Wanita Global
--
Di Amerika kemarin itu saya bertemu empat wanita istimewa.
Yang satu bernama Mel, di Oakland, tidak jauh dari rumah masa kecil Kamala Harris. Aslinyi Banyuwangi. Tamatan Madrasah Aliyah. Tidak pakai jilbab. Kaca mata hitamnya dipadu dengan jaket ketat yang keren. Dia sangat menjaga diri agar hanya makan makanan yang pasti halal.
Bagi Mel, lebih baik hanya makan sayur daripada makan daging ayam yang tidak tahu disembelih dengan cara apa (Baca Disway: Bismillah Karnaval).
Tapi Mel tidak sok halal. Dia tidak menunjukkan ekspresi wajah negatif ketika orang di sebelahnyi makan apa saja.
Bahkan dia berusaha menutupi orientasi keras halalnyi itu dengan cara yang sangat sopan: "saya vegetarian".
Suaminyi orang bule. Asal Prancis. Pun suaminyi yang meninggal beberapa tahun lalu: juga orang kulit putih.
Mel ikut saya ke acara makan malam di Palo Alto --kawasan startup di Silicon Valley.
Dalam perjalanan, di dalam mobil, saya dengar percakapan Mel dengan wanita di sebelahnyi yang lagi mengemudi.
"Boleh nggak saya pindah kerja ke tempatmu," tanya Mel.
"Boleh. Mulai minggu depan?"
"Jangan minggu depan. Saya masih mau urus anak saya dulu. Bagaimana kalau mulai bulan depan."
"Boleh."
"Berapa gajinya?”
"Mau kan USD 70 per jam?”
"Tidak bisa lebih tinggi?"
"Kita lihat dulu".
"Tapi dikontrak paling tidak satu tahun lho ya."
"Kok lama. Gak bisa tiga bulan saja?”
Terputus. Belum lagi pembicaraan selesai ada topik lain yang tiba-tiba harus dibicarakan.
Saya tahu Mel bukan wanita yang lagi menganggur. Dia sudah bekerja: juga di bidang IT. Tapi rupanya dia terus berusaha cari gaji yang lebih tinggi. Tawaran 70 dolar/jam (sekitar Rp 1 juta per jam) masih dia anggap kurang tinggi.
Itu pun Mel tidak mau lama-lama. Gaji Rp 1 juta/jam itu hanya batu loncatan. Meloncatnya pun cepat-cepat.
Kesan saya: betapa mudah cari pekerjaan di Amerika. Betapa ringan untuk memutuskan pindah kerja. Tidak ada perasaan khawatir apakah akan bisa dapat pekerjaan pengganti.
Setelah tiga hari di New York saya ke New Haven, Connecticut. Dua wanita ingin mengantar saya.
Yang satu mbak Sri. Asal Sragen. Suaminyi juga bule --asal Los Angeles. Sang suami ahli software. Sudah pensiun dari perusahaan raksasa bidang IT, IBM.
Mbak Sri menyesalkan mengapa saya tidak tidur di rumahnyi di dekat New York. Rumah yang, katanyi, enak untuk menulis buku. Di pinggir danau besar. Ada dua rumah di situ. Berdekatan. Saya, katanyi, bisa datang dan pergi kapan saja.
Kalau bosan di situ masih ada rumah lagi di Montana. Di pinggir taman hutan di dekat Kanada.
"Saya sudah beli tiket kereta api," kata saya. "Tidak perlu diantar."
Bukan berarti kami tidak bisa bertemu. Mbak Sri mengajak suami berkendara ke New Haven. Satu jam perjalanan. Kami pun ngobrol banyak hal sambil makan siang.
Bersama Mbak Sri dan suami.--
Di tengah makan ada info masuk: Mbak Dini juga ingin mengantar saya ke Hartford. Dia orang Demak, Jateng. alumnus Universitas Satya Wacana. S-2 dan S-3 nyi di Amerika.
Tapi Dini baru bisa berangkat agak sorean. Dia masih mengajar. Dia profesor linguistik Mengajar di Yale University --universitas papan atas di Amerika.
"Sampai ketemu di Hartford nanti malam," kata Prof Dini.
Mbak Sri dan suami mengantar saya ke stasiun. Mobilnya Volvo. Masih agak baru. Sudah puluhan tahun saya tidak naik Volvo.
"Ini sudah jadi mobil China," ujar sang suami. Perusahaan mobil Swedia terkemuka ini memang sudah dibeli Tiongkok.
Naik kereta api dari New Haven ke Hartford seperti dari Solo ke Yogyakarta. Keretanya lambat. Berhenti banyak kali. Jarak 80 km ditempuh dalam satu jam.
Caranya juga masih sangat kuno: kondektur mendatangi setiap penumpang. Setelah memeriksa tiket dia menempelkan kertas di atas tempat duduk. Itu tanda penumpang di kursi itu turun di stasiun mana.
Setiap kereta akan berhenti dia datangi penumpang di bawah kertas tempel itu. Waktunya turun. Lalu kertas yang dia tempelkan itu diambil.
Pun ketika kereta akan berhenti di stasiun Hartford. Dia datangi saya. "Di sini Anda turun", katanyi. Lalu mencopot tempelan kertas di atas kepala saya.
Di Hartford saya bertemu wanita istimewa lainnya. Nisa. Pakai jilbab hitam. Asal Bontang, Kaltim. Masa kecilnya di Gang Alwi, Samarinda, tidak jauh dari rumah istri saya.
Nisa bisa berbahasa Banjar dan mengerti bahasa Bugis. Orang tuanya campuran Banjar-Bugis. Dia sudah lebih 10 tahun di Hartford --setelah pindah dari New York.
Suami Nisa dari Turkiye. Kampung suaminya di satu jam naik pesawat dari Istambul, ke arah Asia. Sang suami pengusaha bidang logistik.
"Di mana ketemu suami?"
"Di online."
"Saat Anda masih tinggal di Bontang?”
"Iya. Saat masih di Bontang."
Nisa punya anak satu. Cewek. Menjelang remaja. Cantik sekali.
Di Chicago ketemu satu wanita Indonesia lagi yang bersuamikan bule: Mayasari. Rumahnyi di Greenburg, Indiana. Di situ Maya buka restoran Indonesia. Juga mendirikan pabrik tempe.
Cita-cita Maya: pabrik tempenyi itu akan menggunakan artificial intelligent (AI). Maya memang ambil computer science saat kuliah di Purdue University, Indiana.
Sang suami orang pedalaman Indiana. "Petani," kata Maya yang selalu merasa sebagai orang Bogor. Bapaknyi Sunda, ibunyi Sangihe.
Sang ayah pernah jadi kapolres Bogor. Sawah milik sang suami biasa-biasa saja luasnya: hampir 1000 hektare.
Maya dan Suami--
Maya mendapat penghargaan dari Pemda setempat. Pabrik tempenyi dianggap bisa menaikkan nilai tambah produk kedelai lokal.
Di kampung suaminyi itu mayoritas petani menanam kedelai. Nilai kedelai pasti naik kalau bisa jadi tempe. Maya pun dapat dana untuk pengembangan tempe.
Maya juga sudah mematenkan proses pembuatan tempe di Amerika. Termasuk teknik memproses air kran agar memenuhi syarat sebagai air yang bisa dipakai untuk membuat tempe.
--
Sang suami menanam kedelai, Maya hilirisasi kedelai. "Tempe bisa untuk toping mie goreng Indomie," ujar Maya.
Itulah salah satu menu yang laris di resto "Mayasari" di Indiana.
Wanita Indonesia ternyata banyak juga yang pilih go global.(Dahlan Iskan)
Komentar Pilihan Dahlan Iskan di Disway Edisi 23 November 2024: Mau Berubah?
Mirza Mirwan
Seorang pembaca senyap uring-uringan dengan sistem peradilan di Indonesia. Begitu banyak hakim dan jaksa yang tersangkut korupsi -- maksudnya: suap. Terbaru ia menyebut 3 hakim yang membebaskan Ronald Tannur. Lalu bertanya, "kenapa bisa begitu, Pak?" "Greed has no limits, Mas," balas saya atas WA-nya. "Aduuuh.... jangan pakai bahasa Inggris, Pak. Tambah pusing!" Banyak dari Anda yang mungkin juga uring-uringan. Awal bulan ini banyak hakim yang mengeluhkan gaji mereka kecil dan minta kenaikan gaji. Padahal, kenyataannya, gaji dan tunjangan hakim relatif lebih besar dari ASN dengan kualifikasi strata pendidikan yang sama. Kalau dibandingkan dengan gaji hakim di AS memang jauh, kayak dasar sumur dengan pucuk pohon Rasamala. Tetapi jangan lupa, "living cost" di AS juga berlipat-lipat kali lebih mahal ketimbang di negeri ini, di kota Jakarta sekalipun. Kalau negara kita mampu, tentu kenaikan gaji bisa diberikan. Tapi, "mbok iyao" para hakim itu tahu diri. Kemampuan keuangan negara terbatas. Pun siapa berani menjamin bahwa gaji besar akan menghentikan keserakahan hakim dan jaksa? Tidak semua hakim dan jaksa serakah, memang. Tetapi hakim dan jaksa yang lurus di negeri ini kayaknya hanya sedikit. Yang banyak justru yang lahap menerima "grapitisapi", istilah Man Sodiq, marbot masjid kami -- ia sulit mengucapkan gratifikasi, tetapi cukup tahu maksudnya. Dan akibatnya prinsip "equality before the law" tidak berjalan. "By nature" dan "by design" memang mendukung keserakahan.
Liáng - βιολί ζήτα
Behavior Change Singkatnya begini... jika kita berbicara mengenai "perubahan" berarti kita mesti mengetahui, memahami dan menyadari terlebih dahulu bahwa "perilaku sebelumnya" semestinya bisa lebih baik, bisa lebih efisien, bisa lebih efektif dan bisa lebih yang lain-lainnya. Maka, menurut pendapat saya pribadi, pendekatannya untuk mengatasi masalah "perubahan" tersebut lebih cenderung ke psychology. Ada banyak "Theory of Behavior Change" yang bisa diadaptasi untuk "perubahan apa, dalam kondisi seperti apa dan untuk tujuan apa". Secara umum, Teori Utama Perubahan Perilaku (Major Theory of Behavior Change) terkait 2 faktor utama, yakni : 1. faktor lingkungan ---> menggambarkan pengaruh situasional dan lingkungan di mana perilaku dibentuk. 2. faktor pribadi ---> mencakup naluri, dorongan, sifat dan kekuatan motivasi individu lainnya. Oleh karena itu, konstruksi perubahan perilaku (behavior change) semestinya dimulai dari permasalahan kedua faktor tersebut.
Wilwa
Mau berubah? Wanna change? Pakai akal sehat dan hati nurani. Use common sense and conscience. Tepat. Saya sependapat. Tapi masalahnya adalah dua hal sederhana ini lebih mudah diucapkan daripada dipraktekkan. Karena ada tiga kendala dalam dunia nyata: Race, Religion, Caste. RRC. Race misalnya. Walaupun secara genetika telah dibuktikan tak ada yang namanya Ras atau Suku tapi realitanya sampai kini hanya minoritas yang menyadarinya. Di dalam politik di negara manapun di dunia ini Suku atau Ras adalah faktor penting dalam menggaet suara konstituen di negara yang menganut demokrasi. Di negara yang otoriter seperti Korut atau Jerman semasa Hitler, penampilan luar ini disatukan dengan BAHASA yang SAMA adalah sebuah alat politik ampuh menggaet simpati publik. Mungkinkah dunia ini damai, kalau paham rasial itu diterapkan? Anda yang punya akal sehat tentu Sudah Tahu jawabannya. Religion Ini topik sensitif. Tapi saya di sini mau tak mau membahasnya. Walau secara general. Saya kaitkan dengan satu prinsip: Kasih Sayang atau Compassion atau apapun namanya sebagai wujud penerapan Common Sense dan Conscience. Bagaimana mungkin kita mau mendamaikan beragam agama di dunia kalau mereka masing-masing ingin memusnahkan yang lain dan menjadikan bumi ini SATU TUHAN dan/atau SATU AGAMA. Pikiren dhewe. Kata Ryu Hasan. :):):) Terakhir Caste dalam arti Kaya dan Miskin. Atau antara pendukung Kapitalisme dan pendukung Komunisme/Sosialisme. Kunci utamanya adalah KEMAUAN BERBAGI antar manusia.Text limit!
Jokosp Sp
Saat ini jumlah Pengadilan Negeri di Indonesia ada 347. Selain itu terdapat 30 Pengadilan Tinggi, 33 Pengadilan Hubungan Industrial, 4 Pengadilan Hak Azasi Manusia, dan 26 Pengadilan Tata Usaha Negara. Dari yang optimis bisa berubah hanya ada 3 orang ( dari Wakil Ketua Pengadilan Probolinggo, Pengadilan Negeri Jakarta, dan Pengadilan Negeri Blitar ) dari seluruhnya yang 347 Pengadilan Negeri. Maka bisa disebut hanya 0,86%, tidak sampai 1% saja jumlah petinggi Pengadilan Negeri yang bisa berubah. Ini kenyataan yang memang kita lihat saat ini. Miris.............
MULIYANTO KRISTA
Ikuti saja akun FB bonek, sering update info2 soal Persebaya. Kalau akun official Persebaya malah jarang update info.
Liam Then
Setau saya dulu Satria Baja Hitam mau berubah cukup gampang . Cukup berseru : Berubah!! Zaman sekarang berubah kok menjadi susah, harus keluar biaya rapat gede, zoom sana sini. Padahal tinggal sebut mulai dari dalam hati : "Demi negara, harus berubah, apapun resikonya, apa itu jiwa, harta, atau keluarga" Tapi tunggu dulu, ini bukan lagi zaman penjajahan, doktrin korbankan jiwa dan raga, kehidupan keluarga demi negara, sudah mulai terbatas pada profesi tertentu saja, seperti tentara atau kejadian khusus misal negara di invasi. Tak mungkin harapkan PNS rela hidup miskin, melarat, sebulan gaji dibawah sejuta seperti guru honorer itu. Yang swasta kaya, PNS pun harus terjamin kehidupan keluarganya, barulah bisa kerja tenang dan benar. Kalau begitu, kayaknya ada yang malu-malu sebut : " kami sih siap berubah, tapi ndak ada duit susah belanja, berubah perlu biaya......" wkkwkwkwkkwkw Disini kita dapat kuncinya, anggota DPR sepanjang tahun, dengar-dengar juga mau berubah, yang ini agak ndak malu-malu,sampai ada yang kasih tau : "ubah dulu dong gaji dan tunjangannya !!" Malah kemaren dikabarkan berita, ada yang mau perubahan drastis ; "money politic, dilegalisir saja". Rakyat dibawah sih dari dulu, harap pemimpin dan aparat negara, segera berubah. Konglomerat dan pengusaha nakal, itu malah dari dulu suka ubah-ubah. Komentar saya, berubah-ubah hari ini, sentil sana sini, ndak tahu kenapa, mungkin ini zaman pancaroba, musimnya perubahan, tiap pemilu,pilkada dan masa.
Liam Then
Makin tulis saya makin emosi. Saya kira khusus untuk bisnis beras, PMA harus diblacklist cawe-cawe dibidang ini. 270jt lebih kebutuhan perut orang Indonesia jadi alat untuk kayakan orang asing. Sebego itu kah kita? Sampai jualan beras nasional? harus ada cawe-cawe asing ikutan cari cuan?
Udin Salemo
#cerpen_sabtu BALADA EMAS dor... dor... Seorang polisi menembak seorang polisi, di area kantor polisi. Kejadiannya pas tengah malam lebih dikit. Pukul 00:43 wib kata beol (berita online). Polisi yang ditembak menemui sang pencipta. Sipenembak menyerahkan diri ke polisi. Daerah kelahiran saya itu memang kaya emas. Banyak orang berani bertaruh nyawa untuk mendapatkan cuan besar. Sekitar 10 tahun lalu berpuluh-puluh alat berat excavator ditengah hutan mengaduk bumi untuk mendapatkan emas. Bebas merdeka cari emas pakai alat berat. Mungkin ada yang membekingi. Kalau tak begitu masa bisa excavator berjumlah banyak bebas mengaduk perut bumi seenaknya. Memang ditengah hutan belantara tanah tak ada pemiliknya. Tanah adat warisan leluhurpun tak sampai ke tengah hutan itu. Penduduk tempatan iq dua digit hanya bisa melongo dan jakun naik turun menyaksikan emas dibawa orang luar daerah. Lihat dompet isinya hanya lima lembar uang kertas bergambar Kapitan Pattimura. Kapitan Pattimura menghunus pedang melawan ketika tanah kelahirannya dijajah belanda. Orang kampung saya mengurut dada ketika emas dikeruk dan dibawa orang lain. Di perantauan saya menyeka air mata ketika kakak saya menceritakan ironi nyata itu. Dengung suara truk pengangkut cpo mengiringi matahari tenggelam. Truk itu menghadiahkan debu untuk dihirup penduduk tempatan iq dua digit yang tercenung melihat isi dompet. -tamat- tambahan: menurut data luas kebun sawit di Solok Selatan 38.682,09 hektar.
Lagarenze 1301
Saya sudah lama ingin menulis komen ini. Membuncah setelah kemenangan Persebaya atas Persija dan menempatkan Persebaya di puncak klasemen sementara. Ke mana kita mencari berita Persebaya? Semula saya berpikir, tentu di Disway. Siapa pemilik Persebaya dan siapa pemilik Disway. Tentu berita Persebaya yang mengharu-biru dan mengaduk-aduk emosi adanya di Disway. Bukan di media lain. Setelah Persebaya mengalahkan Persija, saya ingin menyalurkan katarsis setelah nonton video pertandingannya. Namun, saya sebagai pembaca, kecewa. Saya buka Disway (online), tak ada berita kemenangan Persebaya. Saya klik kanal "bola", juga tak ada. Oh, mungkin di Harian Disway (online). Di situ 'kan ada kanal khusus Persebaya. Aishh, cuma satu berita. Itu pun cuma berita yang formal banget. Lainnya berita "pra" yang standar banget. Harian Disway (koran) memuat berita kemenangan Persebaya di halaman cover. Aishh, sama saja dengan berita online-nya. Lagian, ini sudah pagi. Sudah lewat ledakan emosionalnya. Mungkin saya terlalu berekspektasi tinggi membaca berita Persebaya seperti di Jawa Pos duluuu. Meski duluuu itu ketika membaca koran cetak ada delay beberapa jam. Saya bukan orang Surabaya, tapi seolah memiliki hubungan emosional dengan Persebaya. Karena berita-berita di Jawa Pos duluuu itu. Karena tangan-tangan piawai di belakangnya. Cak fu, Cak amu, Cak ko, dan lainnya yang saya tidak ingat satu per satu. Aishh, mungkin memang saya sebagai pembaca terlalu berekspektasi tinggi. :)
Mirza Mirwan
Namanya Purnomo. Usia 41 tahun. Anaknya dua: usia 14 (prp) dan 11 (lk²). Dulunya bekerja di Jakarta. Di-PHK sewaktu awal pandemi Covid-19. Uang pesangon seutuhnya ditabung. Kebetulan istrinya sejak dulu sudah berjualan nasi, bubur, dan kupat di depan rumah tiap pagi. Hasilnya cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan uang jajan kedua anaknya. Purnomo sendiri memilih untuk memanfaatkan hobinya bermain gitar dan menyanyi. Menjadi pengamen. Uniknya, ia hanya menyanyikan lagu-lagu Ebiet G. Ade. Berkahnya, bila kebetulah pemilik rumah adalah penggemar lagu Ebiet, ia diminta menyanyi lebih dari satu lagu. Kadang diberi 10 ribu, 15 ribu, atau 20 ribu. "Alhamdulillah, Pak, kalau misalnya full tiap hari mengamen, sebulan jatuhnya hampir sama dengan upah saya waktu kerja di Jakarta," kata Purnomo. Kebetulan Si Kecil, putri saya, juga menyukai lagu-lagunya Ebiet. Ia minta Purnomo menyanyikan beberapa lagu, seperti: KepadaMu Aku Pasrah, Masih Ada Waktu, Titip Rindu Buat Ayah, Bingkai Mimpi, Opera Tukang Becak, dan Jakarta II. Sayangnya Purnomo mengaku tidak hapal dua lagu yang saya minta: Kita Adalah Bidak-Bidak Catur dan Aku Pasrah Kepada Kebenaran. Si Kecil memberi amplop berisi dua lembar Soekarno-Hatta dan gitar Yamaha-nya yang lama. Purnomo terharu menerimanya. Dengan suara bergetar dan mata basah ia mengucapkan terima kasih dan mendoakan kesehatan dan limpahan rizki. "Aamiiin," sahut saya dan Si Kecil berbarengan. "Tolong, Om Pur, anak-anaknya dididik dengan benar," tambah Si Kecil
Wilwa
@Mirza. Saya adalah penggemar berat Ebiet. Bukan hanya Berita Kepada Kawan yang terkenal dengan kalimat penutup “Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang”. Lagu Camelia yang berjilid-jilid itu juga lagu yang saya rasa lagu Barat dan Mandarin pun kalah dari segi musik maupun syairnya. Ini pendapat saya pribadi. Lagu-lagu yang sangat introspektif sangat mengena di 1980-an yang relatif stabil dan “tenang” berkat tangan besi Orde Baru. Yang membangun dari hutang USD itu. Yang jadi krismon di 1998. Sudah ngutang dikorup lagi. :):):) Di 1990-an ada dua lagu Ebiet yang sangat saya sukai: Aku Ingin Pulang & Apakah Ada Bedanya. Lebih spiritualis dibanding yang 1980-an yang salah satu syair pembukanya agak saru: “Kita mesti TELANJANG dan benar-benar bersih” yang pasti Anda Sudah Tahu judulnya sebagai sesama penggemar lagu Ebiet. Hmmm
Gianto Kwee
Soal sogok menyogok sedang "Sensi" Di Surabaya, kata Abah Di Jakarta ternyta tidak, pagi ini saya ke kios Kelapa parut untuk beli Santan, tidak biasanya, di kios yang sekecil itu ada 6 orang sedang Diskusi ! Aku tanya, "Diskusi apa ? " Dijawab, Pilkada Jakarta ! "Nyoblos 1, 2 atau 3 ?" Dijawab "Tidak semua ! Kami menunggu Serangan Fajar dulu !" Salam Damai
Jokosp Sp
Apa anda percaya kalau dia gajinya kecil?. "Saya percaya". Apa anda percaya tabungan dia di bang kecil?. "Saya percaya, karena dia jarang nabung di bang". Apa anda percaya kehidupan keluarganya seperti orang miskin?. "Saya tidak percaya". Kenapa anda tidak percaya?. "Buktinya tabungan di rumahnya banyak Dolar Singapure dan Dolar Amerika", "belum lagi yang gambar Soekarno Hatta berbandel-bandel dan numpuk di satu kamar". "Mobil mewah ada tiga untuk pegagang bapaknya, istrinya dan anaknya masing-masing". Darimana dia dapat Dolar, apakah dari gajinya?. "Ya ndak mungkin. Orang goblok saja tahu itu pasti dari uang maklar kasus yang jadi perkaranya". Kenapa mereka menuntut gaji naik yang katanya tidak pernah terima kenaikan?. "Yang jelas mereka sudah tidak pada waras, mati sudah hati nuraninya. Duwid saja sudah yang ada di otaknya". Oh begitu...................
Liáng - βιολί ζήτα
CHDI : "... Tapi saya harus segera balik ke Juanda. Balik ke Bandung. Tidak sempat mampir rumah. ..." ah... masa sih ?? yang bener Abah ?? iya gitu ?? emang mesti segitu ruepotnya-kah sebagai seorang jurnalis yang juga bapak mantan sesuatu ?? rasa-rasanya koq lebih ke gaya bahasa ya, gaya bahasa hiperbola... saya sih tidak percaya 99%... soalnya Bang Toyib aja ngga gitu-gitu amat... wkwkwkwkwk... kabooooorrrrr...
Mirza Mirwan
Dengan tulus aku memohon ampun padamu. Engkau memasang wajah garang dan tetap menekanku. Percuma saja aku yang telah menyerah, bersikeras pun aku tak berdaya. Hidup dan mati bukan ada di tanganmu, tapi Tuhanlah yang telah mengatur. Masa laluku memang sangat pekat dan hitam. Namun rasanya aku belum terlambat bertobat. Gambar burung hantu yang lekat di lengan, potret kegagalanku sangat pahit. Aku pasarahkan semua pada kebenaran. Mungkin nasib suratan tangan. Ada yang ingin aku titipkan sebelum aku pergi jauh. Isteri dan anakku tak bersalah, jangan dilibatkan. Biarlah aku tanggung sendiri dosa yang telah kuperbuat Hanya Tuhan yang tahu ketulusan hati ini. Semoga aku dimaafkan. (Ebiet G. Ade: Aku Pasrah Kepada Kebenaran)
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber:
Komentar: 103
Silahkan login untuk berkomentar
Masuk dengan Google