada yang kelasnya melebihi saya, Ustad,” kataku.
“Justu di antara mereka semua, kau paling rendah kualitasnya,” kata Ustad Samsu. Kami tertawa, “Ada yang lulusan Mesir, ada yang sudah S2,” lanjutnya. Saya terus tertawa tapi ada cemas juga di ujung tawa saya itu.
Mungkin Inayah menunggu saya, karena dia menganggap hubungan saya dengan Suriyana pun tak jelas. Saya jadi merenungkan persoalan itu. Sudah beberapa bulan sejak kami, kami masih merasakan kegembiraan yang sama, kegembiraan bertemu lagi setelah sekian tahun. Tapi saya tak berani melangkah lebih jauh dari itu. Saya terlalu cemas jika ternyata Suriyana menganggap hubungan kami hanya sebatas itu. Pembicaraan dengan Ustad Samsu, pertemuan rutin tiap Jumat dengan Inayah, membuat saya berpikir bahwa memang sebaiknya aku memberi kepastian pada Inayah. Saya harus lebih dahulu memastikan hubunganku dengan Suriyana.
Dan itu besok. Sabtu besok. Suriyana mengabari akan datang dengan kejutan. Minggu sebelumnya dia membawakan untuk saya kamera Panasonic, seri awal Lumix. Dia membeli karena tertarik dengan bobotnya yang ringan dan bodinya kecil. Ringkas. Hasil foto dengan setingan otomatisnya pun bagus sekali. Dia menghadiahkan untuk saya, karena katanya, dia jarang sekali bahkan nyaris tak pernah memakainya sejak kamera itu dia beli. Saya tak bisa menolak. Dia memberi dengan amat tulus. Lagi pula saya memang sangat ingin punya dan perlu kamera sendiri.
Terrkait pekerjaan saya dan hobi saya mengambil foto jalanan. Hobi baru yang masih terkait pekerjaan. Tapi bisa terlepas sama sekali dari foto jurnalisme. Pendekatan street photography membuat saya memotret benar-benar dengan cara pandang saya pribadi, bukan sebagai jurnalis yang memotret untuk koran saya, untuk pembaca saya.
Sidang terakhir kasus pembunuhan Putri makin memojokkan AKPB Pintor. Pembela Awang dan Runi menuntut agar dilakukan otopsi ulang atas mayat korban, karena kurangnya bukti yang meyakinkan yang mendukung tuduhan atas tersangka. Ia juga menuntuk agar AKPB Pintor ditetapkan sebagai tersangka, karena indikasi keterlibatannya – bahkan semakin mengarah bahwa dialah otaknya - semakin kuat.
Pengakuan Awang menguatkan permintaan pengacaranya itu. Awang mengaku hanya diminta membuat mayat Putri. AKPB Pintor menjanjikan upah Rp50 juta. Dia sudah menerima Rp5 juta. Diberi tunai. Tak ada bukti pemberian dan penerimaan itu. AKBP Pintor tentu saja membantah. Dia ketika dihadirkan sebagai saksi, mengatakan uang itu dia berikan untuk upah dan biaya memperbaiki pagar teralis rumahnya.
Dia meminta agar Awang diperiksa dengan alat pendeteksi kebohongan. “Dinamika Kota” mengangkat headline: Awang Mengaku Dibayar Rp50 Juta untuk Buang Mayat Putri”. Sementara “Podium Kota” memilih judul: Pintor Minta Tersangka Awang Diperiksa Lie Detector. Keduanya berdasarkan pernyataan di dalam sidang. Keduanya fakta. Tapi bagi kami judul kami terkait langsung dengan kasus yang sudah disidangkan. Sementara soal permintaan Pintor itu tak berkait langsung, ia menyerang terdakwa. Ia defensif, ia meragukan keterangan terdakwa yang bicara di bawah sumpah.
Saya diminta bicara di siaran pagi radio Borgam FM. Bogram FM adalah radio pertama di Bogram. Studionya di kawasan yang teduh dan nyaman di Teluk Pinggir. Tak jauh dari rumah Rinto Sirait. Saya meneleponnya, merencakanan singgah setelah siaran.
Seharusnya pemred “Podium Kota” juga jadi pembicara. Tapi membatalkan sebelum siaran dimulai. Saya bicara berhati-hati hanya sebatas fakta-fakta yang kami beritakan. Jika harus menjawab dengan analisis atau opini pun saya mendasarkannya pada fakta yang kami beritakan. Apa yang sudah kami pertimbangkan benar menurut kaidah jurnalistik. Kami tak mau berlebihan hingga melakukan trial by the press, kami tak menjaga benar agar mencampurkan fakta dan opini.
“Koran Anda seperti menggiring agar AKBP Pintor menjadi tersangka. Kenapa?” tanya penyiar Bogram FM, setelah sebelumnya aga juga pendengar yang menelepon dan menanyakan hal yang serupa.
“Kami sama sekali tidak menggiring. Kami setia pada fakta. Kami hanya menyampaikan fakta-fakta yang ada di persidangan. Persidangan itulah nanti yang membuktikan mana fakta yang benar dan berdasarkan itu siapa yang bersalah. Sejauh mana keterlibatan Awang dan Runi, dan apakah benar otak pembunuhan adalah AKBP Pintor sendiri,” kataku, setengan mungkin.
“Ada penelepon, kita persilakan masuk. Silakan, dengan siapa dan dari mana…” Penelepon menyebut nama, saya yakin itu nama samaran, dan dari mana dia menelepon, yang saya juga ragukan.
“… Anda kabarnya tim sukses calon walikota dan calon wakil wali kota Alkhaidar dan Restu Suryono, ya? Berita Anda mereka manfaatkan untuk kampanye mereka. Anda sadar nggak? Anda jangan sok berbeda jadi wartawan. Koran Anda itu bikin masyarakat Borgam tegang. Saya ini wartawan senior di Borgam ini. Saya kenal dengan bos Anda Indrayana Idris. Kalau saya laporkan ke beliau, Anda bisa saya minta dia pecat Anda…”
Penyiar radio memutuskan sambungan telepon.
“Mohon maaf, saya kira pertanyaannya sudah jelas. Mas Abdur mau ditanggapi?”
“Begini ya, bapak yang tadi menelepon, konsen kami hanya satu: bagaimana keadilan ditegakkan. Yang salah dihukum, sesuai kesalahannya, yang tak melakukan hal yang dituduhkan jika terbukti begitu ya harus dibebaskan. Pemahaman kami tentang keadilan sesederhana itu, Pak… Kita tunggu saja putusan sela dari hakim, apakah dakwaan itu ditolak atau tidak,” papar saya.
Penyiar memotong bicara saya, “soal keterlibatan Anda di tim sukses itu bagaimana, Mas Abdur?”
“Apalagi itu. Tuduhan yang sama sekali tak berdasar. Tak ada kaitan berita kami dengan kepentingan politik siapa pun,” kataku.
“Anda dekat dengan Pak Alkhaidir? Tersangka kan anggota Porpal, orang Melayu, koran Anda mengangkat berita itu…”
“Semuanya kebetulan. Kenapa Awang harus Melayu dan Runi harus Sumbawa. Kebetulan calon wali kota Alkhaidiar itu orang Melayu dan pasangannya adalah pembela Awang dan Runi. Soal ketegangan masyarakat, saya mau balik tanya siapa yang bikin? Kenapa tiap kali sidang keluarga Putri membawa pendeta dan mengerahkan kelompok-kelompok pendukungnya di luar sidang?” kata saya.
Selesai siaran saya mendapatkan mobil redaksi pecah kaca depannya. Seperti dilempar batu, atau dipukul benda keras. Edo tak ada. Pintu mobil terbuka. Sekuriti Borgam FM pun tak ada di tempat. Pos jaga kosong. Tak berselang lama, Edo dan sekuriti muncul dengan napas tersengal-sengal.
Edo lekas menjelaskan. Ada yang memukul kaca depan mobil dengan potongan besi. Edo sedang menunggu berada di pos satpam. Pelaku memakai sebo. Wajahnya sama sekali tak nampak. Ia kemudian lari ke arah hutan di samping studio Borgam FM.
Apakah saya harus melapor dan minta perlindungan polisi? Jelas ada pihak yang menghalangi kerja kami sebagai jurnalis. Itu pelanggaran UU Pers dan ada sanksi hukumnya. Tapi kami sekarang seperti sedang bermusuhan atau melawan polisi, apa laporan saya tak akan sia-sia saja? Saya harus ketemu Pak Rinto. (Hasan Aspahani)
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber:
Komentar: 36
Silahkan login untuk berkomentar
Masuk dengan Google