Pojokan 223: Antre

Pojokan 223: Antre

Dr. Mahnan Marbawi MA-Dok. BPIP-

RSCM memang menjadi RS rujukan nasional. Bisa dibayangkan RS yang berdiri 19 November 1919 itu harus menampung ribuan pasien dari seluruh Indonesia. Untuk segala penyakit pula. Akibat keterbatasan fasilitas RS di daerah yang tak memadai. Pasien berjejal seperti penumpang Kereta Api Indonesia (KAI) sebelum Ignatius Jonan masuk menangani KAI. Meluber hingga ke selasar dengan berbagai posisi. 

Ada yang telentang di ranjang pasien, duduk lunglai di kursi roda, termenung, termangu-mangu memandang lalu Lalang orang dengan tatapan kosong dan mengharap belas-kasihan untuk segera ditangani. Tak sedikit yang tak sabar menyuarakan kesakitannya dengan merintih. Untung tidak berteriak seperti para pendemo di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Suara pendemo dan rintihan pasien sama-sama punya kepentingan. Yang satu menyuarakan ketimpangan sosial-politik, dan yang lain soal protes kesehatan di tubuhnya yang dikorupsi bermacam penyakit. Karena laku hidup tak sehat.

Soal volume rintihan, bergantung penyakit dan usia. Pemilik penyakit berat, biasanya menampakkan wajah pasrah dan menahan sakit, dengan pandangan sayu dan pedih menahan sakit. Sekali terdengar nafas berat dan lenguhan menahan sakit. Yang menyayat hati, adalah mendengar jeritan anak-anak balita menahan sakit. Serta wajah sedih dan kebingungan orang tuanya. 

BACA JUGA:Pojokan 214: Nilai Kata

Pandangan sayu, loyo dan kelelahan juga terlihat pada wajah pasien -dan keluarganya dari daerah di luar pulau Jawa atau Jakarta. Menempuh perjalanan jauh dan harus menginap berhari-hari dipenampungan seadanya dengan biaya sendiri, untuk bisa mendapatkan pengobatan di RSCM.

Soal jenis penyakit pun, beraneka rupa.  Seperti bermacam flora dan fauna di lautan luas. Letak penyakitnya pun bisa beraneka, mulai dari ujung kaki hingga ujung kepala. Bahkan ada yang nangkring diujung hidung atau dipelupuk mata. Penyakit yang terlihat dan tak terlihat pun tak kurang. 

Apakah sudah selesai antrean di anjungan? Oh belum. Pasien juga harus menunggu panggilan dari dokter untuk pemeriksaan atau tindakan. Untuk pengguna JKN, satu kali kedatangan untuk satu kali pemeriksaan atau tindakan.

Walau dibutuhkan banyak pemeriksaan atau tindakan, tetap saja harus kembali esok dan esoknya lagi. Pun harus melalui anjungan mandiri pasien untuk daftar di RSCMKU. 

Seperti saya, untuk satu kali antrean, hanya untuk satu kali pemeriksaan pada dokter spesialis untuk satu urusan penyakit yang saya derita. Delapan kali saya datang, di delapan hari yang berbeda, maka sudah delapan kali pula pemeriksaan pada dokter spesialis yang berbeda pula.

Mengantre di RSCM, memunculkan kemasygulan dan juga rasa syukur. Masygul, kapan masyarakat tak butuh lama untuk antre di RS? Kapan RS-RS lain punya fasilitas selengkap RSCM atau RS seperti di luar negeri? 

Termasuk pertanyaan utopi, kapan presiden atau menteri kesehatan ikut ngantreberobat di RS? Supaya mereka pun merasakan “be’te’”nya mengantre. Sesuatu yang tak mungkin terjadi. Termasuk apakah korupsi akan hilang dimasa pemerintahan baru ini? Sehingga rakyat tak perlu antredi RS. 

Pertanyaan itu dibarengi rasa syukur di hati, alhamdulillah keluargaku sehat. Jadi tak perlu mengantri di RS. (Kang Marbawi, 131024)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber:

Berita Terkait