Siapa Membunuh Putri (20) - Kode Etik
Ilustrasi polisi-ist-net--
KANTOR Dinamika Kota seakan dikepung polisi.
Anak-anak kantor ketakutan. Mereka bertanya apakah saya mau ditangkap. Isu lekas sekali menyebar. Beberapa kenalan menelepon. Termasuk Bang Ameng. Soal pengepungan dan penangkapan itu entah siapa yang menyebarkan kabar.
Saya menenangkan mereka. ”Kenapa kok pada takut, sih? Tenang saja. Ini kunjungan biasa saja.” Padahal saya sendiri juga gentar dan takut . Takut pada polisi saya kira bawaan yang laten. Sejak kecil, saya sebagaimana anak-anak kecil sering ditakut-takuti atau saling menakut-nakuti dengan kalimat, Awas, nanti ditangkap polisi!”
Dalam situasi biasa, polisi yang datang lebih dahulu sebelum kunjungan kapolres itu protokol yang biasa saja. Tapi ini terjadi di kantor kami sendiri dan kunjungan mendadak ini karena berita yang membuat orang nomor satu di Mapolresta itu marah. Sampai mendadak menggelar konpers.
Kombes Polisi Guntur turun dari mobil lalu berjalan diiringi dua ajudan. Keduanya dengan pistol di pinggang. Belasan polisi berjaga di depan kantor. Ia berjalan seperti sedang terlambat untuk sebuah pertemuan penting. Langkahnya cepat dan dihentak agak keras. Seperti berbaris. Seperti geram dan marah.
Saya dan Bang Eel menyambutnya di pintu kantor. Saya memperkenalkan diri. Jabatan tangannya kencang. ”Kita belum pernah ketemu langsung ya,” katanya padaku. Saya mengiyakan. ”Bapak sibuk terus,” kataku.
”Ah, Anda yang sibuk...” katanya.
Sambil berjalan menuju ruang rapat, dia bertanya berapa orang wartawan kami, di mana percetakan, berapa oplah, dan pertanyaan basa-basi lainnya. Saya dan Bang Eel bergantian menjawab.
Kombes Pol Guntur meminta di ruang rapat itu hanya ada kami, saya, Bang Eel, ia dan dua ajudannya. Salah seorang ajudannya membawa kamera dan memotret kami. Saya hendak memotretnya juga, tapi ia bilang tak usah. Pertemuan kami tak untuk diberitakan, katanya. ”Cuma buat arsip kami, Pak,” kataku. Saya tetap memotretnya. Ia tampak kesal.
Yang dia sampaikan tak berbeda jauh dari apa yang tadi dilaporkan Ferdy padaku lewat telepon, setelah jumpa pers tadi. Ia bicara soal eskalasi ketegangan politik dan sosial menjelang pemilihan wali kota, potensi pecahnya kerusuhan antarkelompok, dan besarnya atensi masyarakat pada kasus pembunuhan Putri. Ia meminta agar pemberitaan kami tak memprovokasi. Ia memastikan yang salah akan diproses secara hukum dengan adil.
Kepada Bang Eel dia bertanya soal wawancara. ”Belum dimuat ya? Kenapa?” Bang Eel menjawab sambil sekilas memandang saya, ”Masih belum lengkap, Pak. Rencananya saya mau wawancara lagi nanti sama Dur. Kapan Bapak ada waktu?”
”Secepatnya saja. Saya tunggu. Ke kantor saja, secepatnya, ya. Jangan lama-lama...” Lalu nada bicaranya meninggi ketika bicara soal mobil bodong itu. ”Kenapa tak konfirmasi ke saya sebelum kalian naikkan berita dan foto-foto ini?” katanya sambil menunjuk halaman depan koran kami yang ia bentangkan di meja.
”Saya ini sudah pernah tugas di mana-mana, tak pernah saya dibikin wartawan seperti ini,” katanya. ”Apa maunya kalian sebenarnya? Kalau soal idealisme, berbakti demi kepentingan bangsa dan negara, kita sama saja, saya juga bekerja mengabdi untuk negara ini.”
“Pak, kami tidak tahu ini mobil-mobil siapa, secara jurnalistik kami sudah jalankan tugas kami, kami konfirmasi ke Bea Cukai,” kata saya. “Kalau kami tahu itu mobil polisi untuk mabes, kami akan konfirmasi ke Bapak,” kata Bang Eel. Dalam hati saya bilang, kalau saya yang menjawab saya juga akan menjawab dengan kalimat itu.
