Jam'iyah NU Bukan Paguyuban

Jam'iyah NU Bukan Paguyuban

Aguk Irawan MN--

Setelah penulis cek di sumber literatur, pengertian paguyuban menurut KBBI adalah perkumpulan yang bersifat kekeluargaan dan didirikan orang-orang yang sepaham (sedarah) untuk membina persatuan di antara para anggotanya. Namun, apakah benar PBNU sebagai paguyuban? Apakah benar NU sudah mengarah pada sistem kepemimpinan yang monarkis, otoritarian, dan tidak demokratis sejak era Gus Yahya?

Beberapa orang boleh berpendapat demikian. Lebih-lebih mereka menyebut NU sebagai Paguyuban juga punya argumentasi. Misalnya, sebelum-sebelumnya telah banyak pemberitaan media massa yang memframing adanya ancaman-ancaman pemecatan dan pembekuan secara sepihak oleh pengurus PBNU terhadap pengurus-pengurus yang tidak sejalan dengan pemikiran Gus Yahya. Sebut saja PWNU Jawa Timur, PWNU Kalimantan Selatan, bahkan sampai pengurus PCNU.

Media massa juga memframing, apabila ada pengurus NU yang sejalan dengan pemikiran Gus Yahya, walaupun orang tersebut sudah tersangka kasus korupsi, Gus Yahya hampir membela mati-matian, dan enggan untuk melakukan pemecatan. Seperti kasus Mardani Maming. Akhirnya mau tak mau, publik berasumsi kepemimpinan Gus Yahya bersifat tangan besi, dan hanya berlaku di internal organisasi yang otoritarian, monarkis, dan tidak lagi demokratis.

Konstitusi dan Sejarah Awal HBNO

Dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan berpendapat di muka umum. Perlu hati-hati, dalam pasal tersebut terdapat kata "dan", sebuah kata penghubung, di mana kata sebelum dan sesudahnya memiliki kedudukan yang sama. Hal ini penting dipahami dalam rangka memaknai kepemimpinan Gus Yahya di PBNU.

Kata "dan" dalam UUD 1945 mengartikan bahwa setiap orang diberi kebebasan berserikat, yang sama pentingnya dengan kebebasan menyampaikan pendapat. Karena kedudukan berserikat sepadan dengan kedudukan berpendapat dalam konstitusi maka kebebasan berserikat tidak boleh menafikan kebebasan berpendapat. Kebebasan berpendapat juga tidak boleh merusak perserikatan.

Pelajaran ini bisa kita gali dari awal-awal sejarah pendirian HBNO (Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama). Di bawah kepemimpinan Hadratussyeikh Hasyim Asy'ari, NO adalah ormas yang menyatakan perbedaan pendapat, bahkan menyatukan ormas-ormas Islam kala itu. Hadratussyeikh mengajak Muhammadiyah untuk membentuk Majelis A'la Islam Indonesia (MIAI). Berkat MIAI, persatuan dalam perbedaan betul-betul konkret di depan mata.

Sejarah ini menjadi pelajaran penting bagi para pemimpin PBNU hari ini, bahwa berserikat dalam tubuh NU tidak berarti menegasikan kebebasan berpendapat, termasuk kebebasan menentukan pilihan politik. Karena itulah, siapapun orang yang memilih untuk berserikat dengan PBNU maka kebebasan mereka untuk berpendapat harus dihargai. Orang seperti Mbak Yenny Wahid yang memilih mendukung Ganjar Pranowo dan Mahfud MD tidak harus mengundurkan diri dari jabatan kepengurusannya di PBNU.

Atas nama Serikat NU, Hadratussyeikh Hasyim Asy'ari tidak pernah menolak apabila banyak santri yang ingin belajar pada beliau, walaupun nyata-nyata mereka beraliran Syiah, Wahhabi, bahkan Ahmadiyah. Dengan belajar pada cara Hadratussyeikh memimpin HBNO, pengurus PBNU hari ini tidak perlu mengancam-ancam akan memecat dan membekukan pengurus NU yang berpolitik praktis dan berbeda pemikiran.

Penulis berharap, di masa-masa mendatang, publik tidak perlu berpikiran yang tidak-tidak. Tidak ada apa yang mereka sebut otoritarianisme Gus Yahya. Kita harus mengedepankan prinsip Ukhuwah Nahdliyah. Karena NU adalah milik seluruh warga NU, dan NU tetaplah Jam'iyyah. 

Pengurus PBNU pun perlu mendengar suara warga, dan berusaha tidak mencitrakan PBNU sebagai paguyuban, yang hanya dimiliki oleh segelintir orang yang memiliki kepentingan yang sama. Inilah adalah amanah undang-undang sekaligus menghidupkan spirit kebebasan berpendapat yang dulu pernah mewarnai tubuh H.B.NO. Wallahu a'lam bis shawab. (*)

*) Pengasuh Pesantren Baitul Kilmah dan Warga Nahdliyyin Biasa

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: