Pojokan 224: Daulos

Pojokan 224: Daulos

Kang Marbawi, 280724-Istimewa-

 

Romo Charles pun kemudian membantu anak itu untuk bisa pindah pesawat menuju Batam. Sesampainya di Batam, anak itu dijemput seseorang -yang disebut Kakak, seorang aparat. Dan sejak saat itu, dirinya tidak tahu lagi kabar anak itu.

Peristiwa itu membekas dan mewariskan penyesalan mendalam. Sebab bisa jadi anak yang dia tolong adalah bagian dari “korban” perdagangan manusia.  Penyesalan yang melahirkan perlawanan dan advokasi terhadap segala bentuk perdagangan orang, khususnya di tanah Nusa Tenggara Timur (NTT). Bersama komunitasnya, Romo Charles menyampaikan nota protes atas dilantiknya salah seorang anggota dari salah satu partai sebagai anggota dewan perwakilan rakyat daerah di salah satu kabupaten di NTT. Anggota dewan yang dilantik Agustus kemarin itu, disomasi karena dia salah satu pelaku perdagagan 72 orang NTT. Namun hingga saat ini, yang bersangkutan tetap dilantik dan tak satupun yang memerkarakan.

Charles menuturkan, setiap tahun berdatangan ratusan warga NTT yang dikembali dalam peti mati, tanpa ada kejelasan penyebab dan tak ada upaya hukum. Isi peti mati itu korban perdagangan orang (human trafficking). 

Anak Perempuan yang ditemui Charles, adalah doulos orang yang tak memiliki kebebasan karena diperdagangkan. Seperti halnya budak chattel, seseorang yang dilucuti kebebasannya dan dipaksa mengabdi pada seorang pemilik. Dia bisa diperjual belikan, disewakan dan dieksplotasi hingga titik nadir. Bahkan jika mati pun tak mengapa, sebab dia adalah chattel-barang pribadi. Daulos menjadi penanda hidup yang tak merdeka. Ditindas kekuasaan dan keserakahan individu. 

Hanya Mamaluk di Mesir dan Persia yang mampu mengangkat martabat doulos, dari budak menjadi penguasa. Syajar al-Durristri istri Ash-Shalih Ayuub penguasa dinasti Ayyubiah. Dia adalah budak dari Turki yang mampu bangkit dan membangkitkan perlawanan para budak Mamaluk membentuk dinasti. Hingga menggapai kejayaan dua abad berikutnya. 

Pada kaum Mamaluk bertumbuh kesadaran untuk keluar dari jerat penghambaan. Sebab menjadi budak tak punya apa-apa. Manusia, sejatinya makhluk berharkat, bermartabat serta mulia. Yang tak bisa dibeli oleh apapun, kecuali oleh keserakahan dan syahwatnya. 

Perbudakaan, nyata ada. Jelas Nampak, seperti gajah di pelupuk mata. Budak dan perdagangan orang lahir dari kemiskinan struktural dan kultural.

Dari dulu hingga sekarang, nasib korban perdagangan orang hanya disebutkan dalam angka dan seminar, tak pernah berubah.

Seperti halnya kemiskinan yang hanya dijadikan komoditas, kala pemilihan kekuasaan berlangsung. Setelah itu, senyap dan dibiarkan sunyi. Seperti nasib 2049 peti mati yang datang di NTT. Tak ada yang menangisi dan menggugat. Hanya nurani yang tak jadi budak keserakahan-kekuasaan yang berani bersuara. (Kang Marbawi, 201024) 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber:

Berita Terkait