“Nah, sekarang kalian sudah tahu itu perintah mabes, kan? Tak ada kepentingan pribadi saya. Sama sekali tak ada,” katanya dengan suara bergetar dan penuh tekanan. ”Kalian mau apa? Mobil? Berapa? Sepuluh?”
“Bukan begitu, Pak...” kata Bang Eel.
“Terus gimana? Ini sudah berantakan kalian buat. Gara-gara berita kalian.”
Saya tak tahan juga untuk tak menjawab. ”Pak Guntur, di kode etik kami ada aturan bahwa wartawan tak menerima imbalan apa pun untuk memberitakan atau tak memberitakan sesuatu. Itu jelas, Pak. Jadi, Pak, tak perlu menawarkan apa-apa pada kami, terkait apa-apa yang harus kami beritakan atau tak kami beritakan...”
”Anda jangan mengajari saya, Bung. Kami di polisi juga punya kode etik, bukan wartawan saja, kami juga punya kehormatan.... Ini kalau saja saya sedang berurusan dengan penjahat sudah senjata yang bicara!” lalu Kombes Pol Guntur bicara panjang, sampai berdiri, sampai mengeluarkan pistol dari tas tangannya dan meletakkannya di meja.
“Pak, mohon pistolnya dimasukkan aja... Soal mobil ini saya ada usul solusinya,” kata Bang Eel.
Saya tak lagi bisa menyimak dengan jernih. Saya gentar dan takut. Juga menyesal. Bukan menyesali berita mobil bodong itu, tapi menyesal tadi kenapa saya menjawab dengan pasal kode etik. Kemarahan Kapolresta reda setelah kami sepakat untuk tak memberitakan itu lagi. Bang Eel bahkan menyarankan satu solusi lain.
“Begini, Pak. Bapak saya kira bisa minta ke salah seorang pengusaha besar di sini untuk mengakui bahwa mobil-mobil itu adalah sumbangan mereka,” kata Bang Eel.
Kombes Pol Guntur tertarik dengan usul itu. ”Bagus juga. Kalian bantu atur ya, nanti ketemu dan bicara dengan Iptu Binsar ya, Kasi Humas kita..” ujarnya.
Saya dan Bang Eel bersitegang setelah Kapolresta meninggalkan kantor kami. Saya tak setuju dengan usulnya tadi. ”Buat apa kita repot-repot urus masalah mereka, Bang...”
”Kalau kau tak mau, kau tak usah ikut repot. Biar saya yang urus. Kau tak lihat gimana marahnya Pak Guntur tadi? Untung tadi kita ketemu di kantor kita, kalau di tempat lain, sudah habis kita. Kita harus kompromi juga. Saya cemaskan teman-teman kita di lapangan, Dur.”
”Tapi dia menghina profesi kita, Bang. Dia pikir semua wartawan bisa dibeli apa...”
”Kita sesekali harus kompromi juga, Dur. Tadi kan kita tak bicara soal berita Putri. Kita hajar terus. Tak bisa dia atur kita soal itu. Soal mobil bodong, kita bantu polisi,” kata Bang Eel.
Kompromi? Ini yang sering menggelisahkan saya. Di mana batasnya saya sebagai wartawan membuka diri untuk mau berkompromi? Apa yang dikompromikan? Idealisme? Sampai mana batasnya? Saya memilih untuk tidak pernah melakukannya. Sering saya dengar orang di luar bilang saya tak bisa dibeli, tak bisa ditakar. Banggakah saya? Sama sekali tidak. Bukankah seharusnya memang begitu seorang wartawan bekerja.
Bang Eel menelepon Bang Ameng. Mereka bicara lama.
Sore itu di Mapolresta. Bang Ameng, Kasi Humas Polresta Borgam, dan beberapa pengurus asosiasi pengusaha Borgam memberikan keterangan kepada wartawan bahwa mobil-mobil yang dikirim ke mabes Polri di Jakarta itu adalah sumbangan mereka, dengan fasilitas pembebasan pajak khusus dari kementerian keuangan. Ada kepala kantor Bea dan Cukai hadir membenarkan keterangan itu.
”Proyek pengadaan mobil ini memang terkesan tertutup. Tapi sebenarnya tak ada yang ditutupi. Hanya memang harus dikerjakan dengan cepat saja. Kenapa seperti sembunyi-sembunyi, diangkut malam hari, lewat pelabuhan kecil? Kami tak mau jadwal sandar dan bongkar muat kapal-kapal lain di Pelabuhan besar kita terganggu. Pelabuhan kita sedang sibuk sekali sekarang. Bongkar muat dilakukan malam hari karena mengejar laut sedang pasang naik,” kata Iptu Binsar.
Nurikmal meliput jumpa pers itu. ”Kita tulis apa nih, Bang? Percaya nggak sih kita dengan apa yang disampaikan di jumpa pers itu?”
”Tulis aja apa adanya! Satu beritamu hari ini, bikin polresta dua kali menggelar jumpa pers. Hebat kan?” katanya. Nurikmal tertawa. Saya kemudian memberi file wawancara Bang Eel dengan Kapolresta. Ada yang bisa dikutip dari wawancara itu, terutama imbauan-imbauan untuk menjaga ketertiban dan keamanan menjelang pemilu lokal.
”Sebagai wawancara panjang belum lengkap. Banyak pertanyaan bisa digali lebih dalam. Jadi belum kita naikkan. Tadi beliau bilang mau kita wawancara lagi. Kamu ikut ya...” kataku pada Nurikmal. Saya tak katakan padanya bahwa itu hasil wawancara sendiri Bang Eel.
Pengalaman saya yang belum seberapa banyak di surat kabar mengajarkan satu hal penting, tiap hari redaksi harus berakrobat, cermat memilih dan mengembangkan berita. Tak selalu ada peristiwa besar. Rumusnya harus ada gebrakan tiap hari juga harus pandai merawat pasar. Dua jenis pelanggan harus digarap sama intensnya. Gebrakan untuk menggaet pembeli eceran, sementara berita-berita yang merawat pasar penting untuk menjaga loyalitas pelanggan.
”Kenapa Kapolresta semarah itu ya, Bang?” tanya Nurikmal.
Saya suka dan menyenangkan bekerja dengan wartawan seperti Nurikmal, karena kemampuan analisisnya yang tajam. Ia kritis dan idealis. Ia satu-satunya wartawan kami yang benar-benar kuliah di jurusan jurnalistik. Kalau saya nanti memilih wakil atau pengganti saya tak akan ragu merekomendasikannya. Ia dengan pertanyaan-pertanyaannya yang tampak mendasar, membuat rapat-rapat kami menghasilkan rancangan berita yang berbeda, menarik, dan penting.
”Apa ada hal lain, yang lebih besar yang ia lindungi?” tanyaku.
”Atau soal mobil bodong itu terkait juga dengan judi dan pembunuhan Putri?” Nurimal menanggapiku dengan pertanyaan.
”Bagaimana kaitannya?” tanyaku.
Saya sudah menugaskan Ferdy untuk melacak informasi dari Bang Ameng soal Putri yang pernah dia lihat di kasino. ”Ada info, Ferdy?”
”Ini tugas agak berat, Bang. Kasinonya saja remang-remang. Susah kita masuk. Sekarang mau wawancara siapa juga susah. Semua tutup mulut,” kata Ferdy.
”Tapi kasino itu masih beroperasi?”
”Masih. Makin ramai. Feri di pelabuhan Penangsa yang aksesnya langsung ke resort itu makin ramai aja sekarang,” kata Ferdy.
Saya mengakhiri rapat redaksi hari itu dengan menceritakan pertemuan dengan AKP Heru, Kasatnarkoba, terutama soal janjinya mempertemukan dengan penyidik dari Satreskrim yang pertama kali memeriksa rumah AKBP Pintor, TKP pembunuhan Putri itu. Ferdy menebak nama siapa yang dimaksud.
”Kita tunggu saja, ya...”
”Kalau bisa ketemu sebelum sidang putusan sela menarik sekali.” Kata Nurikmal. ”Bisa kita prediksi apa yang bakal diputuskan hakim. Ke mana ujung kasus ini...” (Hasan Aspahani)
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber:
Komentar: 22
Silahkan login untuk berkomentar
Masuk dengan Google