Mati

Mati

Dr. Mahnan Marbawi MA--

Yang seperti ini, tak hanya itu. Hanya tak muncrat di media sosial dan panggung lakonnya. Dikubur untuk tak menjadi tontonan aib.

Sebab kita pun punya aib. Maka ditutupi, sembunyi dan disunyikan. Bahkan dibungkam!

Yang mati rohaninya pun merebak pada yang tak berharta dan tak menjabat. Kematian yang menjambret jiwa-jiwa ketulusan. Semua dinominalkan dan hanya untuk keuntungan. Merebak dalam amuk massa dan anarkis.

Welas asih tinggal kenangan. Menjelma dalam keberingasan.

Pada akhirnya, kulit ini tinggal menunggu waktu untuk dipendam. Entah diingat atau tidak. Disitulah sebenarnya hidup. Hidup ketika diingat manusia yang mati dan atau hidup nuraninya di muka bumi.

Diingatpun pada tingkah kulit yang ciut untuk berbuat patut. Dikenang atas ketakpatutan laku moral, watak dan gerak hidup. 

Maka untuk menjadi hidup dalam kehidupan. Peka-kan rasa. Hidupkan nurani dari kematian. Rasailah disegala yang sakit, tertindas, marginal, terpinggirkan dan terabaikan.

Reguklah rasa penyakit yang sakit, terlihat oleh mata dan dirasai hati. Dari segala penyakit jasmani yang di kulit, di dalam kulit, di tulang, di sumsum, di darah dan di jiwanya. Datangi rumah sakit.

Kita bisa mengasah kepekaan, untuk bangun dari kematian. Untuk mereguk rasa welas asih kepada sesama. Untuk merasai sengsara dan derita. Dan mengentaskannya. Kuasa dan harta bisa menjadi alat.

Asal dijalankan dengan benar dan berani. Dijiwai oleh kegelisahan atas ketimpangan dan ketidakadilan. Dihiasi oleh moral dan etika. 

Daging ini, syahwat ini perlu dihidupi. Dihidupi rasa malu dan etika. diinsyafi dengan kebenaran dan keberanian, untuk mengentaskan sesama yang hidup. Dalam kehidupan yang penuh welas asih. Juga kesederhanaan. Agar tidak mati hati.

(Kang Marbawi) 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: