Dampak Larangan Ekspor Minyak Goreng Meluas Meski Sebatas Terapi

Dampak Larangan Ekspor Minyak Goreng Meluas Meski Sebatas Terapi

Tingginya harga minyak goreng kemasan membuat para pedagang makanan terpaksa melakukan efesiensi dengan jalan mencampur dengan minyak goreng curah untuk menyeimbangkan harga dagangan. -Syaiful Amri/Disway.id-disway.id

”Dan melimpahnya sawit belum tentu akan melimpahkan minyak goreng yang menyebabkan harga migor turun. Mengapa? Karena harga CPO didasarkan harga dunia. Seharusnya pemerintah punya HPP (harga pokok)  sawit sehingga tahu kisaran harga normal,” papar Asrian.

Skema terbaiknya, pemerintah tetap mengontrol harga CPO dalam negeri dengan baik sehinga di pasar domestik harga minyak goreng berlaku wajar. 

Atas dasar itu pemerintah bisa memperkirakan pajak ekspor atau dana sawit yang kemudian dikembalikan pada kebun rakyat dan perbaikan infrastruktur. 

”Karena infrastruktur selama ini terjadi keluhan di daerah penghasilan sawit karena jalan cepat hancur,” terangnya. 

Pengusaha tidak ada kerugian, hanya ada peluang dapat untung dari ekspor yang tidak dapat dimanfaatkan. ”Tapi bisa saja jadi peluang keuntungan dikompensasi dari transaksi dalam negri,” jelas Asrian. 

Terpisah, Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti memberikan dukungan terhadap langkah dan keputusan Presiden Jokowi.  

Namun menurut LaNyalla, kebijakan tersebut hanya terapi kejut dan bersifat karitatif (menyenangkan rakyat), tetapi belum menyentuh persoalan yang fundamental. 

”Presiden sepertinya sengaja memberi terapi kejut saja kepada semua pihak. Baik para pengusaha, maupun para pembantunya yang terkait soal itu. Tetapi saya yakin segera dibuka kembali. Karena total jumlah produksi tidak bisa diserap di dalam negeri,” urai LaNyalla dalam keterangan yang diterima Disway.id.

Karena itu, dirinya mengatakan bahwa bukan itu jurusnya. Sebab jurus yang dibutuhkan terkait dengan keberanian kita mengubah arah kebijakan perekonomian nasional yang sudah telanjur menyerahkan hajat hidup orang banyak kepada mekanisme pasar. 

”Jurus yang paling jitu adalah dengan kesadaran kita sebagai bangsa untuk melakukan koreksi fundamental arah kebijakan perekonomian nasional kita dalam perspektif negara kesejahteraan, sesuai amanat Pasal 33 ayat 1, 2 dan 3. Bukan ayat 4 hasil Amandemen,” tandas Ketua Pemuda Pancasila Jawa Timur itu. 

Dikatakan LaNyalla, terhadap semua hajat hidup orang banyak, terutama yang menyangkut sumber daya alam, negara harus hadir dalam lima afirmatif. 

Yaitu kebijakan, pengurusan, pengaturan, pengelolaan dan pengawasan. Sehingga tidak bisa diberikan begitu saja ke swasta, apalagi asing. Lalu negara terima bea ekspor dan royalti. 

“Apalagi dalam perkebunan sawit, dana dari pungutan ekspor yang dikumpulkan di BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit), penggunaannya ditentukan oleh Komite Pengarah, yang pimpin Menko Perekonomian, yang melibatkan empat pengusaha Sawit besar, terutama terkait program BioDiesel,” imbuhnya.

Dari triliunan dana yang terkumpul, 80 persen digelontorkan kepada sekitar 10 perusahaan besar Kelapa Sawit untuk subsidi program BioDiesel. Sisanya 5 persen untuk peremajaan sawit rakyat.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: