bannerdiswayaward

Mencari Jalan Islah bagi Ba’alawi dan PWI Laskar Sabilillah

Mencari Jalan Islah bagi Ba’alawi dan PWI Laskar Sabilillah

Ilustrasi habib di tengah masyarakat -ist-

ZAMAN terus berubah. Mengalir seperti arus sungai. Seorang filsuf Yunani Herakleitos (5 SM) mengatakan manusia tidak dapat menginjakkan kakinya dua kali di sungai yang sama. Begitu pula nasib umat muslim tanah air. Dulu menghadapi radikalisme dan terorisme. Kini konflik rasial dan antar golongan; Habaib Ba’alawi versus Perjuangan Walisongo Indonesia (PWI) Laskah Sabilillah.

Konflik bermulai dari diferensiasi antara orang pribumi dan orang dari Yaman. Padahal mereka sama-sama anak bangsa. Hal ini tidak saja perang wacana di media, tetapi telah meresahkan warga, karena dibarengi kekerasan fisik. Tahun lalu, 2024, massa menyerang sebuah rombongan mobil di Rengas Dengklok, Kerawang, Jawa Barat. Namun, mereka salah sasaran. Kiai dan Anggota Banser tak bersalah mejadi korban.

BACA JUGA:Historitas Tradisi dan Geniusitas Semantik Halal Bihalal di Nusantara

Satu tahun sebelumnya, 2023, seseorang habib menyebut keturunan Walisongo sudah punah sejak 500 tahun silam. Pernyataan tersebut dianggap merugikan dan mencemarkan nama baik sebagian orang. Ormas Perjuangan Walisongo Indonesia (PWI) melaporkan sang habib itu ke polisi.

Konflik sosial tersebut semakin serius sejak KH. Imaduddin Utsman menerbitkan sebuah buku, yang klaim menghipotesakan bahwa nasab Ba’alawi terputus dari Rasulullah SAW. Hal ini mendeligitimasi identitas keagamaan kelompok Ba’alawi. Parahnya lagi, panggung akademik, seminar, bedah buku dan debat publik tidak menemukan jalan keluar. Kegagalan akademik memperkuat badai konflik yang sudah ada.

Konflik identitas, kultural, dan akademik tersebut memiliki akar yang lebih kompleks. Kemudian ada pihak dilabeli menggunakan agama untuk kepentingan politik.

Pada tahun 2017, Habib Rizieq berhasil menjatuhkan Basuki Tjahja Purnama (Ahok) dan memenjarakannya atas nama pencemaran agama. Kemenangan Habib Rizieq tersebut menambah rasa percaya diri kelompok, yang pada gilirannya merembet ke ranah kultural dan akademik di kemudian hari. 

Namun demikian, patut digarisbahawi bahwa konflik sosial antara Habaib dan PWI Laskar Hisbullah tetap terbatas. Konflik bergemuruh hanya di lingkungan masyarakat yang masih melestarikan feodalisme kultural. Sebagian umat Muslim memang menempatkan keturunan Rasulullah SAW dengan cara yang lebih teologis dari pada humanis. Otomatis hirarki sosial tak terhindarkan.

Sebaliknya, konflik nasab tidak berlaku di kalangan umat muslim yang lebih egaliter. Seseorang dihormati bukan karena status darah yang mengalir di tubunya, melainkan berdasarkan perilaku sosial dan akhlaknya. Dengan kata lain, masyarakat muslim egaliter tidak merasakan konflik yang dialami masyarakat feodal. Sementara elite-elite masyarakat feodal bertarung untuk merebut supremasi antara Habaib dan Pribumi.

Untuk mengislahkan dan mendamaikan antara kubu Habaib dan PWI Laskar Sabilillah tidak mudah. Berbagai tantangan yang menjadi kayu tungkunya harus terlebih dahulu diatasi, sepert fanatisme, sektarianisme, pengkultusan berlebih, politisasi dan monetisasi, serta yang terutama adalah masalah kemiskinan. Alex P. Schmid (2013) mengatakan, moderasi harus dilakukan dengan cara melawan semua pandangan politik maupun agama yang ekstrim.

Tantangan-tantangan tersebut dapat teratasi apabila berbagai hambatan yang menghalangi juga tuntas, seperti tantangan sosial, kultural, dan akademik. Masalah politik dan kemiskinan merupakan faktor paling dominan. Demonstrasi yang berjilid-jilid yang digawangi oleh para Habib adalah karena masyarakat merasa pemerintah dan negara tidak hadir. Ketika kekerasan verbal menyakiti sebagian orang, keadilan tidak kunjung datang.

BACA JUGA:Enam Jam di Hambalang; Catatan dari Pertemuan Prabowo dan Pimpinan Media

Para elite mampu menggerakkan massa bukan semata karena sentimen agama, tetapi karena mereka memiiki terlalu banyak waktu luang di saat sulitnya lapangan pekerjaan. Fanatisme masyarakat akar rumput terhadap figur, menurut Marc Leopold Benjamin Bloch (1944), juga lahir dari masyarakat petani yang terikat pada manoralisme dan kepemilikan tanah.

Jalan keluar dari 'lingkaran setan' semacam itu sebenarnya tersedia, melalui penguatan demokrasi, peningkatan kesadaran multikulturalisme, kualitas pendidikan, pengentasan kemiskinan, dan kesamaan hak di depan hukum.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Berita Terkait

Close Ads