Berkaca Kasus Siswa SMP Lompat dari Lantai 3, Ini Catatan Penting Psikolog Klinis

Berkaca Kasus Siswa SMP Lompat dari Lantai 3, Ini Catatan Penting Psikolog Klinis

Siswa SMPN 73 Jakarta yang loncat dari lantai 3 sekolahnya itu mengaku dijauhi temannya.-Istimewa-

JAKARTA, DISWAY.ID - Seorang siswa SMP di Jakarta Selatan berinisial GAD (14 tahun) jatuh dari lantai 3 gedung sekolah.

Peristiwa yang terjadi pada Senin, 20 Mei 2024 sekitar pukul 12.00 WIB ini diduga karena pelajar tersebut sengaja melompat dari jendela kelas.

Kapolsek Tebet Kompol Murodih mengungkapkan, korban sempat meminta teman-temannya keluar kelas sebelum akhirnya melompat dari jendela.

BACA JUGA:KPAI Dorong Pihak Sekolah Perketat Pengawasan Usai Insiden Siswa SMP yang Lompat dari Lantai 3

"Melompat ke luar jendela, saat melompat korban sempat tersangkut di genteng lantai 2, kemudian jatuh ke lantai 1" ujarnya.

Diketahui, aksi nekatnya itu diduga karena GAD merasa dijauhi dan tidak ditemani oleh teman sekolahnya.

“Saat melompat ke luar kelas, korban frustasi. Atas keinginan sendiri, tidak ada yang mendorong,” kata Murodih pada Senin, 20 Mei 2024.

BACA JUGA:Siswa SMPN di Jaksel Nekat Lompat dari Lantai 3 Sekolah, Teman Sebut Korban Sosok Yang Pendiam


Bersama dengan itu, ditemukan kertas dari korban yang berisi tulisan dan gambar yang diduga terkait dengan perasan yang tengah dialaminya.

"Ditemukan kertas dari korban yang berisi tulisan dan gambar menyerupai hanoman, tulisan tersebut tidak dimengerti artinya," kata Murodih.

Peristiwa ini menunjukkan bagaimana pentingnya pertemanan bagi seorang remaja.

BACA JUGA:Indonesia Bakal Masuk OECD, Jokowi: Kita Bisa Lompat Jadi Negara Maju

Psikolog Klinis RSJ Menur Surabaya Ella Titis Wahyuniansari menjelaskan bahwa remaja merupakan usia peralihan, di mana pengakuan dari kelompok sosial menjadi sangat penting.

Pada usia remaja, Ella menjelaskan, mereka lebih membutuhkan pengakuan dari kelompok sehingga lebih terbuka kepada teman-temannya.

"Anak-anak pasti minta tolong ke orang tua, tapi remaja itu mereka akan cenderung larinya ke teman-teman," ungkap Ella ketika dihubungi pada Kamis, 23 Mei 2024.

BACA JUGA:Keseharian Keluarga yang Bunuh Diri Lompat dari Apartemen Penjaringan Diungkap Tetangga, Suka Minjam Uang?

Lantas muncul keinginan untuk bisa diakui di kelompok sosial dan dipahami oleh teman-temannya.

"Jadi dia punya kelompok sosial, ingin diakui di kelompok sosialnya. Ketika nggak ada, itu akan menjadi tekanan sendiri buat dia," lanjutnya.

Terlebih, masa remaja juga berkaitan dengan adanya pergolakan emosi.

"Tekanan-tekanan itu akan menjadi pergolakan emosi, makanya mereka cenderung berpikirannya pendek, tidak akan berpikir panjang. Karena karena emosi cenderung lebih dominan daripada logika, emosinya yang lebih kuat," imbuhnya.

BACA JUGA:Terkuak Kebiasaan 1 Keluarga Sebelum Bunuh Diri Lompat dari Apartemen di Penjaringan

Tak ayal, usia remaja sering dikatakan labil secara emosional.

Ketika pergolakan emosi ini tidak tertangani dengan baik, dapat menimbulkan permasalahan dalam kesehatan mental.

Oleh karena itu, sangat penting bagi seorang remaja untuk mengelola emosinya.

Hal ini dimulai dari pengaruh lingkungan, terutama keluarga.

"Kalau misalnya selama masa remaja ini kita bisa mendapatkan lingkungan yang sesuai, harapan-harapan kita bisa terpenuhi, atau minimal kita mendapatkan pengetahuan bagaimana cara memenuhi harapan kita, kemudian bagaimana kita bergaul, lalu bagaimana keluarga sebelumnya menanamkan, cara-cara melatih anak, memungkinkan anak juga akan belajar utuk mengelola emosinya," bebernya.

BACA JUGA:Keseharian Keluarga yang Bunuh Diri Lompat dari Apartemen Penjaringan Diungkap Tetangga, Suka Minjam Uang?

Sebaliknya, remaja yang tidak mendapatkan bimbingan, arahan, atau bekal dalam mengelola emosi, tidak akan mengerti hingga dewasa.

Maka dari itu, penting bagi orang tua menanamkan cara mengelola emosi sejak usia anak-anak.

"Tumbuh kembang anak itu menjadi sangat penting, itu adalah fase pembentukan. Dibentuknya anak itu pertama di keluarga," tegasnya.

Didikan dalam pengelolaan emosi ini menjadi fondasi bagi anak ketika dihadapkan pada permasalahan di lingkungan sosial.

BACA JUGA:Terkuak Kebiasaan 1 Keluarga Sebelum Bunuh Diri Lompat dari Apartemen di Penjaringan

"Lingkungan yang lebih luas itu pengaruhnya lebih besar, permasalahan lebih banyak. Ketika dia keluar dari lingkungan keluarga, dia punya pegangan," lanjut Ella.

Anak yang telah beranjak dewasa itu pun bisa mengetahui bagaimana cara menyelesaikan masalah dan ke mana harus meminta bantuan.

Sedangkan apabila semenjak masih anak-anak sudah diabaikan dan tidak memiliki bonding, ia tak anak mengerti cara menghadapi suatu masalah.

"Berusaha menyelesaikan sendiri, tetapi dia tidak ada pembelajaran bagaimana cara menyelesaikan masalah. Jadi bisa dibayangkan bagaimana dia akan menyelesaikan masalahnya, sesuai dengan apa yang dipikirkan saat itu," pungkasnya.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